ALIRAN-ALIRAN ILMU HUKUM
Membicarakan aliran-aliran
dalam ilmu hukum (teori hukum) berarti membicarakan kembali pemikiran-pemikiran
tentang hukum yang telah muncul sejak jaman kerajaan Yunani dan Romawi beberapa
abad yang lalu. Yunani terkenal sebagai kancah pemikiran tentang hukum sampai
ke akar filsafatnya. Masalah-masalah teori hukum yang utama pada masa sekarang
bisa dikaitkan ke belakang pada bangsa tersebut, karena teori-teori hukum telah
mendapatkan rumusannya pada masa itu.
Kondisi ini berbeda dengan
yang terjadi pada bangsa Romawi. Bangsa Romawi tidak banyak memberikan
sumbangan pemikirannya tentang teori-teori hukum. Pemikiran yang timbul justru
nampak menonjol pada bidang penciptaan konsep-konsep dan teknik yang
berhubungan dengan hukum positif (kontrak, ajaran tentang kebendaan dan
sebagainya)
a. Aliran Hukum
Alam
. Aliran hukum alam adalah aliran yang tertua
dalam sejarah pemikiran manusia tentang
hukum. Menurut aliran ini, selain daripada hukum positif (hukum yang berlaku
dimasyarakat) yang merupakan buatan manusia, masih ada hukum yang lain yaitu
hukum yang berasal dari Tuhan yang disebut hukum alam.[1]
Pengertian hukum alam dipandang sebagai hukum yang berlaku universal dan abadi.
Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibuat oleh
manusia.
Hukum alam mempunyai beberapa
arti:
1. Hukum alam merupakan ideal-ideal yang menuntun perkembangan
hukum dan pelaksanaannya.
2. Suatu dasar hukum yang bersifat “moral” yang menjaga jangan sampai
terjadi suatu pemisahan secara total antara yang ada sekarang dengan yang
seharusnya.
3. Suatu metode untuk menemukan hukum yang sempurna.
4. Isi hukum yang sempurna yang dapat dideduksikan melalui akal
5. Suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.
Dari
pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum alam dapat dibedakan:
1) Hukum alam sebagai suatu
metode
2) Hukum alam sebagai suatu
substansi.
Hukum alam sebagai metode
artinya: Hukum alam dipakai sebagai sarana untuk menciptakan
peraturan-peraturanyang mampu untuk menghadapi keadaan yang berlain-lainan.
Hukum alam sebagai substansi artinya: hukum alam justru merupakan isi dari
suatu norma.
Perkembangan hukum alam
sebenarnya sudah mulai muncul pada abad sebelum abad pertengahan. Aliran hukum
alam sebelum abad pertengahan dapat ditelusuri dari masa kerajaan Yunani dan
Romawi. Pada masa kerajaan Yunani pemikiran tentang hukum yang bercorak teoritis
berkembang begitu subur karena:
1. Kecenderungan orang untuk berpikir spekulatif serta persepsi
intelektualnya untuk mnyadari adanya tragedi kehudupan manusia serta
konflik-konflik dalamkehidupan di dunia.
2. Munculnya fenomena negara kota
(polis) yang diikuti kekacauan sosial, konflik-konflik di dalamnya serta
pergantian pemerintah yang begitu sering.
Kondisi-kondisi tersebut di
atas melahirkan pemikiran-pemikiran yang kritis terhadap hukum dalam kaitannya
dengan persoalan kekuasaan dan keadilan. Plato mengemukakan sebuah
konsepnya bahwa keadilan akan tercipta apabila seseorang mengurusi
pekerjaannya sendiri dan tidak mencampuri urusan orang lain. Aristoteles negara
berdasarkan hukum bukanlah alternatif terbaik tetapi alternatif yang paling
praktis untuk mencapai kehidupan yang sejahtera. Hukum adalah penjelmaan dari
akal, bukan nafsu-nafsu. Hanya akal dan Tuhan saja yang boleh memerintah.
Sumbangan Aristoteles yang lain
adalah konsepsinya tentang keadilan yaitu : keadilan distributif dan keadilan
komulatif. Keadilan distributif menyangkut pembagian barang dan kehormatan
kepada masing-masing orang sesuai dengan tempatnya di masyarakat. Sedangkan
keadilan komulatif adalah standar umum guna memperbaiki atau memulihkan
konsekuensi-konsekuensi dari suatu tindakan yang telah dilakukan dalam
hubungannya dengan orang lain.
Pada abad pertengahan hukum
alam berkembang makin pesat. Banyak pemikir-pemikir baru setelah Plato dan
Aristoteles yang muncul pada abad sebelumnya. Berdasar pada sumbernya, aliran
hukum alam dapat dibedakan menjadi dua macam: 1). Aliran hukum alam yang
Irrasional dan 2). Aliran hukum alam yang Rasional. Irrasional berpandangan
hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara
langsung. Sedangkan Rasional berpandangan bahwa sumber hukum alam yang
universal dan abadi itu adalah rasio manusia.
1.
Tokoh-tokoh aliran hukum
alam yang Irrasional
a. Thomas Aquines (1225-1227)
Menurut Aquines ada dua macam pengetahuan yang berjalan
bersama-sama,yaitu: 1). Pengetahuan alamiah yang berpangkal pada akal manusia
dan 2). Pengetahuan iman yang berpangkal pada wahyu Ilahi.
Thomas Aquines membedakan 4 macam hukum:
1.
Iex Aeterna (Hukum yang abadi): Hukum rasio Tuhan atau akal keilahian
yang tidak bisa ditangkap oleh panca indera manusia.
2.
Iex Livina (Hukum Ketuhanan): Petunjuk-petunjuk khusus dari Tuhan tentang
bagaimana manusia itu harus menjalani hidupnya (tercantum dalam kitab suci).
3.
Iex Naturalis (Hukum alam): Petunjuk-petunjuk umum yang paling mendasar,
misalnya yang baik harus dilakukan, sedangkan yang jelek harus ditinggalkan
(Iex Naturalis atau hukum alam, yaitu penjelmaan Iex Aeterna ke dalam Rasio
manusia).
4.
Iex Positivis: Penerapan Iex naturalis dalam kehidupan manusia di dunia
(disebut juga Iex human)[2]
b. John Salisbury (1115-1180)
Menurut John Salisbury, dalam menjalankan pemerintahan penguasa wajib
memperhatikan hukum tertulis dan tidak tertulis (hukum alam), yang mencerminkan
hukum Tuhan. Tugas rohaniah adalah membimbing penguasa agar tidak merugikan
kepentingan rakyat bahkan seharusnya penguasa itu harus manjadi abdi gereja.
c.
Dante Aligheiri(1265-1321)
Dia menyarankan bahwa segala kekuasaan harus diserahkan kepada satu
tangan yaitu pemerintahan yang absolut. Ia memberikan legitimasi terhadap
kekuasaan monarkhi yang bersifat mondial.
Adapun tokoh-tokoh lain dalam aliran hukum alam yang Irrasional adalah: Piere
Dubois (1255), Marsilius Padua (1270), William Occam(1290).
2. Tokoh-tokoh aliran hukum alam yang rasional adalah
1. Hugo de Groot atau Grotius(1583)
Dia terkenal dengan sebutan bapak Hukum Internasional karena dialah yang
mempopulerkan konsep-konsep hukum dalam hubungan antar negara, seperti hukum
perang. Menurut Grotius sumber hukum adalah rasio manusia karena karakteristik
yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah kemampuan akalnya. Hukum
alam menurutnya adalah hukum yang sesuai dengan kodrat manusia. Hukum tidak
mungkin dapat dirubah.
2.
Samuel Von Pufendorf (1632-1694)
Ia berpendapat hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran
yang murni.
Tokoh lain dari aliran hukum alam yang rasional pada pertengahan adalah
Emanuel Kant (1724-1804).
Aliran hukum alam mengalami kemunduran sejalan dengan munculnya aliran
positivis pada abad XIX. Namun demikian
keadaan ini nampaknya tidak berlangsung terus. Hukum alam bangkit kembali
karena ternyata aliran positivis telah gagal pula untuk menjawab tantangan yang
terjadi pada abad XIX utamanya tentang penyalahgunaan kekuasaan yang marak
terjadi disepanjang abad itu. Masa-masa ini sering disebut sebagai masa
kebangkitan kembali hukum alam. Tokoh yang dapat ditemukan pada masa ini adalah
Rudolf Stammler. Pada abad XX hukum alam ternyata masih banyak pemikirnya,
sebut satu saja adalah Leon L. Fuller. Ia mengaitkan antara hukum dan
moralitas. Hukum harus tunduk pada Internal Morality.
b. Aliran Positivis (Positivisme Hukum)
Aliran Hukum positivis (Positivisme hukum) memisahkan antara hukum dengan
moral: memisahkan antara hukum yang berlaku (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen). Menurut aliran positif, tidak ada hukum lain kecuali
perintah penguasa (law is command of the
souverign). Bahkan bagian dari aliran hukumpositif (yaitu legisme)
berpendapat lebih tegas: Hukum ialah undang-undang. Aliran hukum positif dapat
dibedakan: 1). Aliran hukum positif Analitis (Analytical jurisprudence) yang dipelopori oleh John Austin (1790):
dan 2). Aliran hukum Murni (Reine
Rechtslere-The Pure of Law) yang dipelopori oleh Hans Kelsen.
1.
Aliran hukum positif Analitis (Analitycal
jurisprudence)-John Austin (1730-1859)
Menurut aliran ini hukum adalah perintah dari penguasa negara. Hakekat
hukum terletak pada unsur “perintah” itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem
yang tetap, Logis, dan tertutup.
Dalm bukunya Austin mengatakan “A
Law is a command which obliges a person or person……laws and other commands are
said to proceed from superiors, and to bind or oblige inferiors”. Austin
membedakan hukum dalam dua jenis : 1). Hukum dari Tuhan untuk manusia dan 2).
Hukum yang dibuat oleh manusia. Austin membedakan lagi: 1). Hukum yang
sebenarnya, dan 2). Hukum yang tidak tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya
adalah hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang dibuat oleh manusia
individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya (hukum positif).
Sedangkan hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh
penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Hukum menurut
aliran ini harus memiliki empat unsur:
1. Perintah (command); 2. Sanksi (sanction); 3. Kewajiban (duty);
4. Kedaulatan (sovereignty).
2. Aliran Hukum Murni-Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut aliran hukum murni: hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir
non hukum, seperti sosiologis, politis, historis bahkan etis. Itulah sebabnya
aliran ini disebut aliran murni tentang hukum.
Hukum adalah kategori keharusan (sollenskatagorie)
bukan seinkatagorie (katagori Faktual).
Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia. Dalam hal ini
yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law ought to be), tetapi ”apa
hukumnya “ (what the law is).
Kelsen adalah penganut Kant, karena ia menggunakan pemikiran Kant tentang
pemisahan “bentuk” (form) dan “isi” (material). Bagi Kelsen, hukum hanya
berurusan dengan bentuk, tidak dengan isi. Jadi keadilan sebagai isi dari hukum
berada di luar hukum.
Dengan demikian bisa saja hukum bersifat tidak adil, namun toh ia tetap
merupakan hukum karena ia dikeluarkan oleh penguasa. Kelsen dikenal sebagai
orang yang mengembangkan “teori jenjang” (stuffentheory).
Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem terdiri dari susunan norma yang
berbentuk piramida. Di Indonesia mengikuti Kelsen tentang jenjang ini. Bisa
dilihat pada TAP MPR No. XX/MPRS/1966
tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan tata urutan
perundang-undangan Indonesia.[3]
c. Aliran Utilitarian (Utilitarianisme)
Aliran ini meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan dari hukum. Yang
dimaksud kemanfaatan disini adalah kebahagiaan (happiness). Hukum dinilai baik atau tidak baik sangat bergantung
apakah ia membahagiakan atau tidak bagi umat manusia. Tokohnya adalah Jeremy
Bentham, John Stuart, Mill, dan Rudolf Von Jhering.
Jeremy Bentham (1748-1832)
Berpendapat : Bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kerusakan. Tugas
hukum adalah memelihara kebahagiaan dan mencegah kejahatan. Menurutnya
pemidanaan haruslah bersifat spesifik untuk tiap jenis kejahatan, dan seberapa
besar pidana itu boleh diberikan, hal ini tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan
untuk mencegah timbulnya kejahatan.
John Stuart Mill (1806-1873)
Pemikirannya dipengaruhi oleh pertimbangan psikologi. Ia menyatakan bahwa
tujuan manusia mencari kebahagiaan. Yang ingin dicapai manusia bukanlah benda
atau sesuatu hal tertentu, tetapi kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya. Ia
dalam pemikirannya menjelaskan hubungan antara keadilan, kegunaan, kapentingan
individu dan kepentingan umum.
Rudolf Von Jhering (1818-1892)
Jhering mengajarkan tentang utilitarian sosial. Mulanya ia penganut paham
sejarah (yang dikembangkan oleh Savigny). Namun pada akhirnya ia justru
menentang pendapat dari Savigny. Menurut Savigny hukum Romawi adalah pernyataan
dari jiwa bangsa Romawi, dan oleh karena itu ia adalah hukum nasional (Romawi).
Hal inilah yang dibantah oleh Jhering, Jhering mengatakan Seperti dalam hidup sebagai perkembangan
biologis, senantiasa terdapat asimilasi dari unsur-unsur yang mempengaruhinya.
Demikian pula dalam bidang kebudayaan. Hukum Romawi pada hakekatnya juga
mengalami hal ini. Suatu barang tentu lapisan tertua hukum Romawi adalah
bersifat nasionalis tetapi pada tingkat-tingkat perkembangan berikutnya hukum
itu makin mendapat ciri universal. Lebih lanjut Jhering mengatakan bahwa hukum
Romawi dapat menjadi dasar hukum Jerman bukan karena hukum Romawi bersifat
nasional, akan tetapi justru karena hukum Romawi dalam perkembangannya sudah
berhadapan dengan aturan hidup lain, sehingga hukum tersebut lebih bersifat
universal daripada nasional.[4]
d. Aliran
Sejarah
Munculnya aliran sejarah setidaknya dilatar belakangi oleh tiga hal :
1.
Rasionalisme abad XVIII yang didasarkan pada hukum alam yang dipandang
tidak memperhatikan fakta sejarah.
2.
Semangat revolusi Perancis yang menentang tradisi dan lebih mengutamakan
rasio.
3.
Adanya larangan penafsiran oleh hakim karena undang-undang dipandang
telah dapat memecahkan semua masalah hukum.
Sebagaimana diketahui abad XVII adalah abad rasionalisme. Pemikiran
rasionalisme mengajarkan universalisme dalam berpikir. Cara pandang inilah yang
menjadi sebab utama munculnya madzab sejarah yang menentang universalisme.
Madzab sejarah lebih memfokuskan pada keberadaan suatu bangsa tepatnya adalah
jiwa bangsa. (volkgeist).
Tokoh penting aliran sejarah: Von Savigny, Puchta dan Henry Summer Maine.
Friedrich Karl Von Savigny
(1770-1861)
Savigny menganalogikan timbulnya hukum itu sama dengan timbulnya bahasa
bagi suatu bangsa. Hukum timbul bukan karena perintah penguasa (seperti
dikemukakan aliran positivis), tetapi karena perasaan keadilan yang terletak
pada jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa (volkgeist)
itulah yang menjadi sumber hukum law is
an expression of the common consciousness or spirit of people. Hukum tidak
dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Ia mengingatkan untuk
membangun hukum, studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak diperlukan.
Pucha (1798-1846)
Puchta adalah murid Von Savigny yang mengembangkan lebih lanjut pemikiran
gurunya. Ia berpendapat sama dengan gurunya, bahwa hukum suatu bangsa terikat
pada jiwa bangsa (Volksgeist) yang
bersangkutan. Hukum tersebut menurutnya dapat berbentuk:1) langsung berupa adat
istiadat, 2) melalui undang-undang, 3) melalui ilmu hukum dalam bentuk karya
para ahli hukum.
Henry Sumner Maine (1822-1888)
Maine banyak dipengaruhi oleh pemikiran Savigny. Ia dianggap sebagai
pelopor aliran sejarah di Inggris. Salah satu penelitiannya yang terkenal
adalah studi perbandingan perkembangan lembaga-lembaga hukum yang ada pada
masyarakat yang sederhana dan masyarakat yang sudah maju, yang dilakukan
berdasarkan pendekatan sejarah.[5]
e. Sociologycal Jurisprudence
G. W Paton lebih suka menggunakan istilah metode fungsional untuk
menggantikan istilah Sociologycal
jurisprudence. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya kerancuan antara
“Sociologycal Jurisprudence” dengan
“sosiologi Hukum” (Sociology of law).
Menurut Lily Rasjidi, ada perbedaan antara keduanya, sosiologi hukum memandang
hukum sebagai gejala soaial belaka, dengan pendekatan dari masyarakat ke hukum,
untuk sosiological jurisprudence
mendekati hubungan hukum dengan masyarakat, mulai dari hukum ke masyarakat.[6]
Pelopor aliran S.J.adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound.
Eugen Ehrlich (1862-1922)
Ia melihat adanya perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan
hukum yang hidup dalam masyarakat di pihak yang lain. Titik pusat perkembangan
hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hukum atau ilmu hukum, tetapi
pada masyarakat itu sendiri. Menurutnya hukum positif baru akan memiliki daya
berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Roscoe Pound (1870-1964)
Pound adalah orang yang pertama kali mencetuskan gagasan bahwa hukum
tidaklah semata-mata sebagai sarana untuk mengendalikan ketertiban dalam
masyarakat, tetapi hukum juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk merekayasa
masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu (law
as a tool of social engineering). Hal ini tidak lepas dari hubungan timbal
balik antara hukum dan masyarakat. Pemikirannya ini dikembangkan oleh orang
Indonesia antara lain: Mochtar Kusumaatmadja, Satjipto Raharjo dan lain-lain.
f. Realisme Hukum
Realisme hukum berasal dari pengaruh pemikiran modern yang berkembang di
Amerika dan di Skandinavia. Realisme hukum pada dasarnya merupakan aliran yang
meninggalkan pembicaraan mengenai hukum yang abstrak. Realisme hukum lebih
menitikberatkan pada kajian terhadap pekerjaan-pekerjaan hukum yang praktis
dalam menyelesaikan problem-problem dalam masyarakat.
Pokok-pokok pendekatan kaum realis menurut Liewelyn adalah sebagai
berikut:
1.
Hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-ubah dan
hukum yang diciptakan pengadilan.
2.
Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan sosial tertentu.
3.
Masyarakat berubah lebih cepat daripada hukum, dan oleh karena itu selalu
ada kebutuhan untuk menyelidiki bagaimana hukum itu menghadapi problem-problem
sosial yang ada.
4.
Untuk studi dipisahkan antara yang ada dan yang seharusnya.
5.
Tidak mempercayai bahwa peraturan-peraturan dan konsep-konsep hukum itu
sudah mencukupi untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan pengadilan.
6.
Menolak peraturan hukum sebagai faktor utama dalam pengambilan keputusan.
7.
Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit sehingga
lebih nyata.
8.
Hendaknya hukum itu dinilai dari efektifitasnya dan kemanfaatannya.
Dalam aliran ini banyak sekali tokoh-tokohnya.[7]
diantaranya ialah:
John Chipman Gray (1839-1915)
Gray adalah salah seorang penganut Realisme hukum di Amerika. Semboyannya
terkenal: All the law is judge-made law.
Ia menyatakan di samping logika sebagai unsur undang-undang, maka unsur
kepribadian, prasangka dan faktor-faktor lain yang tidak logis memiliki
pengaruh yang besar dalam pembentukan hukum.
Oliver Wendell Holmes Jr.
(1841-1935)
Holmes memandang apa yang dilakukan oleh pengadilan (hakim) itulah yang
disebut dengan hukum. Holmes juga menyatakan: Di samping norma-norma hukum
bersama tafsirannya, moralitas hidup dan kepentingan-kepentingan sosial ikut
menentukan keputusan para hakim.
Axel Hagerstorm (1868-1939)
Axel adalah tokoh realisme hukum Skandinavia. Pemikirannya tentang (realisme)
hukum dapat dilihat dari pendapatnya tentang bagaimana rakyat Romawi mentaati hukum. Menurutnya, rakyat
Romawi mentaati hukum secara Irrasional, yaitu hukum yang bersumber dari Tuhan.
g. Aliran Freirechtslehre (Hukum Bebas)
Aliran ini merupakan penentang dari aliran positivisme. Aliran hukum
bebas berpendapat bahwa hakim mempunyai tugas menciptakan (menemukan) hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo[8]
penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat oleh undang-undang.
Hanya saja undang-undang tidak memegang peran utama, ia hanya sebagai alat
bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum (yang tidak harus
sama dengan penyelesaian undang-undang). Yurisprodensi merupakan hal yang
primer didalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang merupakan hal yang
sekunder. Pada aliran ini hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law) karena keputusan
berdasarkan keyakinannya merupakan hukum. Dan keputusannya lebih bersifat
dinamis dan up to date karena
senantiasa memperhatikan keadaan dan perkembangan masyarakat.[9]
Ajaran hukum bebas itu merupakan suatu ajaran sosiologis radikal yang
dikemukakan oleh mazhab realisme hukum Amerika. Teori ini membela suatu
kebebasan yang besar bagi sang hakim. Seorang hakim dapat menentukan putusannya
dengan tidak terikat pada undang-undang. Realisme hukum ini merupakan bagian aliran
pragmatisme yang berkembang luas di amerika. Intinya ialah bahwa tidak terdapat
kebenaran dalam teori-teori, melainkan dalam praktek hidup saja. Tetapi praktek
hukum itu adalah tidak lain daripada kebijaksanaan para hakim. Para hakim itu
tidak menafsirkan undang-undang secara teoritis (logis-sistematis), melainkan
secara praktis. Maka undang-undang kehilangan keistimewaannya. Seorang hakim
adalah seharusnya a cretive lawyer: in
accordance with justice and aquity. Bila demikian halnya seorang hakim
berwibawa untuk mengubah undang-undang, bila hal itu perlu. Dengan demikian
putusan-putusan pengadilan dijadikan inti hukum.[10]
Perlu dijadikan catatan bahwa kadang-kadang kurang jelas apakah seorang
ahli hukum menganut ajaran hukum bebas secara sungguh-sungguh atau secara
terbatas. Bila secara terbatas, hukum tetap dipertahankan sebagai aturan yang
stabil, bila secara sungguh-sungguh kaidah hukum tinggal sebagai petunjuk
relatif saja.
[1]
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ihtiar, 1957), 9.
[2] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999),
36.
[3] Darji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1999), 112-116.
[4] Ibid., 121.
[5] Ibid., 123-126.
[6] Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 84.
[7] Darji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-Pokok…..,130-147
[8] Sudino Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta:
Liberty, 1996), 37.
[9] Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2001), 116.
[10] Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 121-123.
No comments:
Post a Comment