Friday, February 14, 2014

NORMA HUKUM



NORMA HUKUM
a.      Pengertian Hukum
Untuk memberi pengertian tentang hukum tidaklah mudah, sebab hukum adalah merupakan benda yang abstrak sifatnya yang tidak dapat dilihat oleh panca indra manusia. Setiap  manusia akan memberi definisi terhadap sesuatu senantiasa dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan orang itu terhadap sesuatu yang akan diberi definisi. Hal ini terjadi pula pada hukum, sehingga mengakibatkan terjadinya bermacam-macam pengertian tentang hukum, misalnya:
1.      Seorang sopir angkodes atau pengemudi becak yang setiap harinya berurusan dengan polisi, umumnya mereka akan mengartikan hukum sama dengan polisi. Hal ini tentunya berakibat terhadap penegakan hukum dikalangan mereka, dimana mereka menganggap kalau tidak ada polisi berarti hukum tidak ada, sehingga rambu-rambu lalu lintas yang terpampang jelas di jalan raya dapat dilanggar.
2.      Sopir lain mengatakan hukum adalah hakim yang kerjanya sehari-hari memutus perkara di pengadilan, yang lain lagi mengatakan hukum adalah jaksa, dan lain-lain.
3.      Orang yang hidup di daerah pedesaan yang masih kuat hukum adatnya, mereka mengartikan hukum sebagai suatu pola perilaku yang ajeg (terus menerus). Kebiasaan yang terjadi secara terus menerus dan diterima dengan sadar oleh masyarakat, menurut mereka itulah hukum.
4.      Bagi mereka yang berlatar pendidikan tinggi, mereka akan mengartikan hukum sebagai  patokan/pedoman untuk berperilaku yang pantas. Dalam hal ini hukum diartikan sebagai suatu kaidah yang mengatur hubungan antar pribadi.[1]
            Sampai sekarang para ahli hukum belum menemukan suatu kesepakatan bersama tentang definisi dari hukum, mereka mempunyai definisi yang berbeda-beda. Sebagai contoh misalnya, definisi hukum yang diberikan oleh:
1.Prof. Mr. Meyers
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tongkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
2. Leon Duguit
Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
3. Immanuel Kant
Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menurut peraturan hukum tentang kemerdekaan.  
4. SM Amin, SH
Hukum ialah kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu dan tujuan hukum adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
5. JCT Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto SH
Hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.      
6. FH Tirtaatmidjaja, SH
Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya. [2]
            Dari definisi-definisi diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa hukum mengandung beberapa unsur sebagai berikut:
 1.  Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
 2.  Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
 3.  Peraturan itu bersifat memaksa
 4.  Sanksi terhadap  pelanggar peraturan tersebut adalah tegas.
            Mengapa kita mengalami kesulitan dalam mendefinisikan hukum? Hal ini disebabkan karena hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum itu didalam suatu definisi. Seperti apa yang dikatakan oleh seorang bekas Guru Besar  Universiteit van Indonesia  Dr. W. L. G. Lemaire dalam bukunya “Het Recht in Indonesia”:
“……De veelzijdigheid en veelomvattendheid van het recht bregen niet alleen met zich, dat het onmogelijk is in een enkele definitie aan te geven wat recht is” (Banyaknya segi dan luasnya isi hukum itu, tidak memungkinkan perumusan hukum dalam suatu definisi tentang apakah sebenarnya hukum itu?) Selanjutnya Van Apeldoorn dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht menyebutkan bahwa hukum itu banyak seginya dan demikian luasnya, sehingga tidak mungkin menyatakannya dalam satu rumusan yang memuaskan. Oleh karena itu hukum tidak dapat didefinisikan kedalam suatu definisi  singkat yang mencakup segala-galanya.[3] Menurut. Kusumadi Pudjosewojo dalam bukunya “ Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia” mengemukakan bahwa:
“ Selanjutnya hendaklah diperhatikan, bahwa untuk dapat mengerti sungguh-sungguh segala sesuatu tentang hukum dan mendapat pandangan yang selengkapnya, tidak dapat hanya mempelajari buah karangan satu atau dua orang tertentu saja. Setiap pengarang hanya mengemukakan segi-segi tertentu sebagaimana dilihat olehnya.”
            Masyarakat mempunyai pengertian yang berbeda-beda terhadap hukum. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam bukunya “Sendi-Sendi Ilmu Hukum” menyebutkan ada 9 (sembilan) macam arti hukum yang diberikan oleh masyarakat:
1.      Hukum sebagai ilmu pengetahuan yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran
2.      Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi
3.      Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan
4.      Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis
5.      Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer)
6.      Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut pengambilan keputusan yang didasarkan pada hukum, akan tetapi yang juga didasarkan pada penilaian pribadi.
7.      Hukum sebagai proses pemerintahan, yakni proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan.
8.      Hukum sebagai sikap tindak atau perilaku ajeg (teratur), yaitu perilaku yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
9.      Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak dalam diri manusia tentang apa yang dianggap baik (sehingga harus dianut atau ditaati) dan apa yang dianggap buruk (sehingga harus dihindari).[4]
Selain itu ada 3 (tiga) macam lagi arti hukum yang diberikan masyarakat, yaitu:
1.      Hukum sebagai lembaga sosial (social institution) yang merupakan himpunan dari kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat.
2.      Hukum sebagai sarana sistem pengendalian sosial, yang mencakup segala proses baik yang direncanakan maupun tidak, yang bertujuan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat (dari segala lapisan) agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai.
3.      Hukum sebagai seni.[5]           
b.      Ciri-ciri Hukum
Untuk dapat mengenal hukum, dapat diketahui dari ciri- cirinya, yaitu:
  1. Adanya perintah dan/atau larangan
  2. Perintah  dan/atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang
Setiap orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah hukum meliputi berbagai paraturan yang menentukan dan mengatur hubungan orang yang satu dengan  yang lain yakni peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan Kaidah Hukum.
Barang siapa yang dengan sengaja melanggar sesuatu Kaidah Hukum akan dikenakan Sanksi (sebagai akibat pelanggaran Kaidah Hukum) yang berupa hukuman. Ada beberapa macam hukuman atau pidana didasarkan pada macam-macam jenisnya, menurut pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ialah:
  1. Pidana Pokok, yang terdiri dari:
    1. Pidana mati
    2. Pidana penjara:
a.       Seumur Hidup
b.      Sementara (setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya satu tahun) atau pidana penjara selama waktu tertentu
3.      Pidana kurungan, sekurang-kurangnya satu hari dan setinggi-tingginya satu tahun
    1. Pidana denda (sebagai pengganti hukuman kurungan)
    2. Pidana tutupan
  1. Pidana tambahan, yang terdiri dari:
    1. Pencabutan hak-hak tertentu
    2. Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu
    3. Pengumuman keputusan hakim[6]
c. Tujuan Hukum     
Tujuan hukum adalah sasaran yang hendak dicapai oleh hukum. Tujuan/sasaran yang hendak dicapai oleh hukum secara ideal mencakup tiga hal yaitu:
1.      Keadilan
2.      Kegunaan/manfaat
3.      Kepastian Hukum                    
            Dalam merumuskan apa yang menjadi tujuan hukum, para ahli mengemukakan pendapat yang berbeda-beda, secara teoritis ada tiga teori tentang tujuan hukum.
 1.  Teori Etis(etische theorie)
 Teori ini mengajarkan bahwa tujuan hukum semata-mata adalah keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filusuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya “ Ethica Nicomachea” dan “Rhetorika” yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas  yang suci, yaitu memberi kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya.[7]
     Aristoteles membedakan keadilan menjadi dua macam, yaitu:
          1.  Keadilan Distributif, yaitu suatu keadilan yang diberikan kepada setiap orang dengan memperoleh bagian secara proporsional berdasar pada kemampuan yang dimiliki. Keadilan yang dimaksud disini bukan kesamaan akan tetapi kesebandingan, misalnya:
-Kesempatan yang sama untuk menjadi presiden, akan tetapi tidak setiap orang dipilih menjadi presiden.
-Kesempatan yang sama untuk memperoleh lapangan pekerjaan misalnya menjadi seorang dokter atau guru,  akan tetapi tidak setiap orang dapat menjadi dokter ataupun guru.
          2.  Keadilan Komulatif, yaitu keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.[8]     Misalnya hukum memberikan kepada setiap orang hak yang sama banyaknya.
Keadilan komulatif lebih menguasai hubungan antara perseorangan khusus, sedangkan keadilan distributif terutama menguasai hubungan antara masyarakat (khususnya negara) dengan perseorangan khusus.
Kelemahan dari teori ini antara lain hukum tidak akan selalu dapat mewujudkan keadilan, hal ini dapat dilihat misalnya peraturan hukum lalu lintas yang menentukan orang yang mengendarai kendaraan harus mengambil disebelah liri jangan disebelah kanan, bukan dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan. Tetapi untuk menjaga kelancaran, keteraturan lalu lintas, sehingga tidak terjadi tabrakan antar pemakai jalan, dan dengan demikian kepentingan orang terlindungi.[9]  
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa teori etis ini bersifat berat sebelah karena dalam mengejar tujuannya (keadilan), aspek kepastian hukum sering dikesampingkan.
2. Teori Utilities
Jeremy Betham berpendapat bahwa hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang, atau dengan kata lain tujuan hukum adalah kemanfaatan bagi seluruh/sebagian besar orang. Dan karena apa yang berfaedah bagi orang yang sau mungkin merugikan orang lain, maka menurut teori utilities ini tujuan hukum adalah menjamin adanya kenahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama daripada hukum. Kepentingan seseorang dapat saja dikorbankan, sepanjang hal itu lebih memberi manfaat kepada banyak orang. Misalnya: Penggusuran tanah untuk kepentingan umum.
               Dalam hal ini, Betham menitikberatkan pada hal-hal yang berfaedah dari bersifat umum, namun tidak memperhatikan unsure keadilan. Sebaliknya menurut Bellefroid menyatakan bahwa isi hukum harus ditentukan menurut dua asas yaitu asas keadilan dan faedah.[10]
 3.  Teori  Positivis
Tujuan hukum adalah untuk kepastian hukum. Apabila keadilan (kegunaan hukum) yang dikejar, maka kepastian hukum akan dikorbankan.
Geny menjelaskan bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Dan sebagai unsure daripada keadilan disebutkannya “kepentingan daya guna dan kemanfaatan.”[11]  Selanjutnya Van Apeldoorn mengatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan lain sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan Individu dan kepentingan golongan-glongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan  kepentingan-kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian. Dan hukum pertahankan kedamaian dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, dimana setiap orang harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya.[12]   Beberapa ahli hukum di Indonesia sendiri telah mengemukakan perumusan apa yang menjadi tujuan hukum. Wirjono Prodjodikoro berpendapat tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan bahagia dan tertib dalam masyarakat.[13] Kemudian menurut Muchtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa ujuan pokok dan pertama dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Disamping ketertiban, tujuan lain daripada hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya.[14]
d. Kedudukan dan Fungsi Hukum
Dalam mempelajari ilmu hukum terdapat istilah ”dimana ada masyarakat disitu ada hukum” ( Ubi societas ibi ius ) istilah ini bermakna hukum ada pada setiap masyarakat dimanapun juga didunia ini. Bagaimanapun primitifnya dan bagaimanapun modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu eksistensi hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat tetapi justru mempunyai hubungan timbal balik. Hukum mengatur semua aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan keamanan daln lain sebagainya).  Tidak ada satupun segi kehidupan manusia dalam masyarakat yang luput dari sentuhan hukum. Jadi hukum itu berada dalam masyarakat sebab hukum hanya ada pada masyarakat.
Dalam sejarah pemikiran ilmu hukum fungsi dan peranan hukum terhadap segi-segi kehidupan masyarakat yang terus menerus mengalami perkembangan dan perubahan terdapat dua paham yang berbeda. Paham pertama mengatakan bahwa fungsi hukum hanyalah mengikuti perubahan-perubahan itu dan sedapat mungkin mengesahkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Pendapat ini dipelopori oleh madzhab sejarah dan kebudayaan yang diajarkan oleh Friedrich Carl Von Savigny (1799-1861), seorang ahli hukum dari Jerman. Paham kedua menyatakan bahwa hukum berfungsi sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Paham kedua ini dipelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1852), seorang ahi hukum dari Inggris yang kemudian dikembangkan oleh Roscoe Pund (1870-1964), di Amerika dari aliran “Sosiological Jurisprodence” yang dikenal dengan konsepsinya bahwa hukum (harus juga) berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan perubahan masyarakat (Law as a tool of social engineering)[15]
Kalau fungsi hukum dilihat sebagai sarana pengendali sosial, maka terlihat hukum sebagai alat untuk menjalankan dan mempertahankan ketertiban atau pula kehidupan yang ada. Hukum disisni hanya sekedar menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya seperti yang telah ditentukan. Sedangkan fungsi hukum sebagai social angineering lebih bersifat dinamis, yaitu hukum digunakan sebagai sarana untuk melakukan perubahan-perubahan didalam masyarakat. Jadi hukum tidak hanya sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada dalam masyarakat, melainkan ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau hubungan-hubungan yang baru.[16]
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana untuk mempertahankan stabilitas (social control) dan atau sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat (social engieneering) apakah hukum berfungsi kedua-duanya sekaligus atau hanya salah satu saja itu bergantung kepada bidang hukum yang dipersoalkan dan bidang kehidupan masyarakat yang mengalami perubahan.
Para ahli hukum berpendapat, terhadap bidang-bidang kehidupan masyarakatyang bersifat netral (duniawi, lahiriah), hukum berfungsi sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat. Sedangkan dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat yang bersifat peka (sensitif, rohaniah), hukum lebih berfungsi sebagai sarana untuk melakukan pengendalian sosial (social control)[17]
Bertolak dari dua macam fungsi hukum sebagaimana diuraikan diatas, seorang ahli sosiologi hukum  dari Princeton University, Lawrence Rosen, sebagaiman dikutip oleh Mulyana W. Kusumah dalam bukunya “Peranan dan Pendayagunaan Hukum Dalam Pembangunan” melihat ada tiga dimensi penting pendayagunaan pranata hukum didalam masyarakat yang sedang berkembang, yaitu :
1.      Hukum sebagai pencerminan dan wahana bagi konsep-konsep yang berbeda mengenahi tertib dan kesejahteraan sosial yang berkaitan dengan pernyataan dan perlindungan kepentingan-kepentingan masyarakat.
2.      Hukum dalam peranannya sebagai pranata otonom dapat pula merupakan pembatas kekuasaan semena-mena, sungguhpun pendayagunaan hukum bergantung pada kekuasaan-kekuasaan lain diluarnya.
3.      Hukum dapat didayagunakan sebagai sarana untuk mendukung dan mendorong perubahan-perubahan sosial ekonomi.[18] 
Perspektif yang tampak dominan di Indonesia, menurut Mulyana W. Kusumah, hal ini menunjukkan pentingnya hukum sebagai sarana bagi perubahan-perubahan sosial atau sarana pembangunan. Dalam kaitannya dengan pembangunan, Sunaryati Hartono, menyebut ada 4 (empat) fungsi hukum dalam pembangunan, yaitu
1.      Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan
2.      Hukum sebagai sarana pembangunan
3.      Hukum sebagai sarana penegak keadilan dan
4.      Hukum sebagai saranan pendidikan masyarakat.[19] 
            Soedjono Dirdjosisworo, dalam bukunya “ Pengantar Ilmu Hukum” menyebutkan 4 (empat) tahap fungsi hukum, yaitu:
1.      Fungsi hukum sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat
2.      Fungsi hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan bathin
3.      Fungsi hukum sebagai sarana penggerak pembangunan
4.      Fungsi kritis dari hukum.[20]
Soekanto menerangkan fungsi hukum pada masyarakat yang sedang mengalami masa transisi, dimana hukum dapat difungsikan sebagai penunjang penyelesaian masa transisi. Dalam menunjang penyelesaian masa transisi tersebut hukum diharapkan sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan atau keserasian antara kepentingan-kepentingan dalam masyarakat.[21]



[1] Muhammad Bakri, Meramu Hukum Positip Indonesia (Suatu Pengantar), (Malang: Universitas Brawijaya: 1992), 13
[2] C.S.TKansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), 36-39.
[3] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), 16.
[4] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), 13-14.  
[5] Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum, (Bandung: Alumni: 1976), 16  
[6] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu……, 39.
[7] Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia. (Jakarta: Ikhtiar cet. IV, 1957) 20.
[8] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu……, 42-43.
[9] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1986), 60.    
[10] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu….., 43-44.
[11] Ibid.
[12] Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1990), 11-17.
[13] Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: Sumur, 1967), 9.
[14] Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, dalam Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari……., 23-24.
[15] Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum, (Bandung: Alumni, 1976), 41.
[16]Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi Pengembangan Studi Hukum, (Bandung: Alumni, 1977), 143-145. 
[17] Soerjono Soekanto, Kegunaan…….., 41-42.
[18] Mulyana W. Kusumah, Peranan dan Pendayagunaan Hukum dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni, 1982), 4.
[19] Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1982), 6.
[20] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1983), 154-155.  
[21] Soerjono Soekanto, Kegunaan……… ,37-38.

No comments:

Post a Comment