Friday, February 14, 2014

SUMBER-SUMBER HUKUM



SUMBER-SUMBER HUKUM

a. Pengertian dan Macam-Macam Sumber Hukum
Sumber hukum ditinjau dari artinya sangat beragam, ada yang berpendapat bahwa arti sumber hukum itu rasa keadilan. Ada pula yang mengartikan sumber hukum itu tempat-tempat dimana kita mengetahui yang masih berlaku serta mengambil peraturan hukum yang harus diterapkan, adapula yang berpendapat tempat atau segala sesuatu yang dapat menimbulkan peraturan hukum yang bersifat memaksa dan mempertahankan dengan adanya sanksi. Kiranya definisi-definisi ini benar, tetapi tidak ada jeleknya kita melihatnya lebih mendasar lagi
Dalam buku “ Rangkuman Intisari Ilmu Hukum” karangan Riduan Syahrani[1],  dikemukakan beberapa pengertian atas istilah sumber hukum:
1.      Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai “asalnya hukum” ialah berupa keputusan penguasa yang berwenang untuk memberikan keputusan tersebut. Artinya, keputusan itu haruslah berasal dari penguasa yang berwenang (mempunyai wewenang) untuk itu.
Sumber hukum dalam arti sebagai asalnya hukum, membawa kepada suatu penyelidikan tentang wewenang, untuk menyelidiki apakah suatu keputusan berasal dari penguasa yang berwenang atau tidak. Keputusan yang berwenang dapat berupa “peraturan” dapat pula berupa “ketetapan”. Keputusan yang berupa peraturan biasanya digunakan untuk mengatur hal-hal yang umumnya sama. Sedangkan keputusan yang berupa ketetapan dimaksudkan untuk menyelesaikan atau menetapkan hukum sesuatu hal yang sifatnya lebih konkret. Oleh karena itu ketetapan tidak berlaku umum terhadap hal-hal yang umum sama.
2.      Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai  “tempat” ditemukannya peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Sumber hukum dalam pengertian ini membawa kepada penyelidikan tentang macam-macam, jenis-jenis  dan bentuk-bentuk dari peraturan dan ketetapan.
Sumber hukum dalam pengertiannya sebagai “hal-hal yang dapat atau seyogianya mempengaruhi kepada penguasa di dalam menentukan hukumnya. Misalnya, keyakinan akan hukumnya, rasa keadilan baik itu dari penguasa sendiri maupun dari rakyat, teori-teori, pendapat-pendapat atau ajaran-ajaran dari ilmu pengetahuan hukum.
Selain dari tiga pengertian sumber hukum diatas, terdapat pula istilah     sumber hukum formil dan sumber hukum materiil. Sumber hukum formil ialah apa yang dimaksud sebagai “tempat” dimana ditemukan peraturan-peraturan hukum positif  yaitu menunjuk kepada bentuk-bentuk peraturan dan ketetapan. Sedangkan yang dimaksud dengan sumber hukum materiil adalah apa yang dimaksud sebagai sumber hukum dalam pengertian  hal-hal yang dapat mempengaruhi kepada penguasa dalam menentukan hukumnya misalnya adanya pengaruh ekonomi, pengaruh politik, sosiologi, filsafat dan sebagainya.
 Dalam ilmu hukum yang mempelajari peraturan-peraturan hukum positif, seringkali yang dimaksud dengan sumber hukum materiil adalah apa yang dimaksud dengan “ asalnya hukum” didalamnya memuat materi (isi) dari hukum, sedangkan ‘sumber hukum formil”  merupakan bentuk nyata dari hukum yang berlaku, yang menunjuk kepada bentuk peraturan dan ketetapan.  
b. Sumber Hukum dalam Arti Kata Materiil
Disamping pengertian sumber hukum diatas, masih banyak pengertian-pengertian sumber hukum yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya sumber hukum menurut ahli sejarah, ahli antropologi budaya, ahli filsafat, ahli ekonomi. Ahli agama, dan ahli hukum.
Bagi ahli sejarah, sumber hukum adalah:
1.      Undang-undang serta sistem-sistem hukum tertulis dari suatu masa, misalnya abad ke-18
2.      Dokumen-dokumen, surat-surat dan keterangan-keterangan lain dari masa itu yang memungkinkan untuk mengetahui hukum yang berlaku pada zaman itu.

Bagi ahli filsafat (filsuf), sumber hukum adalah:
1.      Apakah ukuran yang harus dipakai untuk menentukan sesuatu secara adil? Sebab, bukankah mencapai keadilan merupakan tujuan terakhir dari semua orang yang berusaha membuat hukum (pembuat undang-undang)?
2.      Apakah sebab orang menaati hukum?
Bagi ahli sosiologi dan antropologi budaya, sumber hukum adalah masyarakat dengan segala lembaga sosial yang ada didalamnya. Apa yang dirasakan sebagai hukum oleh masyarakat dan karenanya diberi sanksi bagi yang melanggarnya oleh penguasa masyarakat.
Sedangkan bagi ahli ekonomi, sumber hukum adalah apa yang tampak di lapangan ekonomi, misalnya: sebelum pemerintah membuat peraturan yang bertujuan membatasi persaingan dilapangan perdagangan, maka ahli ekonomi harus mengetahui secara pasti hal-hal yang berhubungan dengan persaingan dilapangan perdagangan itu.
Sumber hukum bagi para ahli agama, adalah kitab suci (Al Qur’an, Injil, Taurat, dan lain-lain) serta dasar-dasar agamanya. [2]
Sumber hukum menurut ahli hukum adalah perasaan hukum yang tertuang dalam sesuatu bentuk yang menyebabkan berlaku dan ditaati orang. Bentuk ini bermacam-macam, misalnya undang-undang, kebiasaan, adat, traktat, yurisprodensi, dan pendapat ahli hukum yang terkenal (doktrin). Bentuk-bentuk tersebut merupakan sumber hukum formil.Selama perasaan hukum tersebut belum tertuang suatu bentuk, maka perasaan itu baru dinamakan hukum.[3]
c. Sumber-Sumber Hukum Formil

1.Undang- Undang

Undang-undang adalah suatu peraturan hukum yang disusun dan ditetapkan oleh negara , dan berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Undang-Undang mengandung dua pengertian. Pengertian dalam arti formil dan pengertian dalam arti materiil. Dalam arti formil undang-undang adalah setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara terjadinya atau cara pembuatannya  misalnya dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1 UUD 1945, menegaskan bahwa kekuasaan untuk membentuk undang-undang dilakukan oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maka, dalam hal ini presiden bersama DPR menjalankan legislative power dalam negara.Dalam arti material undang-undang mempunyai arti setiap keputusan pemerintah atau badan-badan negara yang menurut isinya mempunyai kekuatan yang mengikat langsung kepada setiap penduduk atau warganya misalnya peraturan pemerintah, peraturan menteri, praturan pemerintah tingkat I dan lain- lain.

1. Syarat-Syarat Berlakunya Suatu Undang-Undang

Undang-undang dapat dianggap sah dan berlaku apabila telah diundangkan dalam lembaran negara oleh menteri/sekretaris negara. Sedangkan mulai berlakunya seperti ketetapan berikut ini :
1.      Menurut tanggal yang dituangkan dalam undang-undang itu sendiri.
2.      Apabila tanggalnya tidak dituangkan dalam undang-undang, maka undang-undang berlaku terhitung 30 hari setelah  diundangkan dalam  lembaran      negara ( berlaku untuk Jawa dan Madura ).
3.      Untuk daerah lain, baru berlaku setelah 100 hari diundangkan dalam lembaran negara dan telah dipenuhi segala persyaratannya.
2. Berakhirnya kekuatan suatu undang-undang, apabila :
1.      Jangka waktu yang ditentukan undang-undang itu telah habis
2.      Keadaan yang menyebabkan undang-undang itu muncul telah hilang atau tidak ada lagi
3.      Undang-undang itu telah dicabut oleh badan-badan pembuat undang-undang tersebut atau oleh badan yang lebih tinggi
4.      Adanya undang-undang baru yang isinya bertentangan dengan hukum yang berlaku dahulu.
3. Pengertian Lembaran Negara dan Berita Negara
              Pada jaman Belanda, lembaran negara disebut Staatsblad (disingkat S atau Stb).      Lembaran   negara   adalah    lembaran    ( kertas )   tempat   mengundangkan 
( mengumumkan ) semua peraturan negara agar sah berlaku. Kemudian penjelasan dari undang-undang tersebut dimuat dalam tambahan lembaran negara dengan nomor urut. Lembaran negara diterbitkan oleh Departemen kehakiman (sekarang Sekretariat Negara).
Contoh : L.N. tahun 1962 ( L.N. 1962/1 )
              L.N. tahun 1962 No.2 ( L.N. No.2 tahun 1962 )
              Berita Negara pada jaman Belanda disebut De Javasche Courant, Jaman jepang disebut Kan Po. Berita Negara adalah penerbitan resmi dari departemen kehakiman  (sekretaris negara ) yang berhubungan dengan peraturan-peraturan negara . dan pemerintah dan juga memuat surat-surat yang dianggap perlu, seperti: akta pendirian PT, Firma,  koperasi, nama-nama orang yang dinaturalisasi menjadi WNI dan lain-lain. Untuk tempat pengundangan peraturan-peraturan daerah ialah Lembaran Daerah.[4]
2. Kebiasaan (Costum) 
              Kebiasaan adalah perbuatan/ cara hidup yang dianut oleh suatu masyarakat atau suatu bangsa dalam waktu yang lama serta dilakukan secara berulang-ulang dalam suatu hal tertentu.  Pada hakekatnya kebiasaan memberikan pedoman bagi masyarakat atau bangsa untuk berpikir dan bertindak dalam menghadapi suatu hal pada kehidupannya. Kebiasaan menurut para ahli:
1.      Mr. J. H. Bellefroid berpendapat hukum kebiasaan walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah tetapi ditaati oleh seluruh rakyat. Sebab hukum kebiasaan itu diyakini sebagai/berlaku aturan hukum.
2.      Utrech/ Moh. Saleh Djindang S.H berpendapat hukum kebiasaan itu biarpun tidak tertulis tetapi masih sama kuatnya dengan hukum yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Apalagi bilamana hukum tersebut mendapatkan perhatian dari pihak pemerintah .
3.      Dr. Kansil, S.H berpendapat hukum kebiasaan adalah suatu kebiasaan hukum yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
              Hukum kebiasaan ini juga mempunyai persyaratan untuk berlaku seperti halnya menurut peraturan yang benar. Yaitu:
1.      Syarat yang bersifat materiil, yakni harus ada tindakan yang tetap dilakukan oleh orang
2.      Syarat yang bersifat psikologis dalam arti bukanlah psikologis perorangan melainkan psikologis golongan, yaitu adanya keyakinan akan kewajiban hukum dalam golongan (opinio necessitatis)[5]
              Hukum kebiasaan dan undang-undang adalah merupakan penegasan dari pandangan-pandangan hukum yang terdapat di dalam masyarakat atau juga disebut sebagai perumusan kesadaran hukum masyarakat. Perbedaannya ialah undang-undang merupakan penegasan yang dilakukan oleh pembuat undang-undang, sedangkan hukum kebiasaan merupakan penegasan oleh masyarakat atau golongan masyarakat tertentu.
              Apabila terjadi pertentangan antara hukum kebiasaan dan undang-undang, maka undang-undang akan mengalahkan hukum kebiasaan, akan tetapi hukum kebiasaan dapat mengeyampingkan ketentuan-ketentuan undang-undang yang bersifat pelengkap.[6]
              Disamping hukum kebiasaan dalam masyarakat juga ada hukum adat, menurut Utrecht[7] tidak ada perbedaan yang struktural antara hukum kebiasan dan hukum adat. Perbedaannnya hanya terletak pada asalnya. Adat adalah sebagian kaidah-kaidah yang ada di dalam suatu masyarakat tertentu yang berasal dari sesuatu yang agak sakral, yang berhubungan dengan “tradisi” masyarakat Indonesia secara “turun temurun”.  Sedangkan kebiasaan tidak merupakan “tradisi”, belum menjadi ‘kebudayaan asli”. Kebiasaan adalah hasil akulturasi “Timur” dan “Barat” yang belum diresepsi sebagai tradisi.     
3.Traktat ( perjanjian )
              Traktat adalah suatu perjanjian yang diadakan dua negara atau lebih yang isinya mengatur masalah-masalah tertentu yang berkenaan dengan kepentingan masing-masing negara, misalnya: kepentingan batas wilayah, hubungan diplomatik, kepentingan perekonomian, pertahanan keamanan bersama, dan sebagainya.
              Traktat (perjanjian) itu terbagi menjadi dua yaitu traktat bilateral dan traktat multilateral:
1.      Traktat bilateral  adalah perjanjian yang digunakan oleh dua negara tertentu dan hanya berlaku untuk negara yang bersangkutan seperti: perjanjian pemerintah RI dengan pemerintah RRC mengenai penyelesaian dwi kewarganegaraan.
2.      Traktat multilateral adalah perjanjian antara dua negara atau lebih mengenai permasalahan-permasalahan yang tengah mereka hadapi bersama-sama. Contohnya perjanjian pertahanan bersama negara-negara Eropa ( NATO ). Yang diadakan oleh beberapa negara Eropa. Perjanjian masalah perminyakan antara negara-negara OPEC. Perjanjian antara negara-negara ASEAN dalam masalah perekonomian. Apabila perjanjian multilateral memberi kesempatan kepada negara-negara lain yang tadinya tidak ikut mengadakan perjanjian, untuk ikut bergabung maka perjanjian itu dinamakan perjanjian kolektif atau terbuka.
              Menurut pendapat klasik traktat  tidak terjadi begitu saja melainkan harus melalui prosedur tertentu, ada 4 (empat) fase yang berurutan sebagai berikut:
1.      Penetapan ( sluiting ) ialah penetapan isi perjanjian oleh delegasi /utusan pihak-pihak yang bersangkutan dalam konferensinya. Hasil penetapan diberi nama konsep traktat (Sluitingsoorkonde).
2.       Persetujuan masing-masing parlemen pihak yang bersangkutan. Hal ini kalau dinegara yang bersangkutan persetujuan parlemen diperlukan supaya kepala negara dapat meratifikasi konsep traktat. 
3.      Ratifikasi atau pengesahan oleh masing-masing kepala negara, setelah konsep traktat diserahkan pemerintah (delegasi) ke parlemen, disetujui oleh parlemen untuk diratifikasi, maka kepala negara mengesahkan konsep traktat tersebut. Proses pengesahan ini dinamakan ratifikasi. Traktat yang sudah diratifikasi diundangkan dalam lembaran negara dan berlaku pada wilayah negara yang meratifikasi.
4.      Pengumuman atau pelantikan (afkondiging). Setelah masing-masing kepala negara meratifikasi konsep traktat sehingga menjadi traktat, maka fase selanjutnya diadakannya upacara saling menyampaikan piagam perjanjian.fase ini dinamakan pengumuman atau pelantikan (afkondiging).
            Setelah fase ke-4 (empat)  dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa traktat telah terbentuk dan berlaku mengikat kepala negara yang bersangkutan. Dan ini didasarkan pada satu asas yaitu “PACTA SUN SERVANDA” yang berarti setiap perjanjian harus dihormati dan ditaati. Setiap perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya.Lazimnya sekarang traktat tersebut kemudian didaftarkan kepada Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Keuntungan dari pendaftaran ini adalah PBB dapat diminta ikut campur dikemudian hari apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan traktat.
            Di Indonesia, mengenai perjanjian (traktat) ini dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 11 yang menyebutkan, bahwa “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”. Meskipun dalam UUD 1945 tidak dijelaskan bagaimana bentuk perjanjiannya dengan negara lain, akan tetapi mengingat perjanjian dengan negara lain harus dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR, maka dapatlah disimpulkan bahwa kekuatannya sama dengan undang-undang, kemudian karena tidak disebutkan dengan tegas bentuknya, maka tidak ada keharusan untuk membuatnya dalam bentuk undang-undang.    
            Dalam kaitan ini Presiden pernah menyampaikan surat kepada ketua DPR yaitu pada tanggal 22 Agustus 1960 No. 2826/HK/60 tentang Pembuatan perjanjian dengan negara lain. Dalam surat Presiden inidisebutkan bahwa yang dimaksud “perjanjian dengan negara lain” dalam Pasal 11 UUD 1945 hanyalah perjanjian yang penting saja, yaitu yang mengandung soal-soal politik dan yang lazimnya dikehendaki berbentuk traktat atau treaty. Kalau tidak dibatasi demikian, pemerintah tidak mempunyai cukup keleluasaan bergerak untuk menjalankan hubungan internasional secara wajar. Karena tiap-tiap perjanjian walau mengenai hal-hal yang kecil harus diperoleh persetujuan DPR lebih dahulu. Dalam hal ini perjanjian antarnegara dibedakan antara “treaties” yaitu perjanjian terpenting dan “agreement” yaitu perjanjian lain yang kurang penting.[8]
4. Keputusan Hakim (Yurisprudensi)
            Keputusan hakim didasarkan atas suatu yang nyata. Keputusan hakim semacam ini dapat didasarkan Pasal 22 Algemene Bepalingen Van Wetgeving Voor Indonesia (ketentuan-ketentuan umum tentang perundang-undangan untuk Indonesia ) yang menyatakan: bilamana seorang hakim menolak menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan undang-undang yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap,maka ia dapat dituntut karena penolakan mengadili. Ditegaskan pula pada pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman” Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suaatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum atau tidak kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Selanjutnya dalam pasal 27 ayat ( 1 ) Undang Undang Nomor 14 Tahun 1970 itu dinyatakan pula ”Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat”. Dengan ini sudah jelas hakim harus memeriksa setiap perkara yang diajukan biar bagaimanapun keadaan perkara tersebut. Dan hakim harus menciptakan hukum sendiri terhadap perkara konkrit yang dia  hadapi dan mengikat kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya mengenai apa arti yurisprudensi banyak ahli hukum berpendapat sebagai berikut:
1.      Menurut A. Ridwan Hakim, yurisprudensi ialah putusan hakim atas yang belum ada pengaturannya dalam undang-undang, yang untuk selanjutnya menjadi pedoman hakim-hakim lainnya yang mengadili kasus atau perkara yang serupa.
2.      Menurut C.S.T. Kansil ialah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama.
3.      Menurut R. Otje Salman ialah hukum yang dibentuk dalam keputusan hakim pengadilan.
4.      Menurut Hartono Hadi Suprapto ialah keputusan hakim atau keputusan pengadilan.
5.      Menurut E. Utrecht/Moh.Saleh Djindang, yurisprudensi terbagi menjadi dua yang tetap dan yang tidak tetap. Yang tetap ialah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (Standard-arresten) untuk mengambil keputusan.
6.      Menurut S.J.Fokema Andreace, yurisprudensi berarti pula pengadilan pada umumnya, dan ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh pengadilan. Dalam pengadilan, yurisprudensi menyangkut masalah pokok (hukum materiil) ataupun proses berita acara(Hukum formil) begitu pula menyangkut pidana materiil maupun pidana formil.
Ada dua macam yurisprudensi, yaitu yurisprudensi tetap dan yurisprudensi tidak tetap. Adapun yang dinamakan yurisprudensi tetap ialah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan menjadi dasar bagi pengadilan (standard-arresten) untuk mengambil keputusan. Seorang hakim mengikuti keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia sependapat dengan isi keputusan tersebut dan lagi pula hanya dipakai sebagai pedoman dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai suatu perkara yang serupa.[9] Utrecht[10] mengemukakan ada 3 (tiga) sebab seorang hakim mengikuti putusan hakim yang lain:
1.      Sebab Psikologis: Seorang hakim mengikuti putusan hakim lain yang kedudukannya lebih tinggi-Pengadilan Tinggi atau mahkamah Agung-karena hakim yang putusannya dituruti tersebut adalah pengawas pekerjaannya. Putusan hakim mempunyai kekuasaan (gezag), terutama apabila putusan itu dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, karena hakim tinggi maupun hakim agung dipandang telah banyak pengalaman.
2.      Sebab Praktis: Seorang hakim mengikuti putusan hakim yang kedudukannya lebih tinggi yang sudah ada. Apabila hakim tersebut memberikan putusan yang berbeda dengan putusan hakim yang lebih tinggi, maka sudah barang tentu pihak yang dikalahkan (merasa tidak adil) akan meminta pemeriksaan pada tingkat yang lebih tinggi (banding atau kasasi), yaitu kepada hakim yang pernah memberikan putusan dalam perkara yang sama, agar perkaranya juga diberikan putusan yang sama dengan putusan sebelumnya.
3.      Sebab dirasakan tidak adil: Seseorang hakim mengikuti putusan hakim lain karena dirasakan sudah adil, sudah tepat, sudah patut, sehingga tidak ada alas an untuk keberatan mengikuti putusan hakim yang terdahulu itu.
Ketentuan pasal 23 ayat (1) Undang-undang No 14 Tahun 1970  menyatakan: “Semua keputusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.” Pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat diperhatikan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 638k/Sip/1969 Tanggal 22 Juli 1970 yang menetapkan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.
Dalam memutuskan perkara yang dihadapi walaupun seorang hakim menggunakan yurisprudensi tidak berarti hakim itu terikat dengan putusan yang sejenis yang terdahulu baik itu merupakan putusan dari badan pengadilan yang sederajat, Pengadilan tinggi ataupun Mahkamah Agung. Dikarenakan perasaan keadilan dalam masyarakat dari waktu ke waktu akan berubah dan karenanya hukum akan terus berkembang menyesuaikan kepada tuntutan hukum yang ada di masyarakat. Apabila  yuriprudensi dirasa sudah usang dan tidak mencerminkan keadilan seorang hakim tidak harus terikat dengan yurisprudensi sepenuhnya. Apalagi bergantung pada penilaian-penilaian hakim yang memutuskan perkara sejenis di kemudian hari. Secara teoritis keputusan seorang hakim harus mencerminkan pertimbangan-pertimbangan yang faktual dan perkembangan ilmu pengetahuan karena putusan pengadilan akan dipertanggungjawabkan pada pihak yang berperkara, pengadilan yang lebih tinggi, masyarakat, dan ilmu hukum.
5. Doktrin/Pendapat Para Ahli Hukum
      Doktrin atau doktrina berasal dari kata doctor, yang dalam bahasa latin berarti: Guru, Doctrina berarti apa yang telah diajarkan guru atas dasar ilmu. Dahulu di Romawi, doctrina disebut juga dengan nama Jus prodentibus constitutum (jus=hukum; prudentes=orang-orang yang cerdik pandai; constitum=diciptakan) Dari situ tampak seolah-olah ada hukum yang diciptakan oleh para ahli. Dari kata doktrina inilah dapat diambil pengertian yang dimaksud doktrina atau doktrin adalah hukum yang diciptakan oleh orang-orang cerdik pandai. Atau dengan pengertian lain diktrin adalah pendapat-pendapat dari ahli hukum tentang sesuatu hal mengenai hukum.
      Pada zaman Romawi terdapat golongan para ahli hukum yang disebut dengan nama prudentes yang dapat berbuat tindakan berikut:
a.       Membuat ulasan (komentar) tentang hukum yang berlaku pada masanya.
b.      Berusaha mencari hakikat hukum (les raisons fropondes)
c.       Berusaha memberi jawaban atas masalah-masalah yang hangat[11]
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim. Dalam yurisprudensi terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seorang atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum. Dalam penetapan apa yang akan menjadi dasar keputusannya, hakim sering menyebut (mengutip) pendapat seseorang sarjana hukum mengenai soal yang harus diselesaikannya; apalagi jika sarjana hukum itu menentukan bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim. Pendapat-pendapat para sarjana hukum mempunyai pengaruh besar dalam hubungan internasional, bagi hukum internasional pendapat para sarjana hukum merupakan sumber hukum yang sangat penting.
Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice) pasal 38 ayat 1 mengakui bahwa dalam menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat mempergunakan beberapa pedoman antara lain:
a.       Perjanjian-perjanjian internasional (International conventions)
b.      Kebiasaan-kebiasaan internasional (International customs)
c.       Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (The general principle of law recognized by civilized nations)
d.      Keputusan hakim (Judicial decisions) dan pendapat-pendapat sarjana hukum.[12] 
d. Kodifikasi Hukum
            Menurut bentuknya, hukum dapat dibedakan menjadi:
1.      Hukum Tertulis (Statute Law = Written Law), yaitu hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan
2.      Hukum Tidak Tertulis (Unstatutery Law = Unwritten Law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundang-undangan (dapat disebut juga hukum kebiasaan).
Kodifikasi adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Dari pengertian tersebut dapat ditarik unsur-unsur dari kodifikasi hukum, yaitu:
a.       Jenis-jenis hukum tertentu (misalnya hukum Perdata)
b.      Sistematis
c.       Lengkap
Tjuan adanya kodifikasi hukum adalah untuk memperoleh kepastian hukum, penyederhanaan hukum, dan kesatuan hukum. Mengenai hukum tertulis sendiri ada yang telah dikodifikasi dan ada yang belum dikodifikasi. Contoh kodifikasi hukum:
a.       Di Eropa:  Corpus Iuris Civilis (Mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Justinianus dari kerajaan Romawi  dalam Tahun 527-565, Code Civil (Mengenai Hukum Perdata) yang diusahakan oleh Kaisar Napoleon di Perancis tahun 1604
b.      Di Indonesia: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (1 Mei 1948), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (1 Januari 1918), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (1 Mei 1848), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (31 Desember 1981)
Hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan, misalnya: peraturan tentang hak merek perdagangan, peraturan tentang hak cipta, peraturan tentang kepailitan dan lain sebagainya.[13] 



[1]  Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), 97-98.  
[2] Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar, 1957), 113-119.
[3] Riduan Syahrani, Rangkuman……., 101.
[4] C.S.T. Kansil,  Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 46-48.
[5] Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 63.
[6] Riduan Syahrani, Rangkuman…..,116.
[7] Utrecht, Pengantar…, 144.
[8] Riduan Syahrani, Rangkuman…..,117-121.
[9] C.S.T. Kansil, Pengantar…..,50. 
[10] Utrecht, Pengantar…..,161-162.
[11] Chainur Arrasjid, Dasar-dasar….,80-81.
[12] C.S.T. Kansil, Pengantar……, 51.
[13] Ibid., 81.

No comments:

Post a Comment