PEMBEDAAN
HUKUM
Hukum dapat dibedakan atas beberapa macam
menurut cara membedakannya yaitu menurut sumbernya, menurut isinya, menurut
kekuatan mengikatnya, menurut dasar pemeliharaannya, menurut keadaannya,
menurut tempat berlakunya, bentuknya, penerapannya dan sebagainya.
1)
Menurut sumbernya,
hukum dapat dibedakan atas :
a.
Hukum undang-undang, ialah hukum
yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan;
b.
Hukum kebiasaan dan hukum adat, ialah hukum yang terdapat dalam kebiasaan
dan adat-istiadat;
c.
Hukum traktat, ialah hukum yang ditetapkan oleh dua atau beberapa negara
yang mengadakan perjanjian bilateral ataupun multilateral;
d.
Hukum yurisprudensi, ialah hukum yang terbentuk karena putusan
pengadilan; dan
e.
Hukum ilmu (doktrin), ialah hukum yang dibuat oleh ilmu hukum yaitu hukum
yang terdapat dalam pandangan ahli-ahli hukum yang terkenal dan sangat
berpengaruh.
2)
Menurut isinya, hukum dapat dibedakan atas:
- Hukum publik ialah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum yang menyangkut kepentingan umum;
- Hukum privat ialah hukum yang mengatur hubungan-hubungan huku yang menyangkut kepentingan pribadi.
Antara
hukum publik dan hukum privat sesungguhnya tidak dapat dipisahkan secara tegas
satu sama lain, karena segala hubungan hukum dalam masyarakat selalu dapat dikatakan
termasuk hukum publik dan hukum privat. Perbedaannya terletak pada titik berat
kepentingan yang diatur. Hukum publik titik beratnya mengatur kepentingan
masyarakat (umum), sedangkan hukum privat titik beratnya mengatur kepentingan
perorangan (pribadi).[1]
Bidang
hukum yang termasuk hukum publik adalah hukum tata negara, hukum tata
pemerintahan, hukum acara, hukum perburuhan, hukum pajak, hukum internasional
dan hukum padana. Sedangkan bidang yang termasuk hukum privat adalah hukum
perdata, hukum dagang, hukum perselisihan nasional (hukum antar-tata hukum),
hukum perdata internasional. Namun Utrecht menganggap “hukum pidana” mempunyai
kedudukan istimewa, yang harus diberi tempat tersendiri di luar kelompok hukum
publik dan hukum privat. Utrecht melihat hukum pidana sebagai suatu hukum
sanksi istimewa (bijzonder sanctierecht).
Hukum pidana memberi suatu sanksi istimewa baik atas pelanggaran hukum privat
maupun pelanggaran hukum publik. Hukum pidana melindungi kepentingan yang
diselenggarakan oleh peraturan-peraturan hukum privat meupun
peraturan-peraturan hukum publik. Hukum pidana melindungi kedua macam
kepentingan itu dengan memebuat sanksi istimewa. Sanksi istemewa ini perlu,
kata Utrecht, oleh karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan pemerintah yang
lebih keras.[2]
Oleh
karena itu Utrecht membuat skema pembagian hukum menurut isi sebagai berikut :
3)
Menurut kekuatan mengikatnya, hukum dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu:
a.
Hukum pelengkap (hukum
fakultatif, aanvullend recht) ialah peraturan hukum yang boleh dikesampingkan
atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan. Peraturan hukum mana
hanya berlaku jika orang-orang yang berkepentinagn tidak mengatur sendiri
kepentingannya.
b.
Hukum memaksa (hukum
imperatif, dwingend recht) ialah peraturan hukum yang tidak boleh
dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan. Peraturan
hukum mana mau tidak mau harus ditaati oleh orang-orang yang berkepentingan.
4)
Menurut dasar pemeliharaannya, hukum dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu
:
- Hukum materiil, ialah hukum yang mengatur isi daripada hubungan-hubungan hukum (rechtsverhouding, rechtsbetrekking) dalam masyarakat. Hubungan-hubungan hukum dalam lapangan perdata diatur oleh hukum perdata, dan hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum publik diatur oleh hukum publik.
- Hukum formil, ialah hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya memepertahankan atau menegakkan hukum materiil. Hukum formil ini bias juga disebut hukum acara,yang terdiri atas hukum acara perdata, hukum acara pidana dan hukum acara tata usaha negara.
Hukum
materiil sering juga disebut “hukum substantif” sedangkan hukum formil sering juga
disebut “hukum ajektif”.
5)
Menurut wujudnya, hukum dapat dibedakan atas 2 (dua) macam :
- Hukum objektif ialah segala macam hukum yang ada dalam suatu negara yang berlaku umum. Hukum ini hanya menyebut peraturan hukum saja yang mengatur hubungan-hubungan hukum.
- Hukum subjektif ialah peraturan hukum (hukum objektif) yang dihubungkan dengan seseorang tertentu dan dengan demikian menimbulkan hak dan kewajiban. Hukum subjektif timbul jika hukum objektif beraksi karena hubungan hukum. Hubungan hukum yang diatur hukun objektif menimbulkan “hak” pada satu pihak dan “kewajiban” pada pihak lain. Namun pada umumnya hukum subjektif ini hanya disebut “hak” saja tidak termasuk kewajiban, sehingga hanya bersifat sepihak.
6)
Menurut tempat berlakunya, hukum dapat dibedakan atas:
- Hukum nasional yaitu hukum yang berlaku di wilayah satu negara saja.
- Hukum internasional yaitu hukum yang berlaku di wilayah beberapa negara.
7)
Menurut waktu berlakunya, hukum dapat dibedakan atas :
- Ius constitutum (hukum positif) ialah hukum yang berlaku dalam suatu negara pada saat sekarang. Hukum yang berlaku sekarang ini di Indonesia dinamakan ius constitutum atau juga sering disebut “tata hukum” Indonesia.
- Ius constituendum ialah hukum yang diharapkan atau dicita-citakan berlaku pada waktu yang akan datang. Ius constituendum masih belum menjadi norma dalam bentuk formil (undang-undang atau bentuk lainnya).
8)
Menurut bentuknya, hukum dapt dibedakan atas :
- Hukum tertulis (geschreven recht) ialah hukum sebagaimana tercantum dalam peraturan perundang-undangan.
- Hukum tak tertulis (ongaschreven recht) ialah hukum yang hidup dalam masyarakat, meskipun tidak tertulis tetapi ditaati dalam pergaulan hukum di masyarakat. Mengenai hukum tak tertulis ini, ada kemungkinan hukum tersebut betul-betul tak tertulis, dan ada pula hukum tak tertulis yang tercatat (artinya mungkin dicatat oleh pemimpin-pemimpin formal dan informal, atau oleh sarjana atas dasar penilitiannya).[3]
9)
Menurut penerapannya, hukum dapat dibedakan atas :
- Hukum in abstracto, ialah semua peraturan hukum yang berlaku pada suatu negara yang belum diterapkan terhadap sesuatu kasus oleh pengadilan.
- Hukum in concreto, ialah peraturan hukum yang berlaku pada suatu negara yang telah diterapkan oleh pengadilan terhadap suatu kasusyang terjadi dalam masyarakat.
Kalau
hukum in abstracto berlaku umum sedangkan hukum in concreton hanya berlaku
terhadap pihak-pihak yang berperkara saja. Hukum in abstracto termuat dalam
peraturan perundang-undangan serta bentuk-bentuk formil lainya, sedangkan hukum
in concreto termuat dalam putusan pengadilan.
Berikut ini dikemukakan
definisi-difinisi atau pengertian dari macam-macam hukum yang dibagi menurut
isinya.
a.
Hukum Tata Negara
Ahli hukum bangsa Belanda, Scholten mengemukakan,
Bahwa hukum tata negara adalah hukum yang mengatur organisasi daripada
negar.
Sedangkan van der Pot
menyatakan,
Hukum tata negara adalah peraturan-peraturan yang menentukan badan-badan
yang diperlukan serta wewenangnya masing-masing, hubungannya satu dengan yang
lainnya, dan hubungannya dengan individu-individu (dalam kegiatannya).[4]
M. Kusnardi dan Harmiliy
Ibrahim mendefinisikan :
Hukum
tata negara sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi
daripada negara, hubungan anrara alat perlengkapan negara dalam garis vertikal
dan horisontal, serta kedudukan warga negaranya dan hak-hak asasinya.
Dalam
hukum tata negara diatur tentang tujuan negara, bentuk negara, bentuk
pemerintahan negara, lembaga-lambaga tinggi dan tertinggi negara, hubungan
lembaga-lembaga negara, wilayah negara, rakyat dan penduduk negara, hak-hak dan
kewajiban-kewajiban warga negara dan sebagainya yang sangat luas sekali.
Dasar-dasar
ketatanegaraan Indonesia termuat dalam UUD 1945 yang terdiri dari 37 pasal ditambah
dengan empat pasal Aturan Peralihan dan dua ayat Aturan Tambahan, yang
mengandung semangat dan merupakan perwujudan dari pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, juga merupakan rangkaian kesatuan
pasal-pasal yang bulat dan terpadu. Di dalamnya berisi materi yang pada
dasarnya dapat dibeda-bedakan dalam dua bagian, yaitu:
1) Pasal-pasal yang berisi
materi pengaturan system pemerintahan negara, di dalamnya termasuk pengaturan
tentang kedudukan, tugas, wewenang dan saling hubungannya dari kelembagaan
negara;
2) Pasal-pasal yang berisi
materi hubungan negara dengan warga negara dan penduduknya serta berisi
konsepsi negara di berbagai bidang: politik, ekonomi, social-budaya, hankam,
dan lain-lain, ke arah mana negara, bangsa dan rakyat Indonesia akan bergerak
mencapai cita-cita nasionalnya.
Di era reformasi ini,
dasar-dasar ketatanegaraan Indonesia yang termuat dalam UUD 1945 mengalami
proses perubahan/Amandemen empat kali menjadi XVI Bab, 37 Pasal, 3 Pasal Aturan
Peralihan, 2 Pasal Aturan tambahan.[5]
Dalam Bab dan pasalnya ada beberapa yang diperinci lagi, misalnya Bab VII
tentang Dewan perwakilan Rakyat, terdiri
dari Bab VII, Bab VIIA, Bab VIIb. Pasal
18 tentang Pemerintahan Daerah terdiri dari pasal 18, 18A dan 18B.
b. Hukum Administrasi Negara
Istilah hukum administrasi negara (administratief
recht) sering juga disebut hukum tata usaha negara atau hukum tata
pemerintahan. Jadi belum ada keseragaman dalam mempergunakan istilah ini.
Kusumadi Pudjosewojo
dalam buku Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, mendefinisikan:
hukum
tata usaha negara sebagai keseluruhan aturan hukum yang menentukan cara
bagaimana negara sebagai penguasa itu menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi
tugas-tugasnya, atau cara bagaimana pengusaha itu seharusnya bertingkah laku
dalam mengusahakan tugas-tugasnya.[6]
Menurut Kansil dalam
bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
hukum
tata pemerintahan ialah hukum mengenai aktivitas-aktivitas kekuasaan eksekutif
(kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang).[7]
Abdoel Djamali dalam
bukunya Pengantar Hukum Indonesia menyatakan:
hukum
administrasi negara sebagai peraturan hukum yang mengatur adminstrasi, yaitu
hubungan antara warga negara dan pemerintahan yang menjadi sebab sampai negara
itu berfungsi. Maksudnya, merupakan gabungan petugas secara struktural berada
di bawah pimpinan pemerintahan yang melaksanakan tugas sebagai bagiannya, yaitu
bagian dari pekerjaan yang tidak ditujukan kepada lembaga-legislatif, yudikatif
dan atau lembaga pemerintahan daerah otonomi (mengurus daerahnya sendiri).[8]
Hukum tata negara dan hukum
admintrasi negara mempunyai hubungan yang sangat erat, yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lain Prof. Mr. WG. Vegting dalam bukunya Het Algemeen
Nederland Administratiefrecnt I sebagaimana dikutip Abdoel Djamali dalam
Pengantar Ilmu Hukum, mengemukakan,
bahwa hukum
tata negara dan hukum administrasi negara mempelajari suatu bidang peraturan
yang sama, tetapi cara pendekatan yang dipergunakan berbeda. Ilmu hukum tata
negara bertujuan mengetahui tentang organisasi negara dan pengorganisasian
alat-alat perlengkapan negara, sedangkan ilmu hukum administrasi negara
bertujuan mengetahui tentang cara tingkah laku negara dan alat-alat
perlengkapan negara. Jadi objek hukum tata negara itu mengenai masalah
fundamental organisasi negara, sedangkan hukum administrasi negara objeknya
mengenai pelaksanaan teknik dalam mengelola negara.
Sementara itu Van
Vollenhoven dalam bukunya Thorbecke en het adminstratiefrecht mengemukakan,
bahwa
disatu pihak hukum tata negara sebagai suatu kumpulan peraturan hukum
mengadakan lembaga-lembaga yang memberikan kekuasaan kepadanya melalui
pembagian pekerjaan dari lembaga tertinggi sampai yang terendah, di lain pihak
terdapat hukum admintrasi negara sebagai kumpulan peraturan yang mengikat
lembaga-lembaga itu dalam menggunakan kekuasaanya yang telah diberikan hukum
tata negara.[9]
c. Hukum Acara
Hukum
acara bisa juga disebut hukum formil, yaitu hukum yang mengatur bagaimana
caranya ditegakkannya atau dipertahankannya hukum materiil. Hukum acara dapat
dibagi atas 3 (tiga) macam, yaitu hukum acara pidana, hukum acara perdata, dan
hukum acara tata usaha negara. Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur
bagaimana caranya menegakkan atau mempertahankan hukum pidana materiil (yang
lazim disebut “hukum pidana” saja). Jadi hukum acara pidana memuat
aturan-aturan tentang bagaimana caranya menerapkan hukum pidana terhadap
perkara-perkara pidana. Dalam hukum acara pidana diatur segala sesuatu tenatang
proses pemeriksaan perkara pidana pada semua tingkatan pemeriksaan: di kepolisian,
di kejaksaan maupun di pengadilan.
Di
Indonesia sekarang sudah ada hukum acara pidana nasional, sebagaimana termuat
dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
yang terkenal dengan sebutan KUHP. Selain itu terdapat pula dalam berbagai
peraturan perundang-undangan sebagai hukum acara pidana untuk tindak pidana
khusus, seperti tindak pidana korupsi, subversi dan sebagainya.
Hukum
acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana caranya menegakkan atau
mempertahankan hukum perdata materiil (yang lazim disebut “hukum perdata”saja).
Jadi hukum acara perdata terhadap aturan tentang bagaimana caranya menerapkan
hukum perdata terjadi karena adanya pelanggaran hukum perdata terhadap
perkara-perkara perdata. Perkara-perkara perdata terjadi karena adanya
pelanggaran terhadap hukum perdata, yang menimbulkan kerugian terhadap hak-hak
perdata. Dalam acara perdata dimuat aturan-aturan yang harus diindahkan dalam
proses pemeriksaan perkara perdata.
Hukum
acara perdata dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu hukum acara perdata
yang berlaku di pengadilan dalam lingkukngan badan peradilan umum, dan hukum
acara perdata yang berlaku di pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Baik
hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan umum maupun hukum
acara perdata yang berlaku dalam lingkungan peradilan agama, hingga kini masih
belum terhimpun dalam satu kodifikasi hukum acara nasional, tetapi
terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sebagian
peninggalan kolonial Hindia Belanda, sebagian lainnya dibuat setelah merdeka.
Hukum
acara perdata di pengadilan di lingkungan peradilan umum yang berlaku di
Indonesia sekarang antara lain termuat dalam:
b.
Herziene Inlandsch reglemen
(Reglemen Indonesia Baru) yang berlaku untuk daerah pulau Jawa dan Madura;
c.
Burgelijk Wetboek;
d.
Wetboek van Koophandel;
e.
Ordonansi tahun 1867 No.
29;
f.
Undang-Undang No. 27 Tahun
1947 tentang peradilan Ulangan di Jawa dan Madura;
g.
Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
h.
Undang-Undang No. 15 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung;
i.
Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang
peradilan umum.
j.
Undang-Undang No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
k.
Undang-Undang No. 5 Tahun
2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung
l.
Undang-Undang No.8 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.[10]
Sedangkan
hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan peradilan agama sekarang ini
adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam peradilan umum,
kecuali yang telah diatur secara khusus dalm Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
tentang peradilan agama. Hukum acara pada pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama juga terdapat dalam:
a)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkaawinan;
b)
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
c)
Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1983 tanggal 6 Januari 1983 tentang
Pemberian Bantuan Hukum pada Peradilan Agama;
d)
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dengan Menteri Agama RI tanggal
7 Januari 1983 No.KMA/003/SK/1983 dan No. 3 Tahun 1983 tentang Pengawasan
Terhadap Pemberi Bantuan Hukum dan berbagai macam peraturan perundang-undangan
lain sepanjang belum diganti dengan ketentuan baru berdasarkan Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang Peradilan Agama
tersebut.
Hukum acara yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara termuat dalam Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan seperangkat peraturan
pelaksanaannya kemudian mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Undang-Undang
No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.[11].
c.
Hukum Perburuhan
Ahli hukum perburuhan Indonesia, Iman
Soepomo, dalam bukunya “Pengantar Hukum Perburuhan”, mendefinisikan:
hukum perburuhan sebagai suatu himpunan
peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan suatu kejadian di
mana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.
Molenaar berpendapat,
bahwa hukum perburuhan ialah suatu bagian
dari hukum yang berlaku pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dengan
majikan, antara buruh dengan buruh dan anatara buruh dengan penguasa.[12]
Secara umum dapat disimpulkan, bahwa hukum
perburuhan itu adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur
hubungan-hubungan perburuhan yaitu hubungan antara buruh dengan majikan, dan
hubungan antara buruh dan majikan dengan pemerintah (penguasa). Beberapa
peraturan perundang-undangan yang mengatur perburuhan di Indonesia sekarang ini
antara lain:
a)
Burgerlijk Wetboek (title VIIIA buku III);
b)
Wetboek van Koophandel (title IV buku II);
c)
Algemene Maatregelen van Bestuur tanggal 17-1-1983 (Stb. 1983 No. 98)
tentang Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perkebunan;
d)
Ordonnantie tanggal 12-8-1879 (Stb. 1879 No. 256) yang menyatakan
berlakunya Pasal 1601 s.d. 1603 BW (lama) terhadap orang-orang bukan golongan
Eropa;
e)
Undang-Undang No. 33 Tahun 1947 tentang Kecelakaan; yang dinyatakan
berlaku di seluruh Indonesia dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1951;
f)
Undang-Undang No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja;
g)
Undang-Undang No. 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan;
h)
Undang-Undang No. 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan;
i)
Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan;
j)
Undang-Undang No. 12 Tahun
1965 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta;
k)
Peraturan Pemerintah No. 14
Tahun 1953 tentang Kewajiban Melaporkan Perusahaan;
l)
Peraturan Pemerintah No. 49
Tahun 1954 tentang Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan (Pelaksanaan
Undang-Undang No. 12/1954);
m)
Peraturan Menteri
Perburuhan No. 9 Tahun 1961 tentang Penetapan Besarnya Uang Pesangon, Uang Jasa
dan Ganti-Kerugian (Pelaksanaan Undang-Undang No. 12 Tahun 1964); dan
n)
Keputusan Presiden No. 24
Tahun 1953 tentang Hari Libur.
d. Hukum Pajak
Rochmat Soemitro menyatakan,
hukum pajak ialah suatu kumpulan
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut
pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Dengan lain perkataan hukum pajak
menerangkan: siapa-siapa wajib pajak (subyek), dan apa kewajiban-kewajiban
mereka terhadap pemerintah, hak-hak pemerintah, objek-objek apa yang dikenakan
pajak, cara penagihan, cara pengajuan keberatan-keberatan dan sebagainya.[13]
Kemudian Santoso Brotodihardjo berpendapat,
bahwa hukum pajak yang juga disebut hukum
fiscal adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah
untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat
dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagiaan dari hukum publik,
yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau
badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering
disebut wajib pajak).[14]
Pajak adalah iuran kepada negara (yang
dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat
ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintah. Demikian
pendapat Adriani.[15]
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pajak di
Indonesia sekarang ini antara lain adalah;
a)
Undang-Undang no. 7 Tahun 1983 tentang pajak Penghasilan (PPh);
b)
Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN); dan
c)
Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
e.
Hukum Perdata
Menurut Subekti,
Hukum
perdata adalah segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan
perseorangan.[16]
Sedangkan Abdul Kadir
Muhammad mengatakan:
bahwa
hukum perdata adalah segala peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang satu dan orang lain. Dalam definisi ini ada beberapa unsure-unsur yang
perlu dibahas. Unsur-Unsur tersebut adalah:
2. Peraturan hukum (rechtsregel, rule of law)
3. Hubungan hukum (rechtbetrekking, legal relation)
4. Orang (persoon, person)[17]
Oleh karena itu secara umum dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan
hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu
dengan orang lain di dalam masyarakat yang menitikberatkan kepada kepentingan
perseorangan (pribadi). Kendatipun demikian tidak berarti semua hukum perdata
tersebut secara murni mengatur hubungan hukum mengenai kepentingan pribadi,
melainkan karena perkembangan masyarakat maka banyak bidang hukum perdata yang
telah diwarnai sedemikian rupa oleh hukum publik, sehingga juga mengatur
hubungan hukum yang menyangkut kepentingan umum, seperti hukum perkawinan,
hukum perburuhan, dan sebagainya.
Hukum
perdata sering dibedakan dalam pengertian yang luas (termasuk hukum dagang) dan
pengertian yang sempit (tidak termasuk hukum dagang). Istilah hukum perdata
sering juga disebut hukum sipil dan hukum privat.[18]
Selanjutnya hukum perdata ini ada yang tertulis dan ada yang termuat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan hukum
perdata yang tidak tertulis ialah hukum adat, yang merupakan hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata berlaku bagi orang-orang warga negara Indonesia
keturunan Eropa, Timur Asing Tionghoa, dan Timur Asing bukan Tionghoa (seperti
orang Arab, India dan Pakistan), kecuali hukum keluarga dan hukum waris, di
mana kedua bidang hukum terakhir ini mereka tunduk pada hukum adat mereka
masing-masing. Sedangkan hukum adat, merupakan hukum perdata yang berlaku bagi
orang-orang warga negara Indonesia asli.
Dengan
demikian hukum perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih bersifat
pluralistis, sebab masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum perdatanya
sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi.
f. Hukum Dagang
Hukum
dagang adalah hukum perdata khusas. Karena itu ada sarjana yang merumuskan
hukum dagang sebagai hukum yang mengatur hubungan privat “istemewa” antara
orang-orang sebagai anggota masyarakat atau antara orang-orang sebagai anggota
masyarakat dengan suatu badan hukum, di antaranya pemerintahnya sebagai badan
hukum.
Achmad Ichsan dalam
bukunya “Hukum Dagang” menyatakan,
bahwa
hukum dagang adalah hukum yang mengatur soal-soal perdagangan/perniagaan, ialah
soal-soal yang timbul karena tingkah laku manusia (persoon) dalam
perdagangan/perniagaan.[19]
Selanjutnya apabila
dihubungkan dengnan “isi” dari pengertian perdagangan maka hukum
dagang/perniagaan ini diatur ketentuan-ketentuan mengenai:
a)
Hubungan hukum antara
produsen satu sama lain, produsen dengan konsumen yang meliputi antara lain:
pembelian dan penjualan serta pembuatan perjanjian.
b)
Pemberian “perantara”
antara mereka yang terdapat dalam tugas-tuhas makelar, pedagang keliling dan
sebagainya.
c)
Hubungan hukum yang
terdapat dalam:
1)
Bentuk-bentuk asosiasi
perdagangan seperti Perseroan terbatas (PT = NV), Perseroan Firma (V.O.F) dan
sebagainya;
2)
Pengangkutan di darat, laut
dan di udara serta pertanggungan asuransi yang berhubungan dengan pengangkutan
dan jaminan keamanan dan resiko pada umumnya;
3)
Penggunaan surat-surat
niaga (handelespapieren) seperti wesel, cheque, aksep dan sebagainya untuk mempermudah
pembayaran dan pemberian kredit.
Atas dasar ini maka hukum dagang meliputi:
a. Hukum bagi pedagang antara;
b. Hukum perserikatan;
c. Hukum transport/angkutan;
d. Hukum asuransi dan khususnya
dalam hal ini hukum laut;
e. Hukum surat-surat
niaga/surat-surat berharga.[20]
Sampai saat ini
Indonesia masih belum mempunyai hukum dagang nasional, sehingga masih tetap
mempergunakan hukum dagang warisan kolonial pemerintah Hindia Belanda, yaitu
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek
van Koophandel-WVK). Kecuali hukum dagang mengenai hak cipta dan koperasi,
yang sudah diatur dalam hukumnasional yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta (yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987)
dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1967 tentang koperasi.
g. Hukum Pidana
Hukum
pidana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa
yang merupakan tindak pidana dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap
yang melakukannya.
Dengan demikan hukum
pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada
norma lain, dan sanksi pidana diadakaan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma
lain tersebut.[21]
Norma lain itu misalnya
norma agama dan kesusilaan, yang misalnya menentukan: jangan membunuh, jangan
mengambil barang milik orang lain, jangan menghina orang lain, dan sebagainya.
Sampai saat ini Indonesia
juga masih belum mempunyai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strefrecht) warisan pemerintah kolonial
Hindia Belanda tetap berlaku. Beberapa undang-undang yang mengatur tindak
pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan di antaranya adalah:
a)
Undang-Undang No. 8 Drt 1955
tentang Tindak Pidana Imigrasi;
b)
Undang-Undang No. 11 Pnps
1963 tentang Pemberantasan Tindak Subversi;
c)
Undang-Undang No. 1 Pnps
1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama;
d)
Undang-Undang No. 3 Tahun
1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
e)
Undang-Undang No. 9 Tahun
1976 tentang Narkotika.
Ketentuan-ketentuan hukum
pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun
undang-undang khusus seperti tersebut di atas ini, juga terdapat dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, seperti dalam UUPA (Undang-Undang No. 5 Tahun
1960), Unadaang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Lingkungan Hidup, Unang-Undang Pajak dan sebagainya.
h.
Hukum Internasional (Publik)
Hukum
internasional (publik) bisa juga disebut hukum antarnegara. Hukum antarbangsa,
hukum bangsa-bangsa, hukum publik internasional dan sebagainya, tetapi lazim
hanya disebut “hukum internasinal” saja.
Menurut Mochtar
Kusumaatmadja,
hukum
internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang
mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara (hubungan
internasional) yang bukan bersifat perdata.[22]
Sudah
menjadi pendapat umum, bahwa hukum internasional pada hakikatnya bermaksud
untuk mencegah timbulnya perang atau dengan lain perkataan ialah untuk mengatur
hubungan-hubungan antar-negara-negara sedemikan rupa sehingga dapat dijamin
ketertiban dan kedamaian di dalam masyarakat internasional. Ali Sastroamidjojo,
dalam bukunya “Pengantar Hukum Internasional” melihat adanya perbedaan antara
hukum nasional denngan hukum internasional sebagai berikut:
Perbedaan pertama: subyek daripada hukum nasional pada pokoknya
adalah individu, anggota masyarakat nasional, sedangkan subyek daripada hukum
internasional adalah negara, anggota masyarakat internasional.
Perbedaan kedua: subyek hukum internasional yaitu negara mempunyai kedaulatan, sedangkan
subyek hukum nasional yaitu individu di dalam masyarakat nasionalnya tidak
mempunyainya, malahan harus tunduk pada kedaulatan negaranya.
Perbedaan ketiga: terletak pada sumbernya daripada hukum naional
dan hukum internasional. Kebiasaan-kebiasaan yang menjadi sumber hukum nasional
berkembang karena hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat
suatu negara. Selain daripada itu ada
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh badan legislatif. Sedangkan
kebiasaan-kebiasaan yang menjadi sumber hukum internasional bukan timbul karena
hubungan-hubungan antara individu-individu, melainkan antara negara-negara yang
masing-masing mempunyai kedaulatan. Selain itu di dalam masyarakat
internasional tidak terdapat badan legislatif yang mempunyai hak untuk membuat
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk semua negara, anggota
masyarakat internasional itu. [23]
i.
Hukum Perdata
Internasional
Hukum perdata internasional
adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan
perdata yang melintasi batas-batas negara. Dengan perkataan lain hukum yang
mengatur hubungan hukum perdata antara pelaku-pelaku hukum yang masing-masing
tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. Demikian Mochtar
Kusumaatmadja, dalam bukunya “Pengantar Hukum Internasional”, dalam memberikan
definisi hukum perdata internasional tersebut.[24]
Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto mengatakan,
bahwa hukum perdata internasional adalah
hukum yang memberi ketentuan-ketentuan mengenai hubungan perdata dari
orang-orang yang masing-masing mempunyai kewarganegaraan yang berlainan.[25]
Hukum perdata internasional menerangkan peraturan hukum apa
atau peraturan hukum mana yang berlaku terhadap suatu hubungan hukum yang
diadakan oleh orang-orang yang mempunyai hukum perdata nasional yang berlainan.
Misalnya pengusaha warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum perdata
Indonesia mengadakan jual-beli dengan seorang warga negara Italia yang tunduk
kepada hukum perdata Italia, diatur oleh peraturan-peraturan yang terdapat dalam
hukum internasional. Jadi setiap hubungan hukum yang diadakan oleh dua belah
pihak yang tunduk pada sistem hukum privat nasional yang berbeda, diatur oleh
peraturan-peraturan yang termuat dalam perdata internasional.
j. Hukum Perselisihan
Hukum perselisihan sering juga disebut
hukum antar tata hukum, yang terdiri dari; hukum intergentil I (hukum
antar-golongan), hukum interlokal (hukum antar-daerah), dan hukum
interreligieus (hukum antar-agama). Hukum intergentil (hukum antar-golongan) adalah
himpunan peraturan-peraturan yang menentukan hukum mana atau hukum apa yang
berlaku terhadap suatu hubungan hukum antara orang-orang yang berlainan
golongan hukum perdatanya dalam satu negara. Misalnya: seorang warga negara
Indonesia keturunan Eropa yang tunduk kepada hukum perdata Barat menngadakan
jual-beli mobil dengan seorang warga negara Indonesia asli yang tunduk pada
hukum adat.
Hukum interlokal (hukum
antar-daerah) adalah peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang-orang warga negara Indonesia asli yang mempunyai lingkungan hukum adat
yang berbeda. Misalnya: seorang pria Minangkabau kawin dengan seorang wanita
Jawa.
Hukum interreligieus (hukum antar-agama)
adalah peraturaan hukum yang mengatur hubungan hukum (yang erat kaitannya dengan
agama) yang diadakan oleh orang-orang yang berbeda agamanya. Misalnya: seorang
Ambon yang beragama Kristen kawin dengan seorang Ambon yang beragama Islam.[26]
Dari uraian mengenai
macam-macam hukum di atas ini, maka diperoleh suatu gambaran, bahwa sebagian
dari hukum yang berlaku di Indonesia sekarang ini masih merupakan hukum warisan
kolonial Hindia Belanda. Sehingga oleh karena itu, meskipun Indonesia sudah mempunyai
beberapa undang-undang nasional, namun belum dapat dikatakan telah mempunyai
tata hukum nasional yang lengkap, karena belum mempunyai Undang-Undang Hukum
Perdata Nasional, Undang-Undang Hukum Dagang Nasional, Undang-Undang Hukum
Pidana Nasional dan Undang-Undang Hukum Acara Perdata Nasional, yang lazim
disebut kelompok hukum-hukum pokok (basic law).
[1] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas
Hukum Perdata, (Bandung: Sumur Bandung, 1996), 9.
[2] Utrecht, Pengantar
Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ihtiar, 1957), 99.
[3] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Aneka Cara Pembedaan Hukum, (Bandung:
Alumni, 1980), 36.
[4] M. Kusnadi-Harmaily, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara fakultas
Hukum UI, dan CV. Sinar Bakti, 1988), 24.
[5] UUD 1945
Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 secara lengkap, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2002), 31-63.
[6] Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Bandung: Aksara Baru,
1976), 144.
[7] C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), 443.
[8] Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1984), 104.
[9] Ibid., 108.
[10]
Achamd Fauzan, Himpunana Undang-Undang Lengkap, (Bandung: Yrama Widya,
2004), 103-111.
[11]
Ibid., 188-200.
[12]
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Jambatan, 1987), 3.
[13]
Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan,
(Bandung: Eresco, 1979), 24-25.
[14]
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Eresco, 1986),
1.
[15]
Ibid., 2.
[16] Subekti, Pokok-Pokok
Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2002), 9.
[17] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Bandung: Citra Adiya Bakti, 2000), 1.
[18] Subekti, Pokok-Pokok….,
9.
[19] Achmad Ichsan, Hukum Dagang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), 17.
[20] Ibid.,25.
[21] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978), 13
[22] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1982), 1.
[23] Ali Sastroamidjojo, Pengantar Hukum Internasional,
(Jakarta: Bhatara, 1971), 17-18.
[24]
Muchtar Kusumaatmadja, Pengantar…., 1.
[25]
Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia,
(Jakarta: Gunung Agung, 1962), 14.
[26]
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Adiya
Bakti, 1999), 95-96.
No comments:
Post a Comment