RUANG LINGKUP ILMU HUKUM
Manusia Sebagai Mahluk
Sosial Dan Mahluk Individu
Manusia disamping sebagai
mahluk sosial juga sebagai mahluk individu (pribadi), artinya sudah menjadi
kodrat manusia dalam hidupnya manusia selalu berhubungan/berinteraksi dengan
orang lain dan hidup bersama-sama dalam suatu tempat dan waktu tertentu, hal
ini disebut dengan masyarakat. Hubungan ini muncul sejak manusia lahir dan
berakhir sampai ia meninggal dunia. Sepanjang sejarah belum pernah ada manusia
yang dapat hidup sama sekali terpisah dari orang lain kecuali dalam hal-hal
tertentu, misalnya sedang menjalani hukuman atau pengasingan. Itulah sebabnya
filosof terkenal Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial.
Manusia
hidup bersama selain merupakan kodrat tentunya juga mempunyai beberapa tujuan.
Tujuan tersebut diantaranya, yaitu:
1. Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya
Untuk dapat mempertahankan hidupnya tentunya
manusia harus dapat memenuhi beberapa kebutuhan hidup baik yang bersifat primer
maupun yang bersifat sekunder. Kebutuhan tersebut akan dapat terpenuhi apabila
manusia hidup secara berkelompok.
2. Untuk
menghindarkan diri dari mara bahaya
Manusia dalam hidupnya selalu diincar mara
bahaya, misalnya bahaya bencana alam, serangan dari manusia lain, serangan
binatang buas sdan lain-lain. Bahaya itu tentunya akan mudah dihadapi apabila
kita hidup berkelompok.
3. Melanjutkan
keturunan.
Untuk dapat melanjutkan keturunan, manusia
harus hidup bersama dengan orang lain, minimal dengan lawan jenisnya[1].
Dalam
pergaulan hidup bermasyarakat, manusia tidak selalu hidup rukun dalam
perkembangannya, mereka suatu saat akan mengalami perselisihan-perselisihan
(konflik). Agar hal tersebut tidak terjadi secara terus-menerus, maka
diperlukanlah suatu serangkaian petunjuk yang berisi pedoman-pedoman tentang
bagaimana seorang berbuat terhadap orang lain atau bagaimana manusia bertingkah
laku dalam masyarakat. Serangkaian petunjuk yang berisi pedoman-pedoman itu
disebut norma/kaedah sosial.
Norma atau kaedah sosial ini
memberikan informasi kepada setiap orang sebagai anggota masyarakat tentang apa
yang harus ia lakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Tingkat kepatuhan
masyarakat terhadap norma/kaedah sosial merupakan barometer dari tingkat
ketertiban dan keteraturan masyarakat. Makin tinggi tingkat kepatuhan
masyarakat terhadap norma/kaedah sosial, makin tinggi pula tingkat ketertiban
dan keteraturan dalam masyarakat tersebut, begitu juga sebaliknya.
Norma/kaedah
sosial yang menjadi pedoman manusia berperilaku dalam masyarakat ada
bermacam-macam, antara lain:
a. Norma /kaedah agama
Norma kaedah agama adalah serangkaian
petunjuk hidup yang berisi pedoman-pedoman perilaku manusia yang datangnya dari
Tuhan yang memuat tentang perintah-perintah, larangan-larangan dan
anjuran-anjuran.[2] Tujuan dari norma/kaedah
agama untuk membentuk manusia sempurna (insan kamil) yaitu manusia yang baik
hubungannya dengan Tuhannya, dengan sesama manusia, dan alam sekitarnya. Para
pemeluk agama juga mengakui dan berkeyakinan, bahwa peraturan-peraturan hidup
itu berasal dari Tuhan dan merupakan tuntutan hidup ke arah jalan yang benar.
Dalam abad pertengahan orang berpendapat, bahwa norma agama adalah satu-satunya
norma yang mengatur peribadatan yaitu kehidupan keagamaan dalam arti
sesungguhnya dan mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga memuat
peraturan-peraturan hidup yang bersifat kemasyarakatan dan disebut “muamalat”
yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antar manusia dan memeberi
perlindungan terhadap kepentingan diri dan harta bendanya.[3]
Sanksi terhadap norma/kaedah agama langsung dari Tuhan
dan pelaksanaan dari sanksi tersebut besuk diakhirat. Oleh karena itu tingkat
kepatuhan seseorang terhadap norma/kaedah agama ini tergantung pada
tebal/tipisnya iman seseorang. Artinya makin tebal iman seseorang, maka makin
tinggi tingkat kepatuhan seseorang terhadap iman tersebut, begitu pula
sebaliknya. Karena bervariasinya tingkat keimanan seseorang, mereka terkadang
tidak merasa terikat dengan norma/kaedah agama tersebut. Untuk mengatasi hal
ini, maka diperlukanlah adanya norma/kaedah sosial lainnya.
Contoh norma/kaedah agama:
1. Hormatilah
orang tuamu, agar supaya engkau slamat. (Kitab Injil Perjanjian Lama: Hukum
yang Ke-V)
2. Jangan
berbuat riba: barang siapa berbuat riba akan dimasukkan ke dalam neraka
selama-lamanya. (Al Qur’an: Surat Al Baqarah, ayat 275)[4]
Norma agama iu bersifat umum dan universil serta berlaku
bagi seluruh golongan manusia di dunia.
b. Norma/Kaedah
Kesusilaan
Norma/kaedah
kesusilaan adalah serangkaian petunjuk yang berisi pedoman perilaku manusia
dalam masyarakat yang berasal dari bisikan kalbu atau hati nurani manusia.[5]
Peraturan-peraturan ini berupa bisikan kalbu/suara batin yang diakui dan
diinsyafi oleh setiap orang sebagai pedoman dalam sikap dan perbuatannya.
Kesusilaan
memberikan peraturan-peraturan kepada manusia agar supaya ia menjadi manusia
yang sempurna. Hasil daripada perintah dan larangan yang timbul dari norma
kesusilaan itu pada manusia bergantung pada pribadi masing-masing. Isi hatinya
akan mengatakan perbuatan mana yang jahat.hati nuraninya menentukan apakah ia
akan melakukan perbuatan. [6]
Sebagai contoh, misalnya Seorang yang
melakukan korupsi walaupun ia dapat melepaskan diri dari jeratan hukum, namun hati nuraninya pasti mengatakan
bahwa perbuatan korupsi itu merupakan perbuatan yang tercela. Jika hati nurani
orang itu peka, maka ia akan merasa selalu bersalah sehingga dalam dirinya
tidak ada ketenangan dan kedamaian demikian juga apabila orang yang melakukan
pemerkosaan, pembunuhan, pencurian dan lain sebagainya.
Sanksi norma/kaedah kesusilaan datangnya dari hati nurani
manusia itu sendiri, yang membisikkan agar melakukan perbuatan-perbuatan yang
baik dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tercela. Pelanggaran terhadap
norma susila berarti melanggar perasaan baiknya sendiri yang berakibat pada
penyesalan. Perbuatan yang tidak mengindahkan norma susila disebut a-susila.
Norma/kaedah
inipun bersifat umum dan universal dan dapat diterima oleh seluruh umat
manusia. Akan tetapi norma/kaidah inipun kurang menjamin terciptanya ketertiban
dan keteraturan dalam masyarakat sebab tingkat kepekaan hati nurani manusia
juga sangat bervariasi.
c.
Norma/Kaedah Kesopanan (kebiasaan)
Norma/kaedah
kesopanan (kebiasaan) adalah serangkaian petunjuk hidup yang berisi pedoman
perilaku manusia yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam
masyarakat dan diterima oleh kesadaran hukum masyarakat tersebut.[7]
Norma/kaedah kesopanan (kebiasaan) ini bertumpu pada kenyataan-kenyataan yang
terjadi dalam masyarakat. Sanksi dari pelanggaran norma ini adalah adanya
celaan dari masyarakat.
Contoh dari
Norma/Kaedah kebiasaan /kesopanan:
1. Jangan
meludah dihadapan orang banyak;
2. Orang
muda harus menghormati yang lebih tua;
3. Jangan
bersikap kasar terhadap orang lain;
4. Jangan
berlaku sombong dan lain sebagainya
Norma kesopanan tidak mempunyai pengaruh
yang luas, jika dibandingkan dengan norma agama dan kesusilaan karena norma
kesopanan tidak berlaku bagi seluruh masyarakat dunia, melainkan bersifat
khusus dan setempat (regional) dan hanya berlaku bagi segolongan masyarakat
tertentu saja. Apa yang dianggap sopan bagi seglongan masyarakat, mungkin bagi
masyarakat lain tidak demikian.
Norma agama, norma kesusilaan, norma
kesopanan memegang peranan yang sangat penting dalam pergaulan hidup di
masyarakat, namun ketiga norma tersebut belum cukup menjamin keserasian,
keharmonisan, dan keseimbangan hubungan
sesama anggota masyarakat, dan belum menjamin segala kepentingan anggota
masyarakat. Karena ketiga norma itu perlu ditambah dengan norma yang lain,
yaitu norma hukum. Menurut Van Kan[8] norma agama, kesusilaan, kesopanan belum
cukup menjamin ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat disebabkan karena:
1)
Masih adanya aspek-aspek
kehidupan/kepentingan anggota masyarakat yang belum diatur dalam ketiga norma
itu. Misalnya tidak ada satupun norma agama, kesusilaan, dan kesopanan yang
menentukan, bahwa orang yang berjalan dijalan raya harus berlalu disebelah
kiri. Demikian pula tidak ada satu ketentuan dalam ketiga norma itu yang
menentukan keharusan pencatatan perkawinan, pengumuman sebelum melangsungkan
perkawinan. Padahal, apabila ketentuan-ketentuan tersebut tidak diindahkan,
bisa menimbulkan akibat buruk, yang tidak saja akan dirasakan oleh seseorang,
tetapi juga oleh masyarakat luas. Pencatatan perkawinan, misalnya, merupakan
kebutuhan dalam masyarakat modern yang kehidupannya serba kompleks, yang
apabila diabaikan dampak negatifnya sangat luas.
2)
Ketaatan terhadap norma
agama, kesusilaan, dan kesopanan bergantung kepada kepercayaan, keyakinan,
keinsafan dan kesadaran tiap pribadi orang dalam masyarakat. Sehingga, orang
yang tidak begitu meyakini hukuman Tuhan diakhirat, dapat menahan rasa
penyesalan, dan mau menanggung celaan dari masyarakat, akan dengan mudah sekali
melakukan pelanggaran terhadap ketiga norma itu. Karenanya, hal-hal yang menyangkut
kepentingan anggota masyarakat atau kepentingan masyarakat secara keseluruhan
yang telah diatur ketiga norma tersebut, perlu diberi perlindungan norma lain,
yaitu norma hukum yang bersifat memaksa. Perkataan “memaksa” disini bukan
berarti senantiasa dapat dipaksakan. Sebab, tiada kekuasaan pun didunia ini
termasuk juga tata hukum yang bersifat memaksa, yang dapat mencegah pembunuhan,
pencurian, pengingkaran janji dan sebagainya. Namun tata hukum tidak mau
menerima pelanggaran norma-normanya demikian saja, melainkan sedapat mungkin
memaksakan pelaksanaan norma-normanya melalui aparat pelaksananya. Kalau
pelaksanaan norma-norma hukum tersebut tidak mungkin dilakukan, maka tata hukum
akan memaksakan hal lain, yang sedapat mungkin mendekati apa yang dituju
norma-norma hukum yang bersangkutan atau menghapuskan akibat-akibat dari
pelanggaran norma-norma hukum itu.
Norma agama dan norma kesusilaan merupakan norma yang
menyangkut aspek kehidupan pribadi. Sedangkan norma kesopanan dan norma hukum
merupakan norma yang menyangkut aspek kehidupan antar pribadi. Norma agama
bertujuan kepada kebersihan hati nurani atau terbentuknya akhlak pribadi.
Selanjutnya norma kesopanan bertujuan pada kenyamanan (kesedapan) hidup antar
pribadi. Sedangkan norma hukum bertujuan pada kedamaian hidup bersama.
d. Norma Hukum (Kaedah Hukum)
Norma/kaedah
hukum adalah suatu norma yang sengaja dibuat oleh penguasa negara. Isinya
mengikat setiap orang dan pelaksanaannya dapat dipertahankan dengan segala
paksaan oleh alat-alat negara[9].
Sanksi dari norma hukum adalah tegas dan dapat dipaksakan oleh penguasa.
Contoh:
1. Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun. (Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP) (Norma
hukum Pidana)
2. Orang yang tidak memenuhi suatu perjanjian/perikatan, diwajibkan
mengganti kerugian (misalnya jual beli, sewa menyewa). (Norma Hukum Perdata)
Keistimewaan
norma/kaedah hukum ini terletak pada sifatnya yang memaksa, dengan sanksi yang
berupa ancaman hukuman. Alat-alat kekuasaan negara berdaya upaya agar
peraturan-peraturan hukum itu ditaati dan dilaksanakan. Paksaan tidak berarti
sewenang-wenang melainkan harus bersifat sebagai alat yang dapat memberi suatu
tekanan agar norma-norma hukum itu dihormati dan ditaati. [10]
Sesungguhnya norma agama, norma
kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum mempunyai hubungan erat dan tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lain serta saling memperkokoh kekuatan
pengaruhnya dalam masyarakat. Kejahatan-kejahatan yang diuraikan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hampir semuanya merupakan perbuatan yang dicela
oleh kesusilaan dan agama. Demikian pula asas-asas kesusilaan dan agama juga
memegang peranan penting dalam hukum perdata, sehingga beberapa ketentuan
didalamnya secara jelas memberikan perlindungan terhadap mereka yang ekonominya
lemah dari mereka yang ekonominya lebih kuat dan sebagainya. Ingkar janji
(wanprestasi) dalam pelaksanaan perjanjian, tidak hanya merupakan pelanggaran
terhadap norma hukum, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap norma agama,
kesusilaan dan kesopanan. Karenanya dilihat dari segi isinya, maka keempat
norma tersebut tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil.
[1]
Mohammad Bakri, Meramu Hukum Positip Indonesia (Suatu Pengantar),
(Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 1992), 3.
[2]
Ibid, 7.
[3]
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Armico, 1985),3.
[4]
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:
Balai pustaka, 1989), 84-85.
[5]
Mohammad Bakri, Meramu……, 7.
[6]
C.S.T. Kansil, Pengantar………., 85.
[7]
Mohammad bakri, Meramu……, 8.
[8]
Riduan Syahrani, Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1999),.9-10.
[9]
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta,
Balai Pustaka: 1989), 87
[10]
Ibid, 88.
No comments:
Post a Comment