NORMA HUKUM
a.
Pengertian Hukum
Untuk memberi pengertian tentang hukum
tidaklah mudah, sebab hukum adalah merupakan benda yang abstrak sifatnya yang
tidak dapat dilihat oleh panca indra manusia. Setiap manusia akan memberi definisi terhadap sesuatu
senantiasa dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuan orang itu terhadap
sesuatu yang akan diberi definisi. Hal ini terjadi pula pada hukum, sehingga
mengakibatkan terjadinya bermacam-macam pengertian tentang hukum, misalnya:
1.
Seorang sopir angkodes atau
pengemudi becak yang setiap harinya berurusan dengan polisi, umumnya mereka
akan mengartikan hukum sama dengan polisi. Hal ini tentunya berakibat terhadap
penegakan hukum dikalangan mereka, dimana mereka menganggap kalau tidak ada
polisi berarti hukum tidak ada, sehingga rambu-rambu lalu lintas yang
terpampang jelas di jalan raya dapat dilanggar.
2.
Sopir lain mengatakan hukum
adalah hakim yang kerjanya sehari-hari memutus perkara di pengadilan, yang lain
lagi mengatakan hukum adalah jaksa, dan lain-lain.
3.
Orang yang hidup di daerah
pedesaan yang masih kuat hukum adatnya, mereka mengartikan hukum sebagai suatu
pola perilaku yang ajeg (terus menerus). Kebiasaan yang terjadi secara terus
menerus dan diterima dengan sadar oleh masyarakat, menurut mereka itulah hukum.
4.
Bagi mereka yang berlatar
pendidikan tinggi, mereka akan mengartikan hukum sebagai patokan/pedoman untuk berperilaku yang
pantas. Dalam hal ini hukum diartikan sebagai suatu kaidah yang mengatur
hubungan antar pribadi.[1]
Sampai
sekarang para ahli hukum belum menemukan suatu kesepakatan bersama tentang
definisi dari hukum, mereka mempunyai definisi yang berbeda-beda. Sebagai
contoh misalnya, definisi hukum yang diberikan oleh:
1.Prof. Mr. Meyers
Hukum adalah semua aturan yang mengandung
pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tongkah laku manusia dalam
masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam
melakukan tugasnya.
2. Leon Duguit
Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota
masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh
suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika
dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran
itu.
3. Immanuel Kant
Hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang
dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan
kehendak bebas dari orang yang lain, menurut peraturan hukum tentang
kemerdekaan.
4. SM Amin, SH
Hukum ialah kumpulan-kumpulan
peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi-sanksi itu dan tujuan
hukum adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan
dan ketertiban terpelihara.
5. JCT Simorangkir, SH dan Woerjono Sastropranoto SH
Hukum itu ialah peraturan-peraturan yang
bersifat memaksa, menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat
yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap
peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman
tertentu.
6. FH Tirtaatmidjaja, SH
Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus
diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan
ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan
membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan
kemerdekaannya, didenda dan sebagainya. [2]
Dari
definisi-definisi diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa hukum mengandung
beberapa unsur sebagai berikut:
1. Peraturan
mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
2. Peraturan
itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
3. Peraturan
itu bersifat memaksa
4. Sanksi
terhadap pelanggar peraturan tersebut
adalah tegas.
Mengapa kita
mengalami kesulitan dalam mendefinisikan hukum? Hal ini disebabkan karena hukum
itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga tak mungkin tercakup
keseluruhan segi dan bentuk hukum itu didalam suatu definisi. Seperti apa yang
dikatakan oleh seorang bekas Guru Besar
Universiteit van Indonesia Dr. W.
L. G. Lemaire dalam bukunya “Het Recht in
Indonesia”:
“……De veelzijdigheid en
veelomvattendheid van het recht bregen niet alleen met zich, dat het onmogelijk
is in een enkele definitie aan te geven wat recht is” (Banyaknya segi dan
luasnya isi hukum itu, tidak memungkinkan perumusan hukum dalam suatu definisi
tentang apakah sebenarnya hukum itu?) Selanjutnya Van Apeldoorn dalam bukunya
yang berjudul “Inleiding tot de studie
van het Nederlandse recht menyebutkan bahwa hukum itu banyak seginya dan
demikian luasnya, sehingga tidak mungkin menyatakannya dalam satu rumusan yang
memuaskan. Oleh karena itu hukum tidak dapat didefinisikan kedalam suatu
definisi singkat yang mencakup
segala-galanya.[3] Menurut. Kusumadi
Pudjosewojo dalam bukunya “ Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia”
mengemukakan bahwa:
“ Selanjutnya hendaklah diperhatikan, bahwa untuk dapat
mengerti sungguh-sungguh segala sesuatu tentang hukum dan mendapat pandangan
yang selengkapnya, tidak dapat hanya mempelajari buah karangan satu atau dua
orang tertentu saja. Setiap pengarang hanya mengemukakan segi-segi tertentu
sebagaimana dilihat olehnya.”
Masyarakat
mempunyai pengertian yang berbeda-beda terhadap hukum. Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto dalam bukunya “Sendi-Sendi Ilmu Hukum” menyebutkan ada 9
(sembilan) macam arti hukum yang diberikan oleh masyarakat:
1.
Hukum sebagai ilmu
pengetahuan yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar
kekuatan pemikiran
2.
Hukum sebagai disiplin,
yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi
3.
Hukum sebagai kaidah, yakni
pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan
4.
Hukum sebagai tata hukum,
yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu
waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis
5.
Hukum sebagai petugas,
yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan
penegakan hukum (law enforcement officer)
6.
Hukum sebagai keputusan
penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut pengambilan keputusan
yang didasarkan pada hukum, akan tetapi yang juga didasarkan pada penilaian
pribadi.
7.
Hukum sebagai proses pemerintahan,
yakni proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem
kenegaraan.
8.
Hukum sebagai sikap tindak
atau perilaku ajeg (teratur), yaitu perilaku yang diulang-ulang dengan cara
yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
9.
Hukum sebagai jalinan
nilai-nilai, yakni jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak dalam diri manusia
tentang apa yang dianggap baik (sehingga harus dianut atau ditaati) dan apa
yang dianggap buruk (sehingga harus dihindari).[4]
Selain itu ada 3 (tiga) macam lagi arti
hukum yang diberikan masyarakat, yaitu:
1.
Hukum sebagai lembaga
sosial (social institution) yang
merupakan himpunan dari kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada
suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat.
2.
Hukum sebagai sarana sistem
pengendalian sosial, yang mencakup segala proses baik yang direncanakan maupun
tidak, yang bertujuan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga-warga
masyarakat (dari segala lapisan) agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai.
b.
Ciri-ciri Hukum
Untuk
dapat mengenal hukum, dapat diketahui dari ciri- cirinya, yaitu:
- Adanya perintah dan/atau larangan
- Perintah dan/atau larangan itu harus patuh ditaati setiap orang
Setiap
orang wajib bertindak sedemikian rupa dalam masyarakat, sehingga tata tertib
dalam masyarakat itu tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya. Oleh karena
itulah hukum meliputi berbagai paraturan yang menentukan dan mengatur hubungan
orang yang satu dengan yang lain yakni
peraturan-peraturan hidup kemasyarakatan yang dinamakan Kaidah Hukum.
Barang
siapa yang dengan sengaja melanggar sesuatu Kaidah Hukum akan dikenakan Sanksi
(sebagai akibat pelanggaran Kaidah Hukum) yang berupa hukuman. Ada
beberapa macam hukuman atau pidana didasarkan pada macam-macam jenisnya,
menurut pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ialah:
- Pidana Pokok, yang terdiri dari:
- Pidana mati
- Pidana penjara:
a. Seumur Hidup
b. Sementara
(setinggi-tingginya 20 tahun dan sekurang-kurangnya satu tahun) atau pidana
penjara selama waktu tertentu
3.
Pidana kurungan, sekurang-kurangnya satu hari dan setinggi-tingginya satu
tahun
- Pidana denda (sebagai pengganti hukuman kurungan)
- Pidana tutupan
- Pidana tambahan, yang terdiri dari:
- Pencabutan hak-hak tertentu
- Perampasan (penyitaan) barang-barang tertentu
- Pengumuman keputusan hakim[6]
c. Tujuan Hukum
Tujuan hukum adalah sasaran yang hendak
dicapai oleh hukum. Tujuan/sasaran yang hendak dicapai oleh hukum secara ideal mencakup tiga hal yaitu:
1.
Keadilan
2.
Kegunaan/manfaat
3.
Kepastian Hukum
Dalam
merumuskan apa yang menjadi tujuan hukum, para ahli mengemukakan pendapat yang
berbeda-beda, secara teoritis ada tiga teori tentang tujuan hukum.
1. Teori
Etis(etische theorie)
Teori
ini mengajarkan bahwa tujuan hukum semata-mata adalah keadilan. Teori ini
pertama kali dikemukakan oleh filusuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya “ Ethica Nicomachea” dan “Rhetorika” yang menyatakan bahwa hukum
mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi
kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya.[7]
Aristoteles
membedakan keadilan menjadi dua macam, yaitu:
1. Keadilan
Distributif, yaitu suatu keadilan
yang diberikan kepada setiap orang dengan memperoleh bagian secara proporsional
berdasar pada kemampuan yang dimiliki. Keadilan yang dimaksud disini bukan
kesamaan akan tetapi kesebandingan, misalnya:
-Kesempatan yang sama untuk menjadi presiden,
akan tetapi tidak setiap orang dipilih menjadi presiden.
-Kesempatan yang sama untuk memperoleh
lapangan pekerjaan misalnya menjadi seorang dokter atau guru, akan tetapi tidak setiap orang dapat menjadi
dokter ataupun guru.
2. Keadilan
Komulatif, yaitu keadilan yang memberikan
pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.[8] Misalnya hukum memberikan kepada setiap
orang hak yang sama banyaknya.
Keadilan komulatif lebih menguasai
hubungan antara perseorangan khusus, sedangkan keadilan distributif terutama
menguasai hubungan antara masyarakat (khususnya negara) dengan perseorangan
khusus.
Kelemahan
dari teori ini antara lain hukum tidak akan selalu dapat mewujudkan keadilan,
hal ini dapat dilihat misalnya peraturan hukum lalu lintas yang menentukan
orang yang mengendarai kendaraan harus mengambil disebelah liri jangan
disebelah kanan, bukan dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan. Tetapi untuk
menjaga kelancaran, keteraturan lalu lintas, sehingga tidak terjadi tabrakan
antar pemakai jalan, dan dengan demikian kepentingan orang terlindungi.[9]
Dari keterangan diatas dapat
disimpulkan bahwa teori etis ini bersifat berat sebelah karena dalam mengejar
tujuannya (keadilan), aspek kepastian hukum sering dikesampingkan.
2. Teori Utilities
Jeremy Betham berpendapat
bahwa hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang,
atau dengan kata lain tujuan hukum adalah kemanfaatan bagi seluruh/sebagian
besar orang. Dan karena apa yang berfaedah bagi orang yang sau mungkin
merugikan orang lain, maka menurut teori utilities ini tujuan hukum adalah
menjamin adanya kenahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Kepastian
melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama daripada hukum.
Kepentingan seseorang dapat saja dikorbankan, sepanjang hal itu lebih memberi
manfaat kepada banyak orang. Misalnya: Penggusuran tanah untuk kepentingan
umum.
Dalam
hal ini, Betham menitikberatkan pada hal-hal yang berfaedah dari bersifat umum,
namun tidak memperhatikan unsure keadilan. Sebaliknya menurut Bellefroid
menyatakan bahwa isi hukum harus ditentukan menurut dua asas yaitu asas
keadilan dan faedah.[10]
3. Teori Positivis
Tujuan hukum adalah untuk kepastian hukum.
Apabila keadilan (kegunaan hukum) yang dikejar, maka kepastian hukum akan
dikorbankan.
Geny menjelaskan bahwa hukum bertujuan
semata-mata untuk mencapai keadilan. Dan sebagai unsure daripada keadilan
disebutkannya “kepentingan daya guna dan kemanfaatan.”[11] Selanjutnya Van Apeldoorn mengatakan bahwa
tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum
menghendaki kedamaian. Kedamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum
dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu yaitu
kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda, dan lain sebagainya terhadap yang
merugikannya. Kepentingan Individu dan kepentingan golongan-glongan manusia
selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan-kepentingan ini selalu akan
menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain kalau tidak diatur oleh
hukum untuk menciptakan kedamaian. Dan hukum pertahankan kedamaian dengan
mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, dimana setiap orang
harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya.[12] Beberapa ahli hukum di Indonesia sendiri
telah mengemukakan perumusan apa yang menjadi tujuan hukum. Wirjono
Prodjodikoro berpendapat tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan bahagia dan
tertib dalam masyarakat.[13]
Kemudian menurut Muchtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa ujuan pokok dan pertama
dari hukum adalah ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini syarat pokok
(fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Disamping
ketertiban, tujuan lain daripada hukum adalah tercapainya keadilan yang
berbeda-beda isi dan ukurannya menurut masyarakat dan zamannya.[14]
d. Kedudukan dan
Fungsi Hukum
Dalam mempelajari ilmu hukum terdapat
istilah ”dimana ada masyarakat disitu ada hukum” ( Ubi societas ibi ius ) istilah ini bermakna hukum ada pada setiap
masyarakat dimanapun juga didunia ini. Bagaimanapun primitifnya dan
bagaimanapun modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu
eksistensi hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa dipisahkan dengan
masyarakat tetapi justru mempunyai hubungan timbal balik. Hukum mengatur semua
aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan
keamanan daln lain sebagainya). Tidak
ada satupun segi kehidupan manusia dalam masyarakat yang luput dari sentuhan
hukum. Jadi hukum itu berada dalam masyarakat sebab hukum hanya ada pada
masyarakat.
Dalam sejarah pemikiran ilmu hukum fungsi
dan peranan hukum terhadap segi-segi kehidupan masyarakat yang terus menerus
mengalami perkembangan dan perubahan terdapat dua paham yang berbeda. Paham
pertama mengatakan bahwa fungsi hukum hanyalah mengikuti perubahan-perubahan itu
dan sedapat mungkin mengesahkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat. Pendapat ini dipelopori oleh madzhab sejarah dan kebudayaan yang
diajarkan oleh Friedrich Carl Von Savigny (1799-1861), seorang ahli hukum dari
Jerman. Paham kedua menyatakan bahwa hukum berfungsi sebagai sarana untuk
melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Paham kedua ini dipelopori oleh
Jeremy Bentham (1748-1852), seorang ahi hukum dari Inggris yang kemudian
dikembangkan oleh Roscoe Pund (1870-1964), di Amerika dari aliran “Sosiological Jurisprodence” yang dikenal
dengan konsepsinya bahwa hukum (harus juga) berfungsi sebagai sarana untuk
mengadakan perubahan masyarakat (Law as a
tool of social engineering)[15]
Kalau fungsi hukum dilihat sebagai sarana
pengendali sosial, maka terlihat hukum sebagai alat untuk menjalankan dan
mempertahankan ketertiban atau pula kehidupan yang ada. Hukum disisni hanya
sekedar menjaga agar setiap orang menjalankan peranannya seperti yang telah
ditentukan. Sedangkan fungsi hukum sebagai social
angineering lebih bersifat dinamis, yaitu hukum digunakan sebagai sarana
untuk melakukan perubahan-perubahan didalam masyarakat. Jadi hukum tidak hanya
sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada dalam masyarakat, melainkan
ia berusaha untuk menciptakan hal-hal atau hubungan-hubungan yang baru.[16]
Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan
bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana untuk mempertahankan stabilitas (social control) dan atau sebagai sarana
untuk melakukan perubahan masyarakat (social
engieneering) apakah hukum berfungsi kedua-duanya sekaligus atau hanya
salah satu saja itu bergantung kepada bidang hukum yang dipersoalkan dan bidang
kehidupan masyarakat yang mengalami perubahan.
Para ahli hukum berpendapat, terhadap
bidang-bidang kehidupan masyarakatyang bersifat netral (duniawi, lahiriah),
hukum berfungsi sebagai sarana untuk melakukan perubahan masyarakat. Sedangkan
dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat yang bersifat peka (sensitif,
rohaniah), hukum lebih berfungsi sebagai sarana untuk melakukan pengendalian
sosial (social control)[17]
Bertolak dari dua macam fungsi hukum
sebagaimana diuraikan diatas, seorang ahli sosiologi hukum dari Princeton University, Lawrence Rosen,
sebagaiman dikutip oleh Mulyana W. Kusumah dalam bukunya “Peranan dan
Pendayagunaan Hukum Dalam Pembangunan” melihat ada tiga dimensi penting
pendayagunaan pranata hukum didalam masyarakat yang sedang berkembang, yaitu :
1.
Hukum sebagai pencerminan
dan wahana bagi konsep-konsep yang berbeda mengenahi tertib dan kesejahteraan
sosial yang berkaitan dengan pernyataan dan perlindungan
kepentingan-kepentingan masyarakat.
2.
Hukum dalam peranannya
sebagai pranata otonom dapat pula merupakan pembatas kekuasaan semena-mena,
sungguhpun pendayagunaan hukum bergantung pada kekuasaan-kekuasaan lain
diluarnya.
3.
Hukum dapat didayagunakan
sebagai sarana untuk mendukung dan mendorong perubahan-perubahan sosial
ekonomi.[18]
Perspektif yang tampak dominan di
Indonesia, menurut Mulyana W. Kusumah, hal ini menunjukkan pentingnya hukum
sebagai sarana bagi perubahan-perubahan sosial atau sarana pembangunan. Dalam
kaitannya dengan pembangunan, Sunaryati Hartono, menyebut ada 4 (empat) fungsi
hukum dalam pembangunan, yaitu
1.
Hukum sebagai pemelihara
ketertiban dan keamanan
2.
Hukum sebagai sarana
pembangunan
3.
Hukum sebagai sarana
penegak keadilan dan
Soedjono Dirdjosisworo, dalam bukunya
“ Pengantar Ilmu Hukum” menyebutkan 4 (empat) tahap fungsi hukum, yaitu:
1.
Fungsi hukum sebagai alat
ketertiban dan keteraturan masyarakat
2.
Fungsi hukum sebagai sarana
untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan bathin
3.
Fungsi hukum sebagai sarana
penggerak pembangunan
4.
Fungsi kritis dari hukum.[20]
Soekanto menerangkan fungsi
hukum pada masyarakat yang sedang mengalami masa transisi, dimana hukum dapat
difungsikan sebagai penunjang penyelesaian masa transisi. Dalam menunjang
penyelesaian masa transisi tersebut hukum diharapkan sebagai sarana untuk
menjaga keseimbangan atau keserasian antara kepentingan-kepentingan dalam
masyarakat.[21]
[1] Muhammad Bakri, Meramu Hukum Positip Indonesia
(Suatu Pengantar), (Malang: Universitas Brawijaya: 1992), 13
[2]
C.S.TKansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), 36-39.
[3]
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1999), 16.
[4]
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum,
(Bandung: Alumni, 1982), 13-14.
[5] Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi
Kalangan Hukum, (Bandung: Alumni: 1976), 16
[6]
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu……, 39.
[7] Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia.
(Jakarta: Ikhtiar cet. IV, 1957) 20.
[8]
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu……, 42-43.
[9] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum,
(Yogyakarta: Liberty, 1986), 60.
[10]
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu….., 43-44.
[11]
Ibid.
[12]
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta:Pradnya Paramita, 1990),
11-17.
[13]
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: Sumur, 1967),
9.
[14]
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, dalam Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari……., 23-24.
[15] Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum bagi
Kalangan Hukum, (Bandung: Alumni, 1976), 41.
[16]Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial bagi
Pengembangan Studi Hukum, (Bandung: Alumni, 1977), 143-145.
[17] Soerjono Soekanto, Kegunaan…….., 41-42.
[18] Mulyana W. Kusumah, Peranan dan Pendayagunaan Hukum
dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni, 1982), 4.
[19] Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan
Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1982), 6.
[20] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum,
(Jakarta: Rajawali, 1983), 154-155.
[21] Soerjono Soekanto, Kegunaan……… ,37-38.
No comments:
Post a Comment