Friday, February 14, 2014

ALIRAN-ALIRAN ILMU HUKUM



 ALIRAN-ALIRAN ILMU HUKUM
Membicarakan aliran-aliran dalam ilmu hukum (teori hukum) berarti membicarakan kembali pemikiran-pemikiran tentang hukum yang telah muncul sejak jaman kerajaan Yunani dan Romawi beberapa abad yang lalu. Yunani terkenal sebagai kancah pemikiran tentang hukum sampai ke akar filsafatnya. Masalah-masalah teori hukum yang utama pada masa sekarang bisa dikaitkan ke belakang pada bangsa tersebut, karena teori-teori hukum telah mendapatkan rumusannya pada masa itu.
Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi pada bangsa Romawi. Bangsa Romawi tidak banyak memberikan sumbangan pemikirannya tentang teori-teori hukum. Pemikiran yang timbul justru nampak menonjol pada bidang penciptaan konsep-konsep dan teknik yang berhubungan dengan hukum positif (kontrak, ajaran tentang kebendaan dan sebagainya)
a. Aliran Hukum Alam
.  Aliran hukum alam adalah aliran yang tertua dalam sejarah pemikiran  manusia tentang hukum. Menurut aliran ini, selain daripada hukum positif (hukum yang berlaku dimasyarakat) yang merupakan buatan manusia, masih ada hukum yang lain yaitu hukum yang berasal dari Tuhan yang disebut hukum alam.[1] Pengertian hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibuat oleh manusia.  
Hukum alam mempunyai beberapa arti:
1.      Hukum alam merupakan ideal-ideal yang menuntun perkembangan hukum dan pelaksanaannya.
2.      Suatu dasar hukum yang bersifat “moral” yang menjaga jangan sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara yang ada sekarang dengan yang seharusnya.
3.      Suatu metode untuk menemukan hukum yang sempurna.
4.      Isi hukum yang sempurna yang dapat dideduksikan melalui akal
5.      Suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.
Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum alam dapat dibedakan:
1) Hukum alam sebagai suatu metode      
2) Hukum alam sebagai suatu substansi.
Hukum alam sebagai metode artinya: Hukum alam dipakai sebagai sarana untuk menciptakan peraturan-peraturanyang mampu untuk menghadapi keadaan yang berlain-lainan. Hukum alam sebagai substansi artinya: hukum alam justru merupakan isi dari suatu norma.
Perkembangan hukum alam sebenarnya sudah mulai muncul pada abad sebelum abad pertengahan. Aliran hukum alam sebelum abad pertengahan dapat ditelusuri dari masa kerajaan Yunani dan Romawi. Pada masa kerajaan Yunani pemikiran tentang hukum yang bercorak teoritis berkembang begitu subur karena:
1.      Kecenderungan orang untuk berpikir spekulatif serta persepsi intelektualnya untuk mnyadari adanya tragedi kehudupan manusia serta konflik-konflik dalamkehidupan di dunia.
2.      Munculnya fenomena negara kota  (polis) yang diikuti kekacauan sosial, konflik-konflik di dalamnya serta pergantian pemerintah yang begitu sering.
Kondisi-kondisi tersebut di atas melahirkan pemikiran-pemikiran yang kritis terhadap hukum dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan dan keadilan. Plato  mengemukakan sebuah konsepnya bahwa keadilan akan tercipta apabila seseorang mengurusi pekerjaannya sendiri dan tidak mencampuri urusan orang lain. Aristoteles negara berdasarkan hukum bukanlah alternatif terbaik tetapi alternatif yang paling praktis untuk mencapai kehidupan yang sejahtera. Hukum adalah penjelmaan dari akal, bukan nafsu-nafsu. Hanya akal dan Tuhan saja yang boleh memerintah.
Sumbangan Aristoteles yang lain adalah konsepsinya tentang keadilan yaitu : keadilan distributif dan keadilan komulatif. Keadilan distributif menyangkut pembagian barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan tempatnya di masyarakat. Sedangkan keadilan komulatif adalah standar umum guna memperbaiki atau memulihkan konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan yang telah dilakukan dalam hubungannya dengan orang lain.
Pada abad pertengahan hukum alam berkembang makin pesat. Banyak pemikir-pemikir baru setelah Plato dan Aristoteles yang muncul pada abad sebelumnya. Berdasar pada sumbernya, aliran hukum alam dapat dibedakan menjadi dua macam: 1). Aliran hukum alam yang Irrasional dan 2). Aliran hukum alam yang Rasional. Irrasional berpandangan hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung. Sedangkan Rasional berpandangan bahwa sumber hukum alam yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia.
1.           Tokoh-tokoh aliran hukum alam yang Irrasional
a.  Thomas Aquines (1225-1227)
Menurut Aquines ada dua macam pengetahuan yang berjalan bersama-sama,yaitu: 1). Pengetahuan alamiah yang berpangkal pada akal manusia dan 2). Pengetahuan iman yang berpangkal pada wahyu Ilahi.
Thomas Aquines membedakan 4 macam hukum:
1.      Iex Aeterna (Hukum yang abadi): Hukum rasio Tuhan atau akal keilahian yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera manusia.
2.      Iex Livina (Hukum Ketuhanan): Petunjuk-petunjuk khusus dari Tuhan tentang bagaimana manusia itu harus menjalani hidupnya (tercantum dalam kitab suci).
3.      Iex Naturalis (Hukum alam): Petunjuk-petunjuk umum yang paling mendasar, misalnya yang baik harus dilakukan, sedangkan yang jelek harus ditinggalkan (Iex Naturalis atau hukum alam, yaitu penjelmaan Iex Aeterna ke dalam Rasio manusia).
4.      Iex Positivis: Penerapan Iex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia (disebut juga Iex human)[2]
b.      John Salisbury (1115-1180)
Menurut John Salisbury,  dalam menjalankan pemerintahan penguasa wajib memperhatikan hukum tertulis dan tidak tertulis (hukum alam), yang mencerminkan hukum Tuhan. Tugas rohaniah adalah membimbing penguasa agar tidak merugikan kepentingan rakyat bahkan seharusnya penguasa itu harus manjadi abdi gereja.
c.       Dante Aligheiri(1265-1321)
Dia menyarankan bahwa segala kekuasaan harus diserahkan kepada satu tangan yaitu pemerintahan yang absolut. Ia memberikan legitimasi terhadap kekuasaan monarkhi yang bersifat mondial.
Adapun tokoh-tokoh lain dalam aliran hukum alam yang Irrasional adalah: Piere Dubois (1255), Marsilius Padua (1270), William Occam(1290).
2. Tokoh-tokoh aliran hukum alam yang rasional adalah
1. Hugo de Groot atau Grotius(1583)
Dia terkenal dengan sebutan bapak Hukum Internasional karena dialah yang mempopulerkan konsep-konsep hukum dalam hubungan antar negara, seperti hukum perang. Menurut Grotius sumber hukum adalah rasio manusia karena karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya. Hukum alam menurutnya adalah hukum yang sesuai dengan kodrat manusia. Hukum tidak mungkin dapat dirubah.
2.      Samuel Von Pufendorf (1632-1694)
Ia berpendapat hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang murni.
Tokoh lain dari aliran hukum alam yang rasional pada pertengahan adalah Emanuel Kant (1724-1804). 
Aliran hukum alam mengalami kemunduran sejalan dengan munculnya aliran positivis pada abad XIX.  Namun demikian keadaan ini nampaknya tidak berlangsung terus. Hukum alam bangkit kembali karena ternyata aliran positivis telah gagal pula untuk menjawab tantangan yang terjadi pada abad XIX utamanya tentang penyalahgunaan kekuasaan yang marak terjadi disepanjang abad itu. Masa-masa ini sering disebut sebagai masa kebangkitan kembali hukum alam. Tokoh yang dapat ditemukan pada masa ini adalah Rudolf Stammler. Pada abad XX hukum alam ternyata masih banyak pemikirnya, sebut satu saja adalah Leon L. Fuller. Ia mengaitkan antara hukum dan moralitas. Hukum harus tunduk pada Internal Morality.
b. Aliran Positivis (Positivisme Hukum)
Aliran Hukum positivis (Positivisme hukum) memisahkan antara hukum dengan moral: memisahkan antara hukum yang berlaku (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen). Menurut aliran positif, tidak ada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is command of the souverign). Bahkan bagian dari aliran hukumpositif (yaitu legisme) berpendapat lebih tegas: Hukum ialah undang-undang. Aliran hukum positif dapat dibedakan: 1). Aliran hukum positif Analitis (Analytical jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin (1790): dan 2). Aliran hukum Murni (Reine Rechtslere-The Pure of Law) yang dipelopori oleh Hans Kelsen.
1.          Aliran hukum positif Analitis (Analitycal jurisprudence)-John Austin (1730-1859)
Menurut aliran ini hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakekat hukum terletak pada unsur “perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, Logis, dan tertutup.
Dalm bukunya Austin mengatakan “A Law is a command which obliges a person or person……laws and other commands are said to proceed from superiors, and to bind or oblige inferiors”. Austin membedakan hukum dalam dua jenis : 1). Hukum dari Tuhan untuk manusia dan 2). Hukum yang dibuat oleh manusia. Austin membedakan lagi: 1). Hukum yang sebenarnya, dan 2). Hukum yang tidak tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang dibuat oleh manusia individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya (hukum positif). Sedangkan hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Hukum menurut aliran ini harus memiliki empat unsur:  1. Perintah (command);  2. Sanksi (sanction);  3. Kewajiban (duty);  4. Kedaulatan (sovereignty).
2.     Aliran Hukum Murni-Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut aliran hukum murni: hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir non hukum, seperti sosiologis, politis, historis bahkan etis. Itulah sebabnya aliran ini disebut aliran murni tentang hukum.
Hukum adalah kategori keharusan (sollenskatagorie) bukan seinkatagorie (katagori Faktual). Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law ought to be), tetapi ”apa hukumnya “ (what the law is).
Kelsen adalah penganut Kant, karena ia menggunakan pemikiran Kant tentang pemisahan “bentuk” (form) dan “isi” (material). Bagi Kelsen, hukum hanya berurusan dengan bentuk, tidak dengan isi. Jadi keadilan sebagai isi dari hukum berada di luar hukum.
Dengan demikian bisa saja hukum bersifat tidak adil, namun toh ia tetap merupakan hukum karena ia dikeluarkan oleh penguasa. Kelsen dikenal sebagai orang yang mengembangkan “teori jenjang” (stuffentheory). Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem terdiri dari susunan norma yang berbentuk piramida. Di Indonesia mengikuti Kelsen tentang jenjang ini. Bisa dilihat pada TAP MPR  No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan Indonesia.[3]
c. Aliran Utilitarian (Utilitarianisme)
Aliran ini meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan dari hukum. Yang dimaksud kemanfaatan disini adalah kebahagiaan (happiness). Hukum dinilai baik atau tidak baik sangat bergantung apakah ia membahagiakan atau tidak bagi umat manusia. Tokohnya adalah Jeremy Bentham, John Stuart, Mill, dan Rudolf Von Jhering.
Jeremy Bentham (1748-1832)
Berpendapat : Bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kerusakan. Tugas hukum adalah memelihara kebahagiaan dan mencegah kejahatan. Menurutnya pemidanaan haruslah bersifat spesifik untuk tiap jenis kejahatan, dan seberapa besar pidana itu boleh diberikan, hal ini tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah timbulnya kejahatan.
John Stuart Mill (1806-1873) 
Pemikirannya dipengaruhi oleh pertimbangan psikologi. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia mencari kebahagiaan. Yang ingin dicapai manusia bukanlah benda atau sesuatu hal tertentu, tetapi kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya. Ia dalam pemikirannya menjelaskan hubungan antara keadilan, kegunaan, kapentingan individu dan kepentingan umum.
Rudolf Von Jhering (1818-1892)
Jhering mengajarkan tentang utilitarian sosial. Mulanya ia penganut paham sejarah (yang dikembangkan oleh Savigny). Namun pada akhirnya ia justru menentang pendapat dari Savigny. Menurut Savigny hukum Romawi adalah pernyataan dari jiwa bangsa Romawi, dan oleh karena itu ia adalah hukum nasional (Romawi). Hal inilah yang dibantah oleh Jhering, Jhering mengatakan  Seperti dalam hidup sebagai perkembangan biologis, senantiasa terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya. Demikian pula dalam bidang kebudayaan. Hukum Romawi pada hakekatnya juga mengalami hal ini. Suatu barang tentu lapisan tertua hukum Romawi adalah bersifat nasionalis tetapi pada tingkat-tingkat perkembangan berikutnya hukum itu makin mendapat ciri universal. Lebih lanjut Jhering mengatakan bahwa hukum Romawi dapat menjadi dasar hukum Jerman bukan karena hukum Romawi bersifat nasional, akan tetapi justru karena hukum Romawi dalam perkembangannya sudah berhadapan dengan aturan hidup lain, sehingga hukum tersebut lebih bersifat universal daripada nasional.[4]
d. Aliran  Sejarah
Munculnya aliran sejarah setidaknya dilatar belakangi oleh tiga hal :
1.      Rasionalisme abad XVIII yang didasarkan pada hukum alam yang dipandang tidak memperhatikan fakta sejarah.
2.      Semangat revolusi Perancis yang menentang tradisi dan lebih mengutamakan rasio.
3.      Adanya larangan penafsiran oleh hakim karena undang-undang dipandang telah dapat memecahkan semua masalah hukum.
Sebagaimana diketahui abad XVII adalah abad rasionalisme. Pemikiran rasionalisme mengajarkan universalisme dalam berpikir. Cara pandang inilah yang menjadi sebab utama munculnya madzab sejarah yang menentang universalisme. Madzab sejarah lebih memfokuskan pada keberadaan suatu bangsa tepatnya adalah jiwa bangsa. (volkgeist).
Tokoh penting aliran sejarah: Von Savigny, Puchta dan Henry Summer Maine.
Friedrich Karl Von Savigny (1770-1861) 
Savigny menganalogikan timbulnya hukum itu sama dengan timbulnya bahasa bagi suatu bangsa. Hukum timbul bukan karena perintah penguasa (seperti dikemukakan aliran positivis), tetapi karena perasaan keadilan yang terletak pada jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa (volkgeist) itulah yang menjadi sumber hukum law is an expression of the common consciousness or spirit of people. Hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Ia mengingatkan untuk membangun hukum, studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak diperlukan.
Pucha (1798-1846)
Puchta adalah murid Von Savigny yang mengembangkan lebih lanjut pemikiran gurunya. Ia berpendapat sama dengan gurunya, bahwa hukum suatu bangsa terikat pada jiwa bangsa (Volksgeist) yang bersangkutan. Hukum tersebut menurutnya dapat berbentuk:1) langsung berupa adat istiadat, 2) melalui undang-undang, 3) melalui ilmu hukum dalam bentuk karya para ahli hukum.   
Henry Sumner Maine (1822-1888)
          Maine banyak dipengaruhi oleh pemikiran Savigny. Ia dianggap sebagai pelopor aliran sejarah di Inggris. Salah satu penelitiannya yang terkenal adalah studi perbandingan perkembangan lembaga-lembaga hukum yang ada pada masyarakat yang sederhana dan masyarakat yang sudah maju, yang dilakukan berdasarkan pendekatan sejarah.[5]
e. Sociologycal Jurisprudence
G. W Paton lebih suka menggunakan istilah metode fungsional untuk menggantikan istilah Sociologycal jurisprudence. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya kerancuan antara “Sociologycal Jurisprudence” dengan “sosiologi Hukum” (Sociology of law). Menurut Lily Rasjidi, ada perbedaan antara keduanya, sosiologi hukum memandang hukum sebagai gejala soaial belaka, dengan pendekatan dari masyarakat ke hukum, untuk sosiological jurisprudence mendekati hubungan hukum dengan masyarakat, mulai dari hukum ke masyarakat.[6] Pelopor aliran S.J.adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.
Eugen Ehrlich (1862-1922)
Ia melihat adanya perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat di pihak yang lain. Titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hukum atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu sendiri. Menurutnya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.  
Roscoe Pound (1870-1964)
Pound adalah orang yang pertama kali mencetuskan gagasan bahwa hukum tidaklah semata-mata sebagai sarana untuk mengendalikan ketertiban dalam masyarakat, tetapi hukum juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu (law as a tool of social engineering). Hal ini tidak lepas dari hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat. Pemikirannya ini dikembangkan oleh orang Indonesia antara lain: Mochtar Kusumaatmadja, Satjipto Raharjo dan lain-lain.
f. Realisme Hukum
Realisme hukum berasal dari pengaruh pemikiran modern yang berkembang di Amerika dan di Skandinavia. Realisme hukum pada dasarnya merupakan aliran yang meninggalkan pembicaraan mengenai hukum yang abstrak. Realisme hukum lebih menitikberatkan pada kajian terhadap pekerjaan-pekerjaan hukum yang praktis dalam menyelesaikan problem-problem dalam masyarakat.
Pokok-pokok pendekatan kaum realis menurut Liewelyn adalah sebagai berikut:
1.      Hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan pengadilan.
2.      Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan sosial tertentu.
3.      Masyarakat berubah lebih cepat daripada hukum, dan oleh karena itu selalu ada kebutuhan untuk menyelidiki bagaimana hukum itu menghadapi problem-problem sosial yang ada.
4.      Untuk studi dipisahkan antara yang ada dan yang seharusnya.
5.      Tidak mempercayai bahwa peraturan-peraturan dan konsep-konsep hukum itu sudah mencukupi untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan pengadilan.
6.      Menolak peraturan hukum sebagai faktor utama dalam pengambilan keputusan.
7.      Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit sehingga lebih nyata.
8.      Hendaknya hukum itu dinilai dari efektifitasnya dan kemanfaatannya.
Dalam aliran ini banyak sekali tokoh-tokohnya.[7] diantaranya ialah:
John Chipman Gray (1839-1915)
Gray adalah salah seorang penganut Realisme hukum di Amerika. Semboyannya terkenal: All the law is judge-made law. Ia menyatakan di samping logika sebagai unsur undang-undang, maka unsur kepribadian, prasangka dan faktor-faktor lain yang tidak logis memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan hukum.
Oliver Wendell Holmes Jr. (1841-1935)
Holmes memandang apa yang dilakukan oleh pengadilan (hakim) itulah yang disebut dengan hukum. Holmes juga menyatakan: Di samping norma-norma hukum bersama tafsirannya, moralitas hidup dan kepentingan-kepentingan sosial ikut menentukan keputusan para hakim.
Axel Hagerstorm (1868-1939)
Axel adalah tokoh realisme hukum Skandinavia. Pemikirannya tentang (realisme) hukum dapat dilihat dari pendapatnya tentang bagaimana rakyat  Romawi mentaati hukum. Menurutnya, rakyat Romawi mentaati hukum secara Irrasional, yaitu hukum yang bersumber dari Tuhan.
g. Aliran Freirechtslehre (Hukum Bebas)
Aliran ini merupakan penentang dari aliran positivisme. Aliran hukum bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan (menemukan) hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo[8] penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat oleh undang-undang. Hanya saja undang-undang tidak memegang peran utama, ia hanya sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum (yang tidak harus sama dengan penyelesaian undang-undang). Yurisprodensi merupakan hal yang primer didalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang merupakan hal yang sekunder. Pada aliran ini hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law) karena keputusan berdasarkan keyakinannya merupakan hukum. Dan keputusannya lebih bersifat dinamis dan up to date karena senantiasa memperhatikan keadaan dan perkembangan masyarakat.[9]
Ajaran hukum bebas itu merupakan suatu ajaran sosiologis radikal yang dikemukakan oleh mazhab realisme hukum Amerika. Teori ini membela suatu kebebasan yang besar bagi sang hakim. Seorang hakim dapat menentukan putusannya dengan tidak terikat pada undang-undang. Realisme hukum ini merupakan bagian aliran pragmatisme yang berkembang luas di amerika. Intinya ialah bahwa tidak terdapat kebenaran dalam teori-teori, melainkan dalam praktek hidup saja. Tetapi praktek hukum itu adalah tidak lain daripada kebijaksanaan para hakim. Para hakim itu tidak menafsirkan undang-undang secara teoritis (logis-sistematis), melainkan secara praktis. Maka undang-undang kehilangan keistimewaannya. Seorang hakim adalah seharusnya a cretive lawyer: in accordance with justice and aquity. Bila demikian halnya seorang hakim berwibawa untuk mengubah undang-undang, bila hal itu perlu. Dengan demikian putusan-putusan pengadilan dijadikan inti hukum.[10]   
Perlu dijadikan catatan bahwa kadang-kadang kurang jelas apakah seorang ahli hukum menganut ajaran hukum bebas secara sungguh-sungguh atau secara terbatas. Bila secara terbatas, hukum tetap dipertahankan sebagai aturan yang stabil, bila secara sungguh-sungguh kaidah hukum tinggal sebagai petunjuk relatif saja.
    







         





             






















       




[1] Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ihtiar, 1957), 9.
[2] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), 36.
[3] Darji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1999), 112-116.
[4] Ibid., 121.
[5] Ibid., 123-126.
[6] Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 84.
[7] Darji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-Pokok…..,130-147
[8] Sudino Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1996), 37.
[9] Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 116.
[10] Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 121-123.

No comments:

Post a Comment