Friday, February 14, 2014

PEMBEDAAN HUKUM



PEMBEDAAN HUKUM

Hukum dapat dibedakan atas beberapa macam menurut cara membedakannya yaitu menurut sumbernya, menurut isinya, menurut kekuatan mengikatnya, menurut dasar pemeliharaannya, menurut keadaannya, menurut tempat berlakunya, bentuknya, penerapannya dan sebagainya.
1)        Menurut sumbernya, hukum dapat dibedakan atas :
a.    Hukum  undang-undang, ialah hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan;
b.    Hukum kebiasaan dan hukum adat, ialah hukum yang terdapat dalam kebiasaan dan adat-istiadat;
c.    Hukum traktat, ialah hukum yang ditetapkan oleh dua atau beberapa negara yang mengadakan perjanjian bilateral ataupun multilateral;
d.   Hukum yurisprudensi, ialah hukum yang terbentuk karena putusan pengadilan; dan
e.    Hukum ilmu (doktrin), ialah hukum yang dibuat oleh ilmu hukum yaitu hukum yang terdapat dalam pandangan ahli-ahli hukum yang terkenal dan sangat berpengaruh.
2)        Menurut isinya, hukum dapat dibedakan atas:
  1. Hukum publik ialah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyangkut kepentingan umum;
  2. Hukum privat ialah hukum yang mengatur hubungan-hubungan huku yang menyangkut kepentingan pribadi.
Antara hukum publik dan hukum privat sesungguhnya tidak dapat dipisahkan secara tegas satu sama lain, karena segala hubungan hukum dalam masyarakat selalu dapat dikatakan termasuk hukum publik dan hukum privat. Perbedaannya terletak pada titik berat kepentingan yang diatur. Hukum publik titik beratnya mengatur kepentingan masyarakat (umum), sedangkan hukum privat titik beratnya mengatur kepentingan perorangan (pribadi).[1]

Bidang hukum yang termasuk hukum publik adalah hukum tata negara, hukum tata pemerintahan, hukum acara, hukum perburuhan, hukum pajak, hukum internasional dan hukum padana. Sedangkan bidang yang termasuk hukum privat adalah hukum perdata, hukum dagang, hukum perselisihan nasional (hukum antar-tata hukum), hukum perdata internasional. Namun Utrecht menganggap “hukum pidana” mempunyai kedudukan istimewa, yang harus diberi tempat tersendiri di luar kelompok hukum publik dan hukum privat. Utrecht melihat hukum pidana sebagai suatu hukum sanksi istimewa (bijzonder sanctierecht). Hukum pidana memberi suatu sanksi istimewa baik atas pelanggaran hukum privat maupun pelanggaran hukum publik. Hukum pidana melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan hukum privat meupun peraturan-peraturan hukum publik. Hukum pidana melindungi kedua macam kepentingan itu dengan memebuat sanksi istimewa. Sanksi istemewa ini perlu, kata Utrecht, oleh karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan pemerintah yang lebih keras.[2]
Oleh karena itu Utrecht membuat skema pembagian hukum menurut isi sebagai berikut :














 

















3)        Menurut kekuatan mengikatnya, hukum dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu:
a.    Hukum pelengkap (hukum fakultatif, aanvullend recht) ialah peraturan hukum yang boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan. Peraturan hukum mana hanya berlaku jika orang-orang yang berkepentinagn tidak mengatur sendiri kepentingannya.
b.    Hukum memaksa (hukum imperatif, dwingend recht) ialah peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan. Peraturan hukum mana mau tidak mau harus ditaati oleh orang-orang yang berkepentingan.
4)        Menurut dasar pemeliharaannya, hukum dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu :
  1. Hukum materiil, ialah hukum yang mengatur isi daripada hubungan-hubungan hukum (rechtsverhouding, rechtsbetrekking) dalam masyarakat. Hubungan-hubungan hukum dalam lapangan perdata diatur oleh hukum perdata, dan hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum publik diatur oleh hukum publik.
  2. Hukum formil, ialah hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya memepertahankan atau menegakkan hukum materiil. Hukum formil ini bias juga disebut hukum acara,yang terdiri atas hukum acara perdata, hukum acara pidana dan hukum acara tata usaha negara.
Hukum materiil sering juga disebut “hukum substantif” sedangkan hukum formil sering juga disebut “hukum ajektif”.
5)        Menurut wujudnya, hukum dapat dibedakan atas 2 (dua) macam :
  1. Hukum objektif ialah segala macam hukum yang ada dalam suatu negara yang berlaku umum. Hukum ini hanya menyebut peraturan hukum saja yang mengatur hubungan-hubungan hukum.
  2. Hukum subjektif ialah peraturan hukum (hukum objektif) yang dihubungkan dengan seseorang tertentu dan dengan demikian menimbulkan hak dan kewajiban. Hukum subjektif timbul jika hukum objektif beraksi karena hubungan hukum. Hubungan hukum yang diatur hukun objektif menimbulkan “hak” pada satu pihak dan “kewajiban” pada pihak lain. Namun pada umumnya hukum subjektif ini hanya disebut “hak” saja tidak termasuk kewajiban, sehingga hanya bersifat sepihak.
6)        Menurut tempat berlakunya, hukum dapat dibedakan atas:
  1. Hukum nasional yaitu hukum yang berlaku di wilayah satu negara saja.
  2. Hukum internasional yaitu hukum yang berlaku di wilayah beberapa negara.
7)        Menurut waktu berlakunya, hukum dapat dibedakan atas :
  1. Ius constitutum (hukum positif) ialah hukum yang berlaku dalam suatu negara pada saat sekarang. Hukum yang berlaku sekarang ini di Indonesia dinamakan ius constitutum atau juga sering disebut “tata hukum” Indonesia.
  2. Ius constituendum ialah hukum yang diharapkan atau dicita-citakan berlaku pada waktu yang akan datang. Ius constituendum masih belum menjadi norma dalam bentuk formil (undang-undang atau bentuk lainnya).
8)        Menurut bentuknya, hukum dapt dibedakan atas :
  1. Hukum tertulis (geschreven recht) ialah hukum sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
  2. Hukum tak tertulis (ongaschreven recht) ialah hukum yang hidup dalam masyarakat, meskipun tidak tertulis tetapi ditaati dalam pergaulan hukum di masyarakat. Mengenai hukum tak tertulis ini, ada kemungkinan hukum tersebut betul-betul tak tertulis, dan ada pula hukum tak tertulis yang tercatat (artinya mungkin dicatat oleh pemimpin-pemimpin formal dan informal, atau oleh sarjana atas dasar penilitiannya).[3]
9)        Menurut penerapannya, hukum dapat dibedakan atas :
  1. Hukum in abstracto, ialah semua peraturan hukum yang berlaku pada suatu negara yang belum diterapkan terhadap sesuatu kasus oleh pengadilan.
  2. Hukum in concreto, ialah peraturan hukum yang berlaku pada suatu negara yang telah diterapkan oleh pengadilan terhadap suatu kasusyang terjadi dalam masyarakat.
Kalau hukum in abstracto berlaku umum sedangkan hukum in concreton hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang berperkara saja. Hukum in abstracto termuat dalam peraturan perundang-undangan serta bentuk-bentuk formil lainya, sedangkan hukum in concreto termuat dalam putusan pengadilan.
Berikut ini dikemukakan definisi-difinisi atau pengertian dari macam-macam hukum yang dibagi menurut isinya.
a.          Hukum Tata Negara
Ahli  hukum bangsa Belanda, Scholten mengemukakan,
Bahwa hukum tata negara adalah hukum yang mengatur organisasi daripada negar.
Sedangkan van der Pot menyatakan,
Hukum tata negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlukan serta wewenangnya masing-masing, hubungannya satu dengan yang lainnya, dan hubungannya dengan individu-individu (dalam kegiatannya).[4]
M. Kusnardi dan Harmiliy Ibrahim mendefinisikan :
Hukum tata negara sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi daripada negara, hubungan anrara alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horisontal, serta kedudukan warga negaranya dan hak-hak asasinya.
Dalam hukum tata negara diatur tentang tujuan negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan negara, lembaga-lambaga tinggi dan tertinggi negara, hubungan lembaga-lembaga negara, wilayah negara, rakyat dan penduduk negara, hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara dan sebagainya yang sangat luas sekali.
Dasar-dasar ketatanegaraan Indonesia termuat dalam UUD 1945 yang terdiri dari 37 pasal ditambah dengan empat pasal Aturan Peralihan dan dua ayat Aturan Tambahan, yang mengandung semangat dan merupakan perwujudan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, juga merupakan rangkaian kesatuan pasal-pasal yang bulat dan terpadu. Di dalamnya berisi materi yang pada dasarnya dapat dibeda-bedakan dalam dua bagian, yaitu:
1)      Pasal-pasal yang berisi materi pengaturan system pemerintahan negara, di dalamnya termasuk pengaturan tentang kedudukan, tugas, wewenang dan saling hubungannya dari kelembagaan negara;
2)      Pasal-pasal yang berisi materi hubungan negara dengan warga negara dan penduduknya serta berisi konsepsi negara di berbagai bidang: politik, ekonomi, social-budaya, hankam, dan lain-lain, ke arah mana negara, bangsa dan rakyat Indonesia akan bergerak mencapai cita-cita nasionalnya.
Di era reformasi ini, dasar-dasar ketatanegaraan Indonesia yang termuat dalam UUD 1945 mengalami proses perubahan/Amandemen empat kali menjadi XVI Bab, 37 Pasal, 3 Pasal Aturan Peralihan, 2 Pasal Aturan tambahan.[5] Dalam Bab dan pasalnya ada beberapa yang diperinci lagi, misalnya Bab VII tentang Dewan perwakilan Rakyat, terdiri  dari Bab VII, Bab VIIA, Bab VIIb. Pasal  18 tentang Pemerintahan Daerah terdiri dari pasal 18, 18A dan 18B.     
b. Hukum Administrasi Negara
Istilah hukum administrasi negara (administratief recht) sering juga disebut hukum tata usaha negara atau hukum tata pemerintahan. Jadi belum ada keseragaman dalam mempergunakan istilah ini.
Kusumadi Pudjosewojo dalam buku Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, mendefinisikan:
hukum tata usaha negara sebagai keseluruhan aturan hukum yang menentukan cara bagaimana negara sebagai penguasa itu menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi tugas-tugasnya, atau cara bagaimana pengusaha itu seharusnya bertingkah laku dalam mengusahakan tugas-tugasnya.[6]
Menurut Kansil dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
hukum tata pemerintahan ialah hukum mengenai aktivitas-aktivitas kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang).[7]
Abdoel Djamali dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia menyatakan:
hukum administrasi negara sebagai peraturan hukum yang mengatur adminstrasi, yaitu hubungan antara warga negara dan pemerintahan yang menjadi sebab sampai negara itu berfungsi. Maksudnya, merupakan gabungan petugas secara struktural berada di bawah pimpinan pemerintahan yang melaksanakan tugas sebagai bagiannya, yaitu bagian dari pekerjaan yang tidak ditujukan kepada lembaga-legislatif, yudikatif dan atau lembaga pemerintahan daerah otonomi (mengurus daerahnya sendiri).[8]
Hukum tata negara dan hukum admintrasi negara mempunyai hubungan yang sangat erat, yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain Prof. Mr. WG. Vegting dalam bukunya Het Algemeen Nederland Administratiefrecnt I sebagaimana dikutip Abdoel Djamali dalam Pengantar Ilmu Hukum, mengemukakan,
bahwa hukum tata negara dan hukum administrasi negara mempelajari suatu bidang peraturan yang sama, tetapi cara pendekatan yang dipergunakan berbeda. Ilmu hukum tata negara bertujuan mengetahui tentang organisasi negara dan pengorganisasian alat-alat perlengkapan negara, sedangkan ilmu hukum administrasi negara bertujuan mengetahui tentang cara tingkah laku negara dan alat-alat perlengkapan negara. Jadi objek hukum tata negara itu mengenai masalah fundamental organisasi negara, sedangkan hukum administrasi negara objeknya mengenai pelaksanaan teknik dalam mengelola negara.
Sementara itu Van Vollenhoven dalam bukunya Thorbecke en het adminstratiefrecht mengemukakan,
bahwa disatu pihak hukum tata negara sebagai suatu kumpulan peraturan hukum mengadakan lembaga-lembaga yang memberikan kekuasaan kepadanya melalui pembagian pekerjaan dari lembaga tertinggi sampai yang terendah, di lain pihak terdapat hukum admintrasi negara sebagai kumpulan peraturan yang mengikat lembaga-lembaga itu dalam menggunakan kekuasaanya yang telah diberikan hukum tata negara.[9]

c. Hukum Acara
Hukum acara bisa juga disebut hukum formil, yaitu hukum yang mengatur bagaimana caranya ditegakkannya atau dipertahankannya hukum materiil. Hukum acara dapat dibagi atas 3 (tiga) macam, yaitu hukum acara pidana, hukum acara perdata, dan hukum acara tata usaha negara. Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya menegakkan atau mempertahankan hukum pidana materiil (yang lazim disebut “hukum pidana” saja). Jadi hukum acara pidana memuat aturan-aturan tentang bagaimana caranya menerapkan hukum pidana terhadap perkara-perkara pidana. Dalam hukum acara pidana diatur segala sesuatu tenatang proses pemeriksaan perkara pidana pada semua tingkatan pemeriksaan: di kepolisian, di kejaksaan maupun di pengadilan.
Di Indonesia sekarang sudah ada hukum acara pidana nasional, sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang terkenal dengan sebutan KUHP. Selain itu terdapat pula dalam berbagai peraturan perundang-undangan sebagai hukum acara pidana untuk tindak pidana khusus, seperti tindak pidana korupsi, subversi dan sebagainya.
Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya menegakkan atau mempertahankan hukum perdata materiil (yang lazim disebut “hukum perdata”saja). Jadi hukum acara perdata terhadap aturan tentang bagaimana caranya menerapkan hukum perdata terjadi karena adanya pelanggaran hukum perdata terhadap perkara-perkara perdata. Perkara-perkara perdata terjadi karena adanya pelanggaran terhadap hukum perdata, yang menimbulkan kerugian terhadap hak-hak perdata. Dalam acara perdata dimuat aturan-aturan yang harus diindahkan dalam proses pemeriksaan perkara perdata.
Hukum acara perdata dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu hukum acara perdata yang berlaku di pengadilan dalam lingkukngan badan peradilan umum, dan hukum acara perdata yang berlaku di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Baik hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum maupun hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan agama, hingga kini masih belum terhimpun dalam satu kodifikasi hukum acara nasional, tetapi terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sebagian peninggalan kolonial Hindia Belanda, sebagian lainnya dibuat setelah merdeka.
Hukum acara perdata di pengadilan di lingkungan peradilan umum yang berlaku di Indonesia sekarang antara lain termuat dalam:
b.         Herziene Inlandsch reglemen (Reglemen Indonesia Baru) yang berlaku untuk daerah pulau Jawa dan Madura;
c.         Burgelijk Wetboek;
d.        Wetboek van Koophandel;
e.         Ordonansi tahun 1867 No. 29;
f.          Undang-Undang No. 27 Tahun 1947 tentang peradilan Ulangan di Jawa dan Madura;
g.         Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
h.         Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
i.            Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum.
j.           Undang-Undang  No. 4  Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
k.         Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
l.             Undang-Undang No.8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.[10]
            Sedangkan hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan agama sekarang ini adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalm Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama. Hukum acara pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama juga terdapat dalam:
a)         Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkaawinan;
b)        Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
c)         Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1983 tanggal 6 Januari 1983 tentang Pemberian Bantuan Hukum pada Peradilan Agama;
d)        Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dengan Menteri Agama RI tanggal 7 Januari 1983 No.KMA/003/SK/1983 dan No. 3 Tahun 1983 tentang Pengawasan Terhadap Pemberi Bantuan Hukum dan berbagai macam peraturan perundang-undangan lain sepanjang belum diganti dengan ketentuan baru berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang Peradilan Agama tersebut.
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara termuat dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan seperangkat peraturan pelaksanaannya kemudian mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.[11].
c.           Hukum Perburuhan
Ahli hukum perburuhan Indonesia, Iman Soepomo, dalam bukunya “Pengantar Hukum Perburuhan”, mendefinisikan:
hukum perburuhan sebagai suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan suatu kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
Molenaar berpendapat,
bahwa hukum perburuhan ialah suatu bagian dari hukum yang berlaku pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan majikan, antara buruh dengan buruh dan anatara buruh dengan penguasa.[12]
Secara umum dapat disimpulkan, bahwa hukum perburuhan itu adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hubungan-hubungan perburuhan yaitu hubungan antara buruh dengan majikan, dan hubungan antara buruh dan majikan dengan pemerintah (penguasa). Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur perburuhan di Indonesia sekarang ini antara lain:
a)         Burgerlijk Wetboek (title VIIIA buku III);
b)        Wetboek van Koophandel (title IV buku II);
c)         Algemene Maatregelen van Bestuur tanggal 17-1-1983 (Stb. 1983 No. 98) tentang Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perkebunan;
d)        Ordonnantie tanggal 12-8-1879 (Stb. 1879 No. 256) yang menyatakan berlakunya Pasal 1601 s.d. 1603 BW (lama) terhadap orang-orang bukan golongan Eropa;
e)         Undang-Undang No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan; yang dinyatakan berlaku di seluruh Indonesia dengan Undang-Undang No. 2  Tahun 1951;
f)         Undang-Undang No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja;
g)        Undang-Undang No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan;
h)        Undang-Undang No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan;
i)          Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
j)          Undang-Undang No. 12 Tahun 1965 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta;
k)        Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan Perusahaan;
l)          Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 1954 tentang Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan (Pelaksanaan Undang-Undang No. 12/1954);
m)      Peraturan Menteri Perburuhan No. 9 Tahun 1961 tentang Penetapan Besarnya Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti-Kerugian (Pelaksanaan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964); dan
n)        Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1953 tentang Hari Libur.

d. Hukum Pajak
Rochmat Soemitro menyatakan,
hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Dengan lain perkataan hukum pajak menerangkan: siapa-siapa wajib pajak (subyek), dan apa kewajiban-kewajiban mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek apa yang dikenakan pajak, cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan dan sebagainya.[13]
Kemudian Santoso Brotodihardjo berpendapat,
bahwa hukum pajak yang juga disebut hukum fiscal adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagiaan dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak).[14]
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah. Demikian pendapat Adriani.[15]
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pajak di Indonesia sekarang ini antara lain adalah;
a)         Undang-Undang no. 7 Tahun 1983 tentang pajak Penghasilan (PPh);
b)        Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN); dan
c)         Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
e.       Hukum Perdata
Menurut Subekti,
Hukum perdata adalah segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.[16]
Sedangkan Abdul Kadir Muhammad mengatakan:
bahwa hukum perdata adalah segala peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang satu dan orang lain. Dalam definisi ini ada beberapa unsure-unsur yang perlu dibahas. Unsur-Unsur tersebut adalah:
2.      Peraturan hukum (rechtsregel, rule of law)
3.      Hubungan hukum (rechtbetrekking, legal relation)
4.      Orang (persoon, person)[17]
Oleh karena itu secara umum dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain di dalam masyarakat yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan (pribadi). Kendatipun demikian tidak berarti semua hukum perdata tersebut secara murni mengatur hubungan hukum mengenai kepentingan pribadi, melainkan karena perkembangan masyarakat maka banyak bidang hukum perdata yang telah diwarnai sedemikian rupa oleh hukum publik, sehingga juga mengatur hubungan hukum yang menyangkut kepentingan umum, seperti hukum perkawinan, hukum perburuhan, dan sebagainya.
Hukum perdata sering dibedakan dalam pengertian yang luas (termasuk hukum dagang) dan pengertian yang sempit (tidak termasuk hukum dagang). Istilah hukum perdata sering juga disebut hukum sipil dan hukum privat.[18] Selanjutnya hukum perdata ini ada yang tertulis dan ada yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan hukum perdata yang tidak tertulis ialah hukum adat, yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku bagi orang-orang warga negara Indonesia keturunan Eropa, Timur Asing Tionghoa, dan Timur Asing bukan Tionghoa (seperti orang Arab, India dan Pakistan), kecuali hukum keluarga dan hukum waris, di mana kedua bidang hukum terakhir ini mereka tunduk pada hukum adat mereka masing-masing. Sedangkan hukum adat, merupakan hukum perdata yang berlaku bagi orang-orang warga negara Indonesia asli. 
Dengan demikian hukum perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih bersifat pluralistis, sebab masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum perdatanya sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi.

f. Hukum Dagang
Hukum dagang adalah hukum perdata khusas. Karena itu ada sarjana yang merumuskan hukum dagang sebagai hukum yang mengatur hubungan privat “istemewa” antara orang-orang sebagai anggota masyarakat atau antara orang-orang sebagai anggota masyarakat dengan suatu badan hukum, di antaranya pemerintahnya sebagai badan hukum.
Achmad Ichsan dalam bukunya “Hukum Dagang” menyatakan,
bahwa hukum dagang adalah hukum yang mengatur soal-soal perdagangan/perniagaan, ialah soal-soal yang timbul karena tingkah laku manusia (persoon) dalam perdagangan/perniagaan.[19]
Selanjutnya apabila dihubungkan dengnan “isi” dari pengertian perdagangan maka hukum dagang/perniagaan ini diatur ketentuan-ketentuan mengenai:
a)         Hubungan hukum antara produsen satu sama lain, produsen dengan konsumen yang meliputi antara lain: pembelian dan penjualan serta pembuatan perjanjian.
b)        Pemberian “perantara” antara mereka yang terdapat dalam tugas-tuhas makelar, pedagang keliling dan sebagainya.
c)         Hubungan hukum yang terdapat dalam:
1)       Bentuk-bentuk asosiasi perdagangan seperti Perseroan terbatas (PT = NV), Perseroan Firma (V.O.F) dan sebagainya;
2)       Pengangkutan di darat, laut dan di udara serta pertanggungan asuransi yang berhubungan dengan pengangkutan dan jaminan keamanan dan resiko pada umumnya;
3)       Penggunaan surat-surat niaga (handelespapieren) seperti wesel, cheque, aksep dan sebagainya untuk mempermudah pembayaran dan pemberian kredit.
Atas dasar ini maka hukum dagang meliputi:
a.      Hukum bagi pedagang antara;
b.      Hukum perserikatan;
c.      Hukum transport/angkutan;
d.     Hukum asuransi dan khususnya dalam hal ini hukum laut;
e.      Hukum surat-surat niaga/surat-surat berharga.[20]
Sampai saat ini Indonesia masih belum mempunyai hukum dagang nasional, sehingga masih tetap mempergunakan hukum dagang warisan kolonial pemerintah Hindia Belanda, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel-WVK). Kecuali hukum dagang mengenai hak cipta dan koperasi, yang sudah diatur dalam hukumnasional yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987) dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1967 tentang koperasi.

g. Hukum Pidana
Hukum pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang merupakan tindak pidana dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.
Dengan demikan hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain, dan sanksi pidana diadakaan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut.[21]
Norma lain itu misalnya norma agama dan kesusilaan, yang misalnya menentukan: jangan membunuh, jangan mengambil barang milik orang lain, jangan menghina orang lain, dan sebagainya.
Sampai saat ini Indonesia juga masih belum mempunyai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strefrecht) warisan pemerintah kolonial Hindia Belanda tetap berlaku. Beberapa undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan di antaranya adalah:
a)         Undang-Undang No. 8 Drt 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi;
b)        Undang-Undang No. 11 Pnps 1963 tentang Pemberantasan Tindak Subversi;
c)         Undang-Undang No. 1 Pnps 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama;
d)        Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
e)         Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Ketentuan-ketentuan hukum pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun undang-undang khusus seperti tersebut di atas ini, juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam UUPA (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960), Unadaang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, Unang-Undang Pajak dan sebagainya.
h.          Hukum Internasional (Publik)
Hukum internasional (publik) bisa juga disebut hukum antarnegara. Hukum antarbangsa, hukum bangsa-bangsa, hukum publik internasional dan sebagainya, tetapi lazim hanya disebut “hukum internasinal” saja.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja,
hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.[22]
Sudah menjadi pendapat umum, bahwa hukum internasional pada hakikatnya bermaksud untuk mencegah timbulnya perang atau dengan lain perkataan ialah untuk mengatur hubungan-hubungan antar-negara-negara sedemikan rupa sehingga dapat dijamin ketertiban dan kedamaian di dalam masyarakat internasional. Ali Sastroamidjojo, dalam bukunya “Pengantar Hukum Internasional” melihat adanya perbedaan antara hukum nasional denngan hukum internasional sebagai berikut:
Perbedaan pertama: subyek daripada hukum nasional pada pokoknya adalah individu, anggota masyarakat nasional, sedangkan subyek daripada hukum internasional adalah negara, anggota masyarakat internasional.
Perbedaan kedua: subyek hukum internasional yaitu negara mempunyai kedaulatan, sedangkan subyek hukum nasional yaitu individu di dalam masyarakat nasionalnya tidak mempunyainya, malahan harus tunduk pada kedaulatan negaranya.
Perbedaan ketiga: terletak pada sumbernya daripada hukum naional dan hukum internasional. Kebiasaan-kebiasaan yang menjadi sumber hukum nasional berkembang karena hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat suatu negara. Selain daripada itu  ada peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh badan legislatif. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi sumber hukum internasional bukan timbul karena hubungan-hubungan antara individu-individu, melainkan antara negara-negara yang masing-masing mempunyai kedaulatan. Selain itu di dalam masyarakat internasional tidak terdapat badan legislatif yang mempunyai hak untuk membuat peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk semua negara, anggota masyarakat internasional itu. [23]

i.            Hukum Perdata Internasional
Hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas-batas negara. Dengan perkataan lain hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara pelaku-pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Demikian Mochtar Kusumaatmadja, dalam bukunya “Pengantar Hukum Internasional”, dalam memberikan definisi hukum perdata internasional tersebut.[24]
Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto mengatakan,
bahwa hukum perdata internasional adalah hukum yang memberi ketentuan-ketentuan mengenai hubungan perdata dari orang-orang yang masing-masing mempunyai kewarganegaraan yang berlainan.[25]
Hukum perdata internasional menerangkan peraturan hukum apa atau peraturan hukum mana yang berlaku terhadap suatu hubungan hukum yang diadakan oleh orang-orang yang mempunyai hukum perdata nasional yang berlainan. Misalnya pengusaha warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum perdata Indonesia mengadakan jual-beli dengan seorang warga negara Italia yang tunduk kepada hukum perdata Italia, diatur oleh peraturan-peraturan yang terdapat dalam hukum internasional. Jadi setiap hubungan hukum yang diadakan oleh dua belah pihak yang tunduk pada sistem hukum privat nasional yang berbeda, diatur oleh peraturan-peraturan yang termuat dalam perdata internasional.

j. Hukum Perselisihan
Hukum perselisihan sering juga disebut hukum antar tata hukum, yang terdiri dari; hukum intergentil I (hukum antar-golongan), hukum interlokal (hukum antar-daerah), dan hukum interreligieus (hukum antar-agama). Hukum intergentil (hukum antar-golongan) adalah himpunan peraturan-peraturan yang menentukan hukum mana atau hukum apa yang berlaku terhadap suatu hubungan hukum antara orang-orang yang berlainan golongan hukum perdatanya dalam satu negara. Misalnya: seorang warga negara Indonesia keturunan Eropa yang tunduk kepada hukum perdata Barat menngadakan jual-beli mobil dengan seorang warga negara Indonesia asli yang tunduk pada hukum adat.
Hukum interlokal (hukum antar-daerah) adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang-orang warga negara Indonesia asli yang mempunyai lingkungan hukum adat yang berbeda. Misalnya: seorang pria Minangkabau kawin dengan seorang wanita Jawa.
Hukum interreligieus (hukum antar-agama) adalah peraturaan hukum yang mengatur hubungan hukum (yang erat kaitannya dengan agama) yang diadakan oleh orang-orang yang berbeda agamanya. Misalnya: seorang Ambon yang beragama Kristen kawin dengan seorang Ambon yang beragama Islam.[26]
Dari uraian mengenai macam-macam hukum di atas ini, maka diperoleh suatu gambaran, bahwa sebagian dari hukum yang berlaku di Indonesia sekarang ini masih merupakan hukum warisan kolonial Hindia Belanda. Sehingga oleh karena itu, meskipun Indonesia sudah mempunyai beberapa undang-undang nasional, namun belum dapat dikatakan telah mempunyai tata hukum nasional yang lengkap, karena belum mempunyai Undang-Undang Hukum Perdata Nasional, Undang-Undang Hukum Dagang Nasional, Undang-Undang Hukum Pidana Nasional dan Undang-Undang Hukum Acara Perdata Nasional, yang lazim disebut kelompok hukum-hukum pokok (basic law).


[1] Wirjono Prodjodikoro,  Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Sumur Bandung, 1996), 9.
[2] Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ihtiar, 1957), 99.           
[3] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Aneka Cara Pembedaan Hukum, (Bandung: Alumni, 1980), 36.
[4] M. Kusnadi-Harmaily, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara fakultas Hukum UI, dan CV. Sinar Bakti, 1988), 24. 
[5] UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 secara lengkap, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), 31-63. 
[6] Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Bandung: Aksara Baru, 1976), 144.
[7] C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 443.
[8] Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1984), 104.
[9] Ibid., 108.
[10] Achamd Fauzan, Himpunana Undang-Undang Lengkap, (Bandung: Yrama Widya, 2004), 103-111. 
[11] Ibid., 188-200.
[12] Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Jambatan, 1987), 3.
[13] Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, (Bandung: Eresco, 1979), 24-25.
[14] Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Eresco, 1986), 1. 
[15] Ibid., 2.
[16] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2002), 9.
[17] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung: Citra Adiya Bakti, 2000), 1. 
[18] Subekti, Pokok-Pokok…., 9.
[19] Achmad Ichsan, Hukum Dagang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), 17.
[20] Ibid.,25.
[21] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), 13
[22] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1982), 1.
[23] Ali Sastroamidjojo, Pengantar  Hukum Internasional, (Jakarta: Bhatara, 1971), 17-18.
[24] Muchtar Kusumaatmadja, Pengantar…., 1.
[25] Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1962), 14.
[26] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Adiya Bakti, 1999), 95-96.

No comments:

Post a Comment