SUMBER-SUMBER HUKUM
a. Pengertian dan Macam-Macam Sumber Hukum
Sumber hukum ditinjau dari artinya sangat beragam, ada
yang berpendapat bahwa arti sumber hukum itu rasa keadilan. Ada pula yang
mengartikan sumber hukum itu tempat-tempat dimana kita mengetahui yang masih
berlaku serta mengambil peraturan hukum yang harus diterapkan, adapula yang
berpendapat tempat atau segala sesuatu yang dapat menimbulkan peraturan hukum
yang bersifat memaksa dan mempertahankan dengan adanya sanksi. Kiranya
definisi-definisi ini benar, tetapi tidak ada jeleknya kita melihatnya lebih mendasar
lagi
Dalam buku “ Rangkuman Intisari Ilmu
Hukum” karangan Riduan Syahrani[1], dikemukakan beberapa pengertian atas istilah
sumber hukum:
1.
Sumber hukum dalam
pengertiannya sebagai “asalnya hukum” ialah berupa keputusan penguasa yang
berwenang untuk memberikan keputusan tersebut. Artinya, keputusan itu haruslah
berasal dari penguasa yang berwenang (mempunyai wewenang) untuk itu.
Sumber hukum dalam arti sebagai asalnya
hukum, membawa kepada suatu penyelidikan tentang wewenang, untuk menyelidiki
apakah suatu keputusan berasal dari penguasa yang berwenang atau tidak.
Keputusan yang berwenang dapat berupa “peraturan” dapat pula berupa
“ketetapan”. Keputusan yang berupa peraturan biasanya digunakan untuk mengatur
hal-hal yang umumnya sama. Sedangkan keputusan yang berupa ketetapan
dimaksudkan untuk menyelesaikan atau menetapkan hukum sesuatu hal yang sifatnya
lebih konkret. Oleh karena itu ketetapan tidak berlaku umum terhadap hal-hal
yang umum sama.
2.
Sumber hukum dalam
pengertiannya sebagai “tempat”
ditemukannya peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Sumber hukum dalam
pengertian ini membawa kepada penyelidikan tentang macam-macam, jenis-jenis dan bentuk-bentuk dari peraturan dan
ketetapan.
Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai “hal-hal yang
dapat atau seyogianya mempengaruhi kepada penguasa di dalam menentukan
hukumnya. Misalnya, keyakinan akan hukumnya, rasa keadilan baik itu dari
penguasa sendiri maupun dari rakyat, teori-teori, pendapat-pendapat atau
ajaran-ajaran dari ilmu pengetahuan hukum.
Selain dari tiga pengertian sumber hukum
diatas, terdapat pula istilah sumber
hukum formil dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil ialah apa yang
dimaksud sebagai “tempat” dimana ditemukan peraturan-peraturan hukum
positif yaitu menunjuk kepada
bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan. Sedangkan yang dimaksud dengan sumber
hukum materiil adalah apa yang dimaksud sebagai sumber hukum dalam
pengertian hal-hal yang dapat
mempengaruhi kepada penguasa dalam menentukan hukumnya misalnya adanya pengaruh
ekonomi, pengaruh politik, sosiologi, filsafat dan sebagainya.
Dalam ilmu hukum yang mempelajari
peraturan-peraturan hukum positif, seringkali yang dimaksud dengan sumber hukum
materiil adalah apa yang dimaksud dengan “ asalnya hukum” didalamnya memuat
materi (isi) dari hukum, sedangkan ‘sumber hukum formil” merupakan bentuk nyata dari hukum yang
berlaku, yang menunjuk kepada bentuk peraturan dan ketetapan.
b. Sumber Hukum dalam
Arti Kata Materiil
Disamping pengertian sumber hukum diatas,
masih banyak pengertian-pengertian sumber hukum yang dikemukakan oleh para
ahli, diantaranya sumber hukum menurut ahli sejarah, ahli antropologi budaya,
ahli filsafat, ahli ekonomi. Ahli agama, dan ahli hukum.
Bagi ahli sejarah, sumber hukum adalah:
1.
Undang-undang serta
sistem-sistem hukum tertulis dari suatu masa, misalnya abad ke-18
2.
Dokumen-dokumen,
surat-surat dan keterangan-keterangan lain dari masa itu yang memungkinkan
untuk mengetahui hukum yang berlaku pada zaman itu.
Bagi ahli filsafat (filsuf), sumber hukum
adalah:
1.
Apakah ukuran yang harus
dipakai untuk menentukan sesuatu secara adil? Sebab, bukankah mencapai keadilan
merupakan tujuan terakhir dari semua orang yang berusaha membuat hukum (pembuat
undang-undang)?
2.
Apakah sebab orang menaati
hukum?
Bagi ahli sosiologi dan antropologi
budaya, sumber hukum adalah masyarakat dengan segala lembaga sosial yang ada
didalamnya. Apa yang dirasakan sebagai hukum oleh masyarakat dan karenanya
diberi sanksi bagi yang melanggarnya oleh penguasa masyarakat.
Sedangkan bagi ahli ekonomi, sumber hukum
adalah apa yang tampak di lapangan ekonomi, misalnya: sebelum pemerintah
membuat peraturan yang bertujuan membatasi persaingan dilapangan perdagangan,
maka ahli ekonomi harus mengetahui secara pasti hal-hal yang berhubungan dengan
persaingan dilapangan perdagangan itu.
Sumber hukum bagi para ahli agama, adalah
kitab suci (Al Qur’an, Injil, Taurat, dan lain-lain) serta dasar-dasar
agamanya. [2]
Sumber hukum menurut ahli hukum adalah
perasaan hukum yang tertuang dalam sesuatu bentuk yang menyebabkan berlaku dan
ditaati orang. Bentuk ini bermacam-macam, misalnya undang-undang, kebiasaan,
adat, traktat, yurisprodensi, dan pendapat ahli hukum yang terkenal (doktrin).
Bentuk-bentuk tersebut merupakan sumber hukum formil.Selama perasaan hukum
tersebut belum tertuang suatu bentuk, maka perasaan itu baru dinamakan hukum.[3]
c. Sumber-Sumber Hukum
Formil
1.Undang- Undang
Undang-undang adalah suatu peraturan hukum yang disusun
dan ditetapkan oleh negara , dan berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Undang-Undang mengandung dua pengertian.
Pengertian dalam arti formil dan pengertian dalam arti materiil. Dalam arti
formil undang-undang adalah setiap keputusan pemerintah yang merupakan
undang-undang karena cara terjadinya atau cara pembuatannya misalnya dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20
ayat (1 UUD 1945, menegaskan bahwa kekuasaan untuk membentuk undang-undang
dilakukan oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maka,
dalam hal ini presiden bersama DPR menjalankan legislative power dalam negara.Dalam arti material undang-undang
mempunyai arti setiap keputusan pemerintah atau badan-badan negara yang menurut
isinya mempunyai kekuatan yang mengikat langsung kepada setiap penduduk atau
warganya misalnya peraturan pemerintah, peraturan menteri, praturan pemerintah
tingkat I dan lain- lain.
1. Syarat-Syarat Berlakunya Suatu Undang-Undang
Undang-undang dapat
dianggap sah dan berlaku apabila telah diundangkan dalam lembaran negara oleh
menteri/sekretaris negara. Sedangkan mulai berlakunya seperti ketetapan berikut
ini :
1. Menurut tanggal yang dituangkan dalam undang-undang itu sendiri.
2. Apabila tanggalnya tidak dituangkan dalam undang-undang, maka
undang-undang berlaku terhitung 30 hari setelah
diundangkan dalam lembaran negara ( berlaku untuk Jawa dan Madura ).
3. Untuk daerah lain, baru berlaku setelah 100 hari diundangkan
dalam lembaran negara dan telah dipenuhi segala persyaratannya.
2. Berakhirnya kekuatan suatu undang-undang, apabila :
1. Jangka waktu yang ditentukan undang-undang itu telah habis
2. Keadaan yang menyebabkan undang-undang itu muncul telah hilang
atau tidak ada lagi
3. Undang-undang itu telah dicabut oleh badan-badan pembuat
undang-undang tersebut atau oleh badan yang lebih tinggi
4. Adanya undang-undang baru yang isinya bertentangan dengan hukum
yang berlaku dahulu.
3. Pengertian Lembaran Negara dan Berita Negara
Pada jaman Belanda, lembaran negara disebut Staatsblad (disingkat S atau Stb). Lembaran
negara adalah lembaran
( kertas ) tempat mengundangkan
( mengumumkan ) semua
peraturan negara agar sah berlaku. Kemudian penjelasan dari undang-undang
tersebut dimuat dalam tambahan lembaran negara dengan nomor urut. Lembaran
negara diterbitkan oleh Departemen kehakiman (sekarang Sekretariat Negara).
Contoh : L.N. tahun 1962 (
L.N. 1962/1 )
L.N. tahun 1962 No.2 ( L.N. No.2 tahun 1962 )
Berita Negara pada jaman Belanda disebut De Javasche
Courant, Jaman jepang disebut Kan Po. Berita Negara adalah penerbitan resmi
dari departemen kehakiman (sekretaris
negara ) yang berhubungan dengan peraturan-peraturan negara . dan pemerintah
dan juga memuat surat-surat yang dianggap perlu, seperti: akta pendirian PT,
Firma, koperasi, nama-nama orang yang
dinaturalisasi menjadi WNI dan lain-lain. Untuk tempat pengundangan
peraturan-peraturan daerah ialah Lembaran Daerah.[4]
2. Kebiasaan (Costum)
Kebiasaan adalah perbuatan/ cara hidup yang dianut oleh
suatu masyarakat atau suatu bangsa dalam waktu yang lama serta dilakukan secara
berulang-ulang dalam suatu hal tertentu.
Pada hakekatnya kebiasaan memberikan pedoman bagi masyarakat atau bangsa
untuk berpikir dan bertindak dalam menghadapi suatu hal pada kehidupannya.
Kebiasaan menurut para ahli:
1. Mr. J. H. Bellefroid berpendapat hukum kebiasaan walaupun tidak
ditetapkan oleh pemerintah tetapi ditaati oleh seluruh rakyat. Sebab hukum
kebiasaan itu diyakini sebagai/berlaku aturan hukum.
2. Utrech/ Moh. Saleh Djindang S.H berpendapat hukum kebiasaan itu
biarpun tidak tertulis tetapi masih sama kuatnya dengan hukum yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan. Apalagi bilamana hukum tersebut mendapatkan
perhatian dari pihak pemerintah .
3. Dr. Kansil, S.H berpendapat hukum kebiasaan adalah suatu
kebiasaan hukum yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
Hukum kebiasaan ini juga mempunyai persyaratan untuk
berlaku seperti halnya menurut peraturan yang benar. Yaitu:
1. Syarat yang bersifat materiil, yakni harus ada tindakan yang
tetap dilakukan oleh orang
2. Syarat yang bersifat psikologis dalam arti bukanlah psikologis
perorangan melainkan psikologis golongan, yaitu adanya keyakinan akan kewajiban
hukum dalam golongan (opinio necessitatis)[5]
Hukum kebiasaan dan undang-undang adalah merupakan
penegasan dari pandangan-pandangan hukum yang terdapat di dalam masyarakat atau
juga disebut sebagai perumusan kesadaran hukum masyarakat. Perbedaannya ialah
undang-undang merupakan penegasan yang dilakukan oleh pembuat undang-undang,
sedangkan hukum kebiasaan merupakan penegasan oleh masyarakat atau golongan
masyarakat tertentu.
Apabila terjadi pertentangan antara hukum kebiasaan dan
undang-undang, maka undang-undang akan mengalahkan hukum kebiasaan, akan tetapi
hukum kebiasaan dapat mengeyampingkan ketentuan-ketentuan undang-undang yang
bersifat pelengkap.[6]
Disamping hukum kebiasaan dalam masyarakat juga ada
hukum adat, menurut Utrecht[7]
tidak ada perbedaan yang struktural antara hukum kebiasan dan hukum adat.
Perbedaannnya hanya terletak pada asalnya. Adat adalah sebagian kaidah-kaidah
yang ada di dalam suatu masyarakat tertentu yang berasal dari sesuatu yang agak
sakral, yang berhubungan dengan “tradisi” masyarakat Indonesia secara “turun
temurun”. Sedangkan kebiasaan tidak
merupakan “tradisi”, belum menjadi ‘kebudayaan asli”. Kebiasaan adalah hasil
akulturasi “Timur” dan “Barat” yang belum diresepsi sebagai tradisi.
3.Traktat ( perjanjian )
Traktat adalah suatu perjanjian yang diadakan dua
negara atau lebih yang isinya mengatur masalah-masalah tertentu yang berkenaan
dengan kepentingan masing-masing negara, misalnya: kepentingan batas wilayah,
hubungan diplomatik, kepentingan perekonomian, pertahanan keamanan bersama, dan
sebagainya.
Traktat (perjanjian) itu terbagi menjadi dua yaitu
traktat bilateral dan traktat multilateral:
1. Traktat bilateral adalah
perjanjian yang digunakan oleh dua negara tertentu dan hanya berlaku untuk negara
yang bersangkutan seperti: perjanjian pemerintah RI dengan pemerintah RRC
mengenai penyelesaian dwi kewarganegaraan.
2. Traktat multilateral adalah perjanjian antara dua negara atau
lebih mengenai permasalahan-permasalahan yang tengah mereka hadapi bersama-sama.
Contohnya perjanjian pertahanan bersama negara-negara Eropa ( NATO ). Yang
diadakan oleh beberapa negara Eropa. Perjanjian masalah perminyakan antara
negara-negara OPEC. Perjanjian antara negara-negara ASEAN dalam masalah
perekonomian. Apabila perjanjian multilateral memberi kesempatan kepada
negara-negara lain yang tadinya tidak ikut mengadakan perjanjian, untuk ikut
bergabung maka perjanjian itu dinamakan perjanjian kolektif atau terbuka.
Menurut pendapat klasik traktat tidak terjadi begitu saja melainkan harus
melalui prosedur tertentu, ada 4 (empat) fase yang berurutan sebagai berikut:
1. Penetapan ( sluiting )
ialah penetapan isi perjanjian oleh delegasi /utusan pihak-pihak yang
bersangkutan dalam konferensinya. Hasil penetapan diberi nama konsep traktat (Sluitingsoorkonde).
2. Persetujuan masing-masing
parlemen pihak yang bersangkutan. Hal ini kalau dinegara yang bersangkutan
persetujuan parlemen diperlukan supaya kepala negara dapat meratifikasi konsep
traktat.
3. Ratifikasi atau pengesahan oleh masing-masing kepala negara,
setelah konsep traktat diserahkan pemerintah (delegasi) ke parlemen, disetujui
oleh parlemen untuk diratifikasi, maka kepala negara mengesahkan konsep traktat
tersebut. Proses pengesahan ini dinamakan ratifikasi. Traktat yang sudah
diratifikasi diundangkan dalam lembaran negara dan berlaku pada wilayah negara
yang meratifikasi.
4. Pengumuman atau pelantikan (afkondiging).
Setelah masing-masing kepala negara meratifikasi konsep traktat sehingga
menjadi traktat, maka fase selanjutnya diadakannya upacara saling menyampaikan
piagam perjanjian.fase ini dinamakan pengumuman atau pelantikan (afkondiging).
Setelah
fase ke-4 (empat) dilakukan, maka dapat
dikatakan bahwa traktat telah terbentuk dan berlaku mengikat kepala negara yang
bersangkutan. Dan ini didasarkan pada satu asas yaitu “PACTA SUN SERVANDA” yang
berarti setiap perjanjian harus dihormati dan ditaati. Setiap perjanjian
mengikat pihak-pihak yang mengadakannya.Lazimnya sekarang traktat tersebut
kemudian didaftarkan kepada Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Keuntungan
dari pendaftaran ini adalah PBB dapat diminta ikut campur dikemudian hari
apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan traktat.
Di
Indonesia, mengenai perjanjian (traktat) ini dituangkan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 11 yang menyebutkan, bahwa “Presiden dengan persetujuan DPR
menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”.
Meskipun dalam UUD 1945 tidak dijelaskan bagaimana bentuk perjanjiannya dengan
negara lain, akan tetapi mengingat perjanjian dengan negara lain harus dibuat
oleh Presiden dengan persetujuan DPR, maka dapatlah disimpulkan bahwa
kekuatannya sama dengan undang-undang, kemudian karena tidak disebutkan dengan
tegas bentuknya, maka tidak ada keharusan untuk membuatnya dalam bentuk
undang-undang.
Dalam
kaitan ini Presiden pernah menyampaikan surat kepada ketua DPR yaitu pada
tanggal 22 Agustus 1960 No. 2826/HK/60 tentang Pembuatan perjanjian dengan
negara lain. Dalam surat Presiden inidisebutkan bahwa yang dimaksud “perjanjian
dengan negara lain” dalam Pasal 11 UUD 1945 hanyalah perjanjian yang penting
saja, yaitu yang mengandung soal-soal politik dan yang lazimnya dikehendaki
berbentuk traktat atau treaty. Kalau tidak dibatasi demikian, pemerintah tidak
mempunyai cukup keleluasaan bergerak untuk menjalankan hubungan internasional
secara wajar. Karena tiap-tiap perjanjian walau mengenai hal-hal yang kecil
harus diperoleh persetujuan DPR lebih dahulu. Dalam hal ini perjanjian
antarnegara dibedakan antara “treaties” yaitu perjanjian terpenting dan
“agreement” yaitu perjanjian lain yang kurang penting.[8]
4.
Keputusan Hakim (Yurisprudensi)
Keputusan
hakim didasarkan atas suatu yang nyata. Keputusan hakim semacam ini dapat
didasarkan Pasal 22 Algemene Bepalingen
Van Wetgeving Voor Indonesia (ketentuan-ketentuan umum tentang
perundang-undangan untuk Indonesia ) yang menyatakan: bilamana seorang hakim
menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan undang-undang
yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap,maka ia
dapat dituntut karena penolakan mengadili. Ditegaskan pula pada pasal 14 ayat 1
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman” Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suaatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum atau tidak kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Selanjutnya dalam pasal 27
ayat ( 1 ) Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 itu dinyatakan pula ”Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup di dalam masyarakat”. Dengan ini sudah jelas hakim harus
memeriksa setiap perkara yang diajukan biar bagaimanapun keadaan perkara
tersebut. Dan hakim harus menciptakan hukum sendiri terhadap perkara konkrit
yang dia hadapi dan mengikat kepada
pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya mengenai apa arti yurisprudensi
banyak ahli hukum berpendapat sebagai berikut:
1. Menurut A. Ridwan Hakim, yurisprudensi ialah putusan hakim atas
yang belum ada pengaturannya dalam undang-undang, yang untuk selanjutnya
menjadi pedoman hakim-hakim lainnya yang mengadili kasus atau perkara yang
serupa.
2. Menurut C.S.T. Kansil ialah keputusan hakim terdahulu yang
sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai
masalah yang sama.
3. Menurut R. Otje Salman ialah hukum yang dibentuk dalam keputusan
hakim pengadilan.
4. Menurut Hartono Hadi Suprapto ialah keputusan hakim atau
keputusan pengadilan.
5. Menurut E. Utrecht/Moh.Saleh Djindang, yurisprudensi terbagi
menjadi dua yang tetap dan yang tidak tetap. Yang tetap ialah keputusan hakim
yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan yang menjadi dasar bagi
pengadilan (Standard-arresten) untuk mengambil keputusan.
6. Menurut S.J.Fokema Andreace, yurisprudensi berarti pula
pengadilan pada umumnya, dan ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan
oleh pengadilan. Dalam pengadilan, yurisprudensi menyangkut masalah pokok
(hukum materiil) ataupun proses berita acara(Hukum formil) begitu pula
menyangkut pidana materiil maupun pidana formil.
Ada dua macam yurisprudensi,
yaitu yurisprudensi tetap dan yurisprudensi tidak tetap. Adapun yang dinamakan
yurisprudensi tetap ialah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian
keputusan serupa dan menjadi dasar bagi pengadilan (standard-arresten)
untuk mengambil keputusan. Seorang hakim mengikuti keputusan hakim yang
terdahulu itu karena ia sependapat dengan isi keputusan tersebut dan lagi pula
hanya dipakai sebagai pedoman dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai suatu
perkara yang serupa.[9]
Utrecht[10]
mengemukakan ada 3 (tiga) sebab seorang hakim mengikuti putusan hakim yang
lain:
1. Sebab Psikologis: Seorang hakim mengikuti putusan hakim lain
yang kedudukannya lebih tinggi-Pengadilan Tinggi atau mahkamah Agung-karena
hakim yang putusannya dituruti tersebut adalah pengawas pekerjaannya. Putusan
hakim mempunyai kekuasaan (gezag), terutama apabila putusan itu dibuat
oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, karena hakim tinggi maupun hakim
agung dipandang telah banyak pengalaman.
2. Sebab Praktis: Seorang hakim mengikuti putusan hakim yang
kedudukannya lebih tinggi yang sudah ada. Apabila hakim tersebut memberikan
putusan yang berbeda dengan putusan hakim yang lebih tinggi, maka sudah barang
tentu pihak yang dikalahkan (merasa tidak adil) akan meminta pemeriksaan pada
tingkat yang lebih tinggi (banding atau kasasi), yaitu kepada hakim yang pernah
memberikan putusan dalam perkara yang sama, agar perkaranya juga diberikan
putusan yang sama dengan putusan sebelumnya.
3. Sebab dirasakan tidak adil: Seseorang hakim mengikuti putusan
hakim lain karena dirasakan sudah adil, sudah tepat, sudah patut, sehingga
tidak ada alas an untuk keberatan mengikuti putusan hakim yang terdahulu itu.
Ketentuan pasal 23 ayat (1)
Undang-undang No 14 Tahun 1970
menyatakan: “Semua keputusan pengadilan selain harus memuat
alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal
dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.” Pentingnya alasan-alasan sebagai dasar
putusan dapat diperhatikan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 638k/Sip/1969
Tanggal 22 Juli 1970 yang menetapkan bahwa putusan yang tidak lengkap atau
kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi dan harus
dibatalkan.
Dalam memutuskan perkara yang
dihadapi walaupun seorang hakim menggunakan yurisprudensi tidak berarti hakim
itu terikat dengan putusan yang sejenis yang terdahulu baik itu merupakan
putusan dari badan pengadilan yang sederajat, Pengadilan tinggi ataupun Mahkamah
Agung. Dikarenakan perasaan keadilan dalam masyarakat dari waktu ke waktu akan
berubah dan karenanya hukum akan terus berkembang menyesuaikan kepada tuntutan
hukum yang ada di masyarakat. Apabila
yuriprudensi dirasa sudah usang dan tidak mencerminkan keadilan seorang
hakim tidak harus terikat dengan yurisprudensi sepenuhnya. Apalagi bergantung
pada penilaian-penilaian hakim yang memutuskan perkara sejenis di kemudian
hari. Secara teoritis keputusan seorang hakim harus mencerminkan
pertimbangan-pertimbangan yang faktual dan perkembangan ilmu pengetahuan karena
putusan pengadilan akan dipertanggungjawabkan pada pihak yang berperkara,
pengadilan yang lebih tinggi, masyarakat, dan ilmu hukum.
5. Doktrin/Pendapat Para Ahli Hukum
Doktrin atau doktrina berasal dari kata doctor, yang
dalam bahasa latin berarti: Guru, Doctrina berarti apa yang telah diajarkan
guru atas dasar ilmu. Dahulu di Romawi, doctrina disebut juga dengan nama Jus
prodentibus constitutum (jus=hukum; prudentes=orang-orang yang
cerdik pandai; constitum=diciptakan) Dari situ tampak seolah-olah ada
hukum yang diciptakan oleh para ahli. Dari kata doktrina inilah dapat diambil
pengertian yang dimaksud doktrina atau doktrin adalah hukum yang diciptakan
oleh orang-orang cerdik pandai. Atau dengan pengertian lain diktrin adalah
pendapat-pendapat dari ahli hukum tentang sesuatu hal mengenai hukum.
Pada zaman Romawi terdapat golongan para ahli hukum yang
disebut dengan nama prudentes yang dapat berbuat tindakan berikut:
a.
Membuat ulasan (komentar) tentang hukum yang berlaku pada masanya.
b. Berusaha mencari hakikat
hukum (les raisons fropondes)
c.
Berusaha memberi jawaban
atas masalah-masalah yang hangat[11]
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan
berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim. Dalam yurisprudensi
terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seorang atau beberapa orang
sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum. Dalam penetapan apa
yang akan menjadi dasar keputusannya, hakim sering menyebut (mengutip) pendapat
seseorang sarjana hukum mengenai soal yang harus diselesaikannya; apalagi jika
sarjana hukum itu menentukan bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar
keputusan hakim. Pendapat-pendapat para sarjana hukum mempunyai pengaruh besar
dalam hubungan internasional, bagi hukum internasional pendapat para sarjana
hukum merupakan sumber hukum yang sangat penting.
Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of
Justice) pasal 38 ayat 1 mengakui bahwa dalam menimbang dan memutus suatu
perselisihan dapat mempergunakan beberapa pedoman antara lain:
a. Perjanjian-perjanjian internasional (International
conventions)
b.
Kebiasaan-kebiasaan
internasional (International customs)
c. Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (The
general principle of law recognized by civilized nations)
d.
Keputusan hakim (Judicial decisions)
dan pendapat-pendapat sarjana hukum.[12]
d. Kodifikasi Hukum
Menurut bentuknya, hukum dapat
dibedakan menjadi:
1.
Hukum Tertulis (Statute Law =
Written Law), yaitu hukum yang dicantumkan dalam pelbagai
peraturan-peraturan
2.
Hukum Tidak Tertulis (Unstatutery
Law = Unwritten Law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan
masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu
peraturan perundang-undangan (dapat disebut juga hukum kebiasaan).
Kodifikasi adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab
undang-undang secara sistematis dan lengkap. Dari pengertian tersebut dapat
ditarik unsur-unsur dari kodifikasi hukum, yaitu:
a. Jenis-jenis hukum tertentu (misalnya hukum Perdata)
b.
Sistematis
c. Lengkap
Tjuan adanya kodifikasi hukum adalah untuk memperoleh
kepastian hukum, penyederhanaan hukum, dan kesatuan hukum. Mengenai hukum
tertulis sendiri ada yang telah dikodifikasi dan ada yang belum dikodifikasi.
Contoh kodifikasi hukum:
a.
Di Eropa: Corpus Iuris Civilis
(Mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Justinianus dari kerajaan
Romawi dalam Tahun 527-565, Code Civil
(Mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Perancis tahun
1604
b. Di Indonesia: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (1 Mei 1948),
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (1 Januari 1918), Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (1 Mei 1848), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (31
Desember 1981)
Hukum tertulis yang tidak
dikodifikasikan, misalnya: peraturan tentang hak merek perdagangan, peraturan
tentang hak cipta, peraturan tentang kepailitan dan lain sebagainya.[13]
[2]
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar, 1957),
113-119.
[3]
Riduan Syahrani, Rangkuman……., 101.
[4]
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 46-48.
[5]
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 63.
[6]
Riduan Syahrani, Rangkuman…..,116.
[7]
Utrecht, Pengantar…, 144.
[8]
Riduan Syahrani, Rangkuman…..,117-121.
[9]
C.S.T. Kansil, Pengantar…..,50.
[10]
Utrecht, Pengantar…..,161-162.
[11] Chainur Arrasjid, Dasar-dasar….,80-81.
[12] C.S.T. Kansil, Pengantar……, 51.
[13]
Ibid., 81.
No comments:
Post a Comment