Friday, February 14, 2014

Ilmu Hukum



  RUANG LINGKUP ILMU HUKUM

Manusia Sebagai Mahluk Sosial Dan Mahluk Individu
          Manusia disamping sebagai mahluk sosial juga sebagai mahluk individu (pribadi), artinya sudah menjadi kodrat manusia dalam hidupnya manusia selalu berhubungan/berinteraksi dengan orang lain dan hidup bersama-sama dalam suatu tempat dan waktu tertentu, hal ini disebut dengan masyarakat. Hubungan ini muncul sejak manusia lahir dan berakhir sampai ia meninggal dunia. Sepanjang sejarah belum pernah ada manusia yang dapat hidup sama sekali terpisah dari orang lain kecuali dalam hal-hal tertentu, misalnya sedang menjalani hukuman atau pengasingan. Itulah sebabnya filosof terkenal Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
            Manusia hidup bersama selain merupakan kodrat tentunya juga mempunyai beberapa tujuan. Tujuan tersebut diantaranya, yaitu:
 1.  Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
Untuk dapat mempertahankan hidupnya tentunya manusia harus dapat memenuhi beberapa kebutuhan hidup baik yang bersifat primer maupun yang bersifat sekunder. Kebutuhan tersebut akan dapat terpenuhi apabila manusia hidup secara berkelompok.
 2.  Untuk menghindarkan diri dari mara bahaya
Manusia dalam hidupnya selalu diincar mara bahaya, misalnya bahaya bencana alam, serangan dari manusia lain, serangan binatang buas sdan lain-lain. Bahaya itu tentunya akan mudah dihadapi apabila kita hidup berkelompok.
 3.  Melanjutkan keturunan.
Untuk dapat melanjutkan keturunan, manusia harus hidup bersama dengan orang lain, minimal dengan lawan jenisnya[1].
            Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, manusia tidak selalu hidup rukun dalam perkembangannya, mereka suatu saat akan mengalami perselisihan-perselisihan (konflik). Agar hal tersebut tidak terjadi secara terus-menerus, maka diperlukanlah suatu serangkaian petunjuk yang berisi pedoman-pedoman tentang bagaimana seorang berbuat terhadap orang lain atau bagaimana manusia bertingkah laku dalam masyarakat. Serangkaian petunjuk yang berisi pedoman-pedoman itu disebut norma/kaedah sosial.
            Norma atau kaedah sosial ini memberikan informasi kepada setiap orang sebagai anggota masyarakat tentang apa yang harus ia lakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma/kaedah sosial merupakan barometer dari tingkat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Makin tinggi tingkat kepatuhan masyarakat terhadap norma/kaedah sosial, makin tinggi pula tingkat ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat tersebut, begitu juga sebaliknya.
            Norma/kaedah sosial yang menjadi pedoman manusia berperilaku dalam masyarakat ada bermacam-macam, antara lain:
a.  Norma /kaedah agama
Norma kaedah agama adalah serangkaian petunjuk hidup yang berisi pedoman-pedoman perilaku manusia yang datangnya dari Tuhan yang memuat tentang perintah-perintah, larangan-larangan dan anjuran-anjuran.[2] Tujuan dari norma/kaedah agama untuk membentuk manusia sempurna (insan kamil) yaitu manusia yang baik hubungannya dengan Tuhannya, dengan sesama manusia, dan alam sekitarnya. Para pemeluk agama juga mengakui dan berkeyakinan, bahwa peraturan-peraturan hidup itu berasal dari Tuhan dan merupakan tuntutan hidup ke arah jalan yang benar. Dalam abad pertengahan orang berpendapat, bahwa norma agama adalah satu-satunya norma yang mengatur peribadatan yaitu kehidupan keagamaan dalam arti sesungguhnya dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga memuat peraturan-peraturan hidup yang bersifat kemasyarakatan dan disebut “muamalat” yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dan memeberi perlindungan terhadap kepentingan diri dan harta bendanya.[3]  
Sanksi terhadap norma/kaedah agama langsung dari Tuhan dan pelaksanaan dari sanksi tersebut besuk diakhirat. Oleh karena itu tingkat kepatuhan seseorang terhadap norma/kaedah agama ini tergantung pada tebal/tipisnya iman seseorang. Artinya makin tebal iman seseorang, maka makin tinggi tingkat kepatuhan seseorang terhadap iman tersebut, begitu pula sebaliknya. Karena bervariasinya tingkat keimanan seseorang, mereka terkadang tidak merasa terikat dengan norma/kaedah agama tersebut. Untuk mengatasi hal ini, maka diperlukanlah adanya norma/kaedah sosial lainnya.
Contoh norma/kaedah agama:
 1.  Hormatilah orang tuamu, agar supaya engkau slamat. (Kitab Injil Perjanjian Lama: Hukum yang Ke-V)
 2.  Jangan berbuat riba: barang siapa berbuat riba akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. (Al Qur’an: Surat Al Baqarah, ayat 275)[4]
Norma agama iu bersifat umum dan universil serta berlaku bagi seluruh golongan manusia di dunia.
b. Norma/Kaedah Kesusilaan
            Norma/kaedah kesusilaan adalah serangkaian petunjuk yang berisi pedoman perilaku manusia dalam masyarakat yang berasal dari bisikan kalbu atau hati nurani manusia.[5] Peraturan-peraturan ini berupa bisikan kalbu/suara batin yang diakui dan diinsyafi oleh setiap orang sebagai pedoman dalam sikap dan perbuatannya. 
            Kesusilaan memberikan peraturan-peraturan kepada manusia agar supaya ia menjadi manusia yang sempurna. Hasil daripada perintah dan larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu pada manusia bergantung pada pribadi masing-masing. Isi hatinya akan mengatakan perbuatan mana yang jahat.hati nuraninya menentukan apakah ia akan melakukan perbuatan. [6]          
Sebagai contoh, misalnya Seorang yang melakukan korupsi walaupun ia dapat melepaskan diri dari jeratan  hukum, namun hati nuraninya pasti mengatakan bahwa perbuatan korupsi itu merupakan perbuatan yang tercela. Jika hati nurani orang itu peka, maka ia akan merasa selalu bersalah sehingga dalam dirinya tidak ada ketenangan dan kedamaian demikian juga apabila orang yang melakukan pemerkosaan, pembunuhan, pencurian dan lain sebagainya.
Sanksi norma/kaedah kesusilaan datangnya dari hati nurani manusia itu sendiri, yang membisikkan agar melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tercela. Pelanggaran terhadap norma susila berarti melanggar perasaan baiknya sendiri yang berakibat pada penyesalan. Perbuatan yang tidak mengindahkan norma susila disebut a-susila.
            Norma/kaedah inipun bersifat umum dan universal dan dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Akan tetapi norma/kaidah inipun kurang menjamin terciptanya ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat sebab tingkat kepekaan hati nurani manusia juga sangat bervariasi.
c.           Norma/Kaedah Kesopanan (kebiasaan)
            Norma/kaedah kesopanan (kebiasaan) adalah serangkaian petunjuk hidup yang berisi pedoman perilaku manusia yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat dan diterima oleh kesadaran hukum masyarakat tersebut.[7] Norma/kaedah kesopanan (kebiasaan) ini bertumpu pada kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Sanksi dari pelanggaran norma ini adalah adanya celaan dari masyarakat.
            Contoh dari Norma/Kaedah kebiasaan /kesopanan:
 1.  Jangan meludah dihadapan orang banyak;
 2.  Orang muda harus menghormati yang lebih tua;
 3.  Jangan bersikap kasar terhadap orang lain;
 4.  Jangan berlaku sombong dan lain sebagainya
Norma kesopanan tidak mempunyai pengaruh yang luas, jika dibandingkan dengan norma agama dan kesusilaan karena norma kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat khusus dan setempat (regional) dan hanya berlaku bagi segolongan masyarakat tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi seglongan masyarakat, mungkin bagi masyarakat lain tidak demikian.
Norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan memegang peranan yang sangat penting dalam pergaulan hidup di masyarakat, namun ketiga norma tersebut belum cukup menjamin keserasian, keharmonisan, dan keseimbangan  hubungan sesama anggota masyarakat, dan belum menjamin segala kepentingan anggota masyarakat. Karena ketiga norma itu perlu ditambah dengan norma yang lain, yaitu norma hukum. Menurut Van Kan[8]  norma agama, kesusilaan, kesopanan belum cukup menjamin ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat disebabkan karena:
1)      Masih adanya aspek-aspek kehidupan/kepentingan anggota masyarakat yang belum diatur dalam ketiga norma itu. Misalnya tidak ada satupun norma agama, kesusilaan, dan kesopanan yang menentukan, bahwa orang yang berjalan dijalan raya harus berlalu disebelah kiri. Demikian pula tidak ada satu ketentuan dalam ketiga norma itu yang menentukan keharusan pencatatan perkawinan, pengumuman sebelum melangsungkan perkawinan. Padahal, apabila ketentuan-ketentuan tersebut tidak diindahkan, bisa menimbulkan akibat buruk, yang tidak saja akan dirasakan oleh seseorang, tetapi juga oleh masyarakat luas. Pencatatan perkawinan, misalnya, merupakan kebutuhan dalam masyarakat modern yang kehidupannya serba kompleks, yang apabila diabaikan dampak negatifnya sangat luas.
2)      Ketaatan terhadap norma agama, kesusilaan, dan kesopanan bergantung kepada kepercayaan, keyakinan, keinsafan dan kesadaran tiap pribadi orang dalam masyarakat. Sehingga, orang yang tidak begitu meyakini hukuman Tuhan diakhirat, dapat menahan rasa penyesalan, dan mau menanggung celaan dari masyarakat, akan dengan mudah sekali melakukan pelanggaran terhadap ketiga norma itu. Karenanya, hal-hal yang menyangkut kepentingan anggota masyarakat atau kepentingan masyarakat secara keseluruhan yang telah diatur ketiga norma tersebut, perlu diberi perlindungan norma lain, yaitu norma hukum yang bersifat memaksa. Perkataan “memaksa” disini bukan berarti senantiasa dapat dipaksakan. Sebab, tiada kekuasaan pun didunia ini termasuk juga tata hukum yang bersifat memaksa, yang dapat mencegah pembunuhan, pencurian, pengingkaran janji dan sebagainya. Namun tata hukum tidak mau menerima pelanggaran norma-normanya demikian saja, melainkan sedapat mungkin memaksakan pelaksanaan norma-normanya melalui aparat pelaksananya. Kalau pelaksanaan norma-norma hukum tersebut tidak mungkin dilakukan, maka tata hukum akan memaksakan hal lain, yang sedapat mungkin mendekati apa yang dituju norma-norma hukum yang bersangkutan atau menghapuskan akibat-akibat dari pelanggaran norma-norma hukum itu.    
Norma agama dan norma kesusilaan merupakan norma yang menyangkut aspek kehidupan pribadi. Sedangkan norma kesopanan dan norma hukum merupakan norma yang menyangkut aspek kehidupan antar pribadi. Norma agama bertujuan kepada kebersihan hati nurani atau terbentuknya akhlak pribadi. Selanjutnya norma kesopanan bertujuan pada kenyamanan (kesedapan) hidup antar pribadi. Sedangkan norma hukum bertujuan pada kedamaian hidup bersama.
d.  Norma Hukum (Kaedah Hukum)
            Norma/kaedah hukum adalah suatu norma yang sengaja dibuat oleh penguasa negara. Isinya mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala paksaan oleh alat-alat negara[9]. Sanksi dari norma hukum adalah tegas dan dapat dipaksakan oleh penguasa. Contoh:
1.      Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan  dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP) (Norma hukum Pidana)
2.      Orang yang tidak memenuhi suatu perjanjian/perikatan, diwajibkan mengganti kerugian (misalnya jual beli, sewa menyewa). (Norma Hukum Perdata)
            Keistimewaan norma/kaedah hukum ini terletak pada sifatnya yang memaksa, dengan sanksi yang berupa ancaman hukuman. Alat-alat kekuasaan negara berdaya upaya agar peraturan-peraturan hukum itu ditaati dan dilaksanakan. Paksaan tidak berarti sewenang-wenang melainkan harus bersifat sebagai alat yang dapat memberi suatu tekanan agar norma-norma hukum itu dihormati dan ditaati. [10]  
            Sesungguhnya norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum mempunyai hubungan erat dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain serta saling memperkokoh kekuatan pengaruhnya dalam masyarakat. Kejahatan-kejahatan yang diuraikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hampir semuanya merupakan perbuatan yang dicela oleh kesusilaan dan agama. Demikian pula asas-asas kesusilaan dan agama juga memegang peranan penting dalam hukum perdata, sehingga beberapa ketentuan didalamnya secara jelas memberikan perlindungan terhadap mereka yang ekonominya lemah dari mereka yang ekonominya lebih kuat dan sebagainya. Ingkar janji (wanprestasi) dalam pelaksanaan perjanjian, tidak hanya merupakan pelanggaran terhadap norma hukum, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap norma agama, kesusilaan dan kesopanan. Karenanya dilihat dari segi isinya, maka keempat norma tersebut tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil.
           






[1] Mohammad Bakri, Meramu Hukum Positip Indonesia (Suatu Pengantar), (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 1992), 3. 
[2] Ibid, 7.
[3] Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Armico, 1985),3.
[4] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1989), 84-85.
[5] Mohammad Bakri, Meramu……, 7.
[6] C.S.T. Kansil, Pengantar………., 85.
[7] Mohammad bakri, Meramu……, 8.
[8] Riduan Syahrani, Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999),.9-10.
[9] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka: 1989), 87

[10] Ibid, 88.

No comments:

Post a Comment