ISTILAH-ISTILAH DALAM ILMU HUKUM
a. Masyarakat Hukum
Manusia
disamping sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial yakni mahluk yang
mempunyai keinginan untuk berkumpul dan mengadakan hubungan dengan manusia-manusia yang lain. Kumpulan
atau persatuan-persatuan manusia-manusia yang saling mengadakan hubungan satu sama
lain itu dinamakan masyarakat.[1]
Jadi masyarakat terbentuk apabila ada orang dua atau lebih hidup bersama,
sehingga dalam pergaulan hidup mereka timbul berbagai hubungan atau pertalian
yang mengakibatkan mereka saling kenal-mengenal dan pengaruh mempengaruhi.
Bagaimanapun sederhananya dan bagaimanapun
modernnya masyarakat, manusia, norma tetap sebagai suatu yang mutlak harus ada
pada masyarakat. Norma hukum maupun norma-norma lainnya dalam masyarakat justru
dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat. Tanpa hubungan-hubungan yang
terjadi dalam masyarakat akan kacauMasyarakat hukum adalah suatu masyarakat
yang menetapkan tata hukumnya bagi masyarakat itu sendiri dan oleh sebab
itu turut serta sendiri dalam berlakunya tata hukum itu, artinya tunduk sendiri
kepada tata hukum itu.[2]
Berdasarkan pengertian diatas, berarti norma hukum
yang berlaku di mnbmasyarakat ditetapkan sendiri oleh masyarakat yang
bersangkutan. Masyarakat akan menentukan sendiri hukum yang berlaku bagi
warganya sesuai dengan falsafah hidupnya, ekonomi, sosial dan budaya serta
kenyataan-kenyataan lain yang perlu diperhatikan agar mencerminkan keadilan.
Masyarakat
hukum ada bermacam-macam, yang kecil misalnya desa, sedangkan yang besar dalam
bentuk yang modern ialah negara. Melihat pada hubungan yang diciptakan
anggotanya, maka masyarakat dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu:
1.
Masyarakat “paguyuban” (gemeinschaft), ialah masyarakat yang
hubungan antara anggotanya erat sekali dan bersifat pribadi serta terjadi
ikatan batin antara anggotanya. Misalnya keluarga (rumah tangga), perkumpulan
berdasarkan agama, dan sebagainya
2.
Masyarakat “patembayan” (gesellschaft) ialah masyarakat yang
hubungan antara anggotanya tidak begitu erat dan tidak bersifat pribadi serta
tidak ada ikatan batin antara anggotanya, tetapi karena adanya kepentingan
kebendaan (mencari keuntungan) secara bersama-sama. Misalnya: Perseroan
Terbatas, Perseroan Komanditer, Firma dan sebagainya.
Dalam kehidupan
(kebudayaannya), masyarakat dapat pula dibedakan sebagai berikut:
1.
Masyarakat primitif dan
masyarakat modern,
2.
Masyarakat desa dan
masyarakat kota,
3.
Masyarakat teritorial dan
masyarakat geneologis
4.
Masyarakat
teritorial-geneologis.
Manusia memang dikodratkan
untuk hidup bermasyarakat, banyak faktor pendorong lain manusia untuk hidup
bermasyarakat, yaitu: kebutuhan biologis, persamaan nasib, persamaan bahasa,
persamaan kepentingan, persamaan ideologi, persamaan agama, persamaan kebudayaan,
persamaan keinsafan bahwa mereka berdiam dalam wilayah yang sama, persamaan
tujuan dan sebagainya.[3]
b. Subjek Hukum
Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban
yaitu manusia dan badan hukum. Manusia dalam pengertian “biologis” ialah gejala
alam, gejala biologika yaitu mahluk hidup yang mempunyai pancaindera dan
mempunyai budaya. Sedangkan “orang” adalah pengertian “yuridis” ialah gejala
dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah
orang atau persoon. Menurut hukum modern[4]
seperti yang berlaku Indonesia, setiap manusia diakui sebagai orang atau
persoon.
Setiap
manusia (persoon) baik warga negara
maupun orang asing dengan tidak memandang agama maupun kebudayaannya, sejak
dilahirkan sampai meninggal dunia adalah subjek hukum, atau pendukung hak
kewajiban. Sebagai subjek hukum manusia mempunyai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum. Misalnya ia dapat
mengadakan persetujuan-persetujuan, perkawinan, membuat warisan, dan memberikan
hibah. Jadi pada hakekatnya manusia sejak lahir memperoleh hak dan kewajiban.
Apabila ia meninggal dunia maka hak dan kewajiban akan beralih kepada ahli
warisnya. Tetapi dalam hal ini undang-undang juga mengadakan pengecualian,
bahwa anak yang masih dalam kandunganpun dapat dianggap sebagai sujek hukum,
jika kepentingannya diperlukan. Hal itu diatur dalam Pasal 1 ayat 20 KUHPerdata
yang berbunyi sebagai berikut:“Anak yang ada dalam kandungan seseorang
perempuan, dinggap telah lahir, setiap kali kepentingan sianak menghendakinya
“.
Ketentuan
tersebut juga menegaskan bahwa hak dan kewajiban anak baru dianggap ada jika ia
lahir hidup. Apabila ia lahir mati maka haknya dianggap tidak ada. Misalnya
kepentingan anak untuk menjadi ahli waris dari orang tuanya walaupun ia masih
berada dalam kandungan. Ia dianggap telah lahir dan oleh karena itu harus
diperhitungkan hak-haknya sebagai ahli waris. Tetapi jika ia lahir dalam
keadaan mati maka haknya dianggap tidak pernah ada.
Disamping
itu berdasarkan undang-undang, seseorang dapat dianggap telah meninggal dunia
jika hilang atau tidak diketahui keberadaannya dan tidak ada kepastian apakah
ia masih hidup dalam tenggang waktu setelah lewat lima tahun sejak ia
meninggalkan tempat kediamannya. (Pasal 467, 468 dan 469 KUH Perdata).
Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut maka hak dan kewajiban orang yang
telah dinyatakan menurut hukum meninggal dunia itu telah berakhir dan segala
hak dan kewajibannya beralih kepada ahli warisnya.
Meskipun
menurut hukum setiap orang mempunyai atau sebagai pendukung hak dan kewajiban,
tidaklah selalu berarti mampu atau cakap melaksanakan sendiri hak dan
kewajibannya itu. Ada beberapa golongan yang oleh hukum telah dinyatakan,
“tidak cakap” atau “kurang cakap” untuk bertindak sendiri dalam melakukan
perbuatan-perbuatan hukum. Orang-orang yang demikian itu disebut handelingsonbek waam atau disebut juga personae miserabile.[5] Untuk melaksanakan
hak dan kewajiban, mereka harus diwakili atau dibantu orang lain. Mereka-mereka
yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap atau onbekwaam untuk melakukan sendiri perbuatan hukum adalah sebagai
berikut:
a.
Orang yang masih di bawah umur (belum mencapai usia 21 tahun = belum
dewasa)
b. Orang yang tidak sehat pikirannya (gila), pemabuk dan pemboros,
yakni mereka yang ditaruh di bawah (curatele)
pengampuan.
c.
Orang perempuan dalam pernikahan (wanita kawin)
Ketentuan mengenai batas umur “ kedewasaan “ sebagaimana yang tersebut
diatas, sangat beraneka ragam. Yang dapat kita jumpai dalam berbagai ketentuan
undang-undang, antara lain sebagai berikut:
1.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 KUH Perdata jo. Stb. 1931 No. 54
yang dikatakan “belum dewasa” adalah orang yang belum mencapai umur 21 tahun
dan belum kawin dan apabila perkawinan mereka dibubarkan sebelum umur mereka
genap 21 tahun maka mereka tetap dianggap dewasa, atau kedudukan mereka tidak
kembali pada kedudukan sebelum dewasa.
2.
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 KUH Perdata, ditentukan batas umur dewasa
untuk melakukan pernikahan, yaitu bagi orang laki-laki harus telah mencapai
umur genap 18 tahun, sedangkan bagi wanita harus telah mencapai umur genap 15
tahun.
3.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
yang dikatakan dewasa untuk melangsungkan pernikahan yaitu: bagi orang
laki-laki harus mencapai umur 19 tahun, sedangkan untuk orang wanita harus
telah mencapai umur 16 tahun.
4.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 jo. Pasal 1
(b) Undang-Undang kerja No. 12 Tahun 1948, yang dikatakan dewasa adalah orang
yang telah mencapai umur 18 tahun.
5.
Bardasarkan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang No. 4 Tahun 1975 jo.
Undang-Undang No. 15 Tahun 1969, tentang pemilu, yang dikatakan dewasa untuk
melakukan hak pilih mereka dalam pemilihan umum adalah orang telah mencapai
umur genap 17 tahun.
6.
Berdasarkan Pasal 145 ayat (1) No. 3, Pasal 145 ayat (4), Pasal 172 KUH
Perdata, ditentukan bahwa seseorang dapat didengar sebagai saksi di pengadilan
adalah orang yang telah mencapai umur 15 tahun.
7.
Perlu ditambahkan menurut Pasal 47 ayat (1) undang-Undang No.1 Tahun 1974
anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan perkawinan
ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya. Ayat (2) pasal tersebut menentukan bahwa orang tua mewakili anak
tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.
Mengenai orang yang tidak sehat pikirannya (gila) atau sakit berubah akal
dinyatakan tidak cakap atau tidak mampu bertindak sendiri untuk melaksanakan
hak dan kewajiban.Oleh karena itu ia harus diwakili oleh pengampu (curator). Bagi pemboros dan pemabuk yang
di bawah pengampuan, ketidakcakapan mereka bertindak dalam melaksanakan hak dan
kewajiban terbatas hanya pada perbuatan hukum dalam bidang lapangan hukum harta
kekayaan. Bagi perempuan dalam perkawinan, khususnya yang tunduk dalam KUH
Perdata (BW), dianggap tidak cakap bertindak melaksanakan hak dan kewajiban
sendiri tanpa izin atau bantuan suaminya (Pasal 110 KUH Perdata).
Meskipun orang-orang yang digolongkan ke dalam golongan yang tidak cakap
itu masih sebagai pendukung hak dan kewajiban, tetapi ia tidak dapat
menjelaskan hak dan kewajibannya sendiri. Mereka harus diwakili oleh wakil yang
ditentukan oleh undang-undang atau wakil yang ditunjuk oleh hakim. Setiap wakil
yang ditunjuk itu akan mengurus kepentingan orang yang diwakilinya.
Disamping manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban, terdapat pula
badan hukum yang diberi status sebagai pendukung hak dan kewajiban seperti
manusia. Badan hukum adalah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa (yang bukan
manusia) yang dapat melakukan perbuatan seperti manusia.[6]
Misalnya dapat melakukan persetujuan, memiliki harta kekayaan yang sama sekali
terlepas dari kekayaan para anggotanya (koperasi). Hak dan kewajiban badan
hukum itu sama sekali terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya.
Badan hukum juga dapat berperan sebagai penggugat dan tergugat seperti
halnya manusia. Perbedaan dengan manusia, bahwa badan hukum tidak dapat
melakukan perkawinan, tidak dapat dihukum penjara, apabila terjadi pelanggaran
hanya berupa hukuman denda. Dalam melaksanakan hak dan kewajiban, badan hukum
bertindak dengan perantara pengurusnya, walaupun pengurus dari badan hukum itu
selalu dapat berganti-ganti, namun badan hukum sebagai pendukung hak dan
kewajiban tetap ada.
Untuk mengetahui hakikat badan hukum, dalam ilmu pengetahuan hukum timbul
bermacam-macam teori tentang badan hukum yang satu sama lain berbeda-beda.
Berikut ini hanya dikemukakan 5 (lima) macam teori yang sering dikutip oleh
penulis-penulis hukum:[7]
1.
Teori Fictie
Menurut teoi ini badan hukum
semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fictie, yakni sesuatu
yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan
sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia.
Teori ini dikemukakan oleh Von Savigny, dan diikuti juga oleh Houwing.
2.
Teori Harta Kekayaan bertujuan (Doel
Vermogenstheorie)
Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum.
Namun kata teori ini, ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekeyaan
seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuan tertentu. Kekayaan yang
tidak ada yang mempunyainya dan terikat pada tujuan tertentu inilah yang diberi
nama badan hukum. Teori ini diajarkan oleh A. Brinz dan diikuti oleh Van Der
Heijden.
3.
Teori Organ dari Otto’van Gierke
Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan
(hak) yang tidak bersubjek. Tetapi badan hukum adalah suatu organesme yang
riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk
kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada padanya (pengurus,
anggota-anggotanya), seperti manusia biasa yang mempunyai pancaindera dan
sebagainya. Pengikut teori organ ini antara lain Polano.
4.
Teori Propriete Collectief
Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraaf. Menurut teori ini hak
dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota
bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama-sama anggotanya.
Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk
suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah
suatu konstruksi yuridis saja. Star Busmann dan Kranenburg adalah
pengikut-pengikut ajaran ini.
5.
Teori Kenyataan Yuridis (Juridische
Realiteitsleer)
Dikatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realiteit, konkret, riil,
walaupun tidak bisa diraba, bukan khayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori yang
dikemukakan oleh Mejers ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan
badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja. Meskipun
teori-teori tentang badan hukum tersebut berbeda-beda dalam memahami hakikat
badan hukum, namun teori-teori itu sependapat, bahwa badan-badan hukum dapat
berkecimpung dalam pergaulan hukum dimasyarakat, meskipun dengan beberapa
pengecualian.
b.1 Pembagian badan Hukum
Menurut Pasal 1653 BW, badan
hukum dapat dibagi atas 3 (tiga) macam, yaitu:
a) Badan hukum yang “diadakan” oleh pemerintah/kekuasaan umum,
misalnya Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II/Kotamadya, Bank-bank yang
didirikan oleh negara dan sebagainya.
b)
Badan hukum yang “diakui” oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya
perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan sebagainya.
c) Badan hukum yang “didirikan” untuk suatu maksud tertentu yang
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, seperti perseroan
terbatas, perkumpulan asuransi, perkapalan, dan lain sebagainya.
Kalau badan hukum itu dilihat
dari segi wujudnya maka dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu:
a)
Korporasi (corporatie) adalah
gabungan (kumpulan) orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak
bersama-sama sebagai subjek hukum tersendiri. Karena itu badan hukum ini merupakan
badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang
terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya. Misalnya: perseroan terbatas. Indonesische Maatschappij op aandelen (IMA)
dan lain sebagainya.
b)
Stichting (yayasan) adalah harta kekayaan yang
tersendirikan untuk tujuan tertentu. Jadi yayasan tidak ada anggota, yang ada
hanyalah pengurusnya, yang melakukan segala kegiatan untuk mencapai tujuannya.
Badan hukum di
Indonesia dibedakan atas 2 (dua) jenis, yakni:
a) Badan hukum publik, misalnya: Negara Republik Indonesia, Daerah
Tingkat I, Daerah Tingkat II, Bank-Bank Negara, dan sebagainya.
b)
Badan hukum privat, misalnya: perseroan terbatas, koperasi, yayasan,
perkumpulan perkapalan, asuransi, Indonesische
Maatschappij op aandelen dan sebagainya
Di Indonesia kriteria yang dipakai untuk menentukan sesuatu badan hukum
termasuk badan hukum publik atau termasuk badan hukum privat ada 2 (dua) macam:
a) Berdasarkan terjadinya, yakni badan hukum privat yang didirikan
oleh perseorangan, sedangkan badan hukum publik didirikan oleh
pemerintah/negara
b)
Berdasarkan lapangan kerjanya, yakni apakah lapangan pekerjaan itu untuk
kepentingan umum atau tidak. Kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan
umum, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum publik. Tetapi kalau
lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan, maka badan hukum itu
termasuk badan hukum privat.[8]
b.2
Pengaturan Badan Hukum
BW tidak mengatur secara lengkap dan
sempurna tentang badan hukum. Dalam BW ketentuan tentang badan hukum hany
termuat pada buku III titel IX Pasal 1653 sampai dengan 1665 dengan istilah “ Van Zedelijkelichamen” yang dipandang
sebagai perjanjian, karena itu kemudian diatur dalam buku III tentang
perikatan. Hal ini menimbulkan keberatan para ahli karena badan hukum adalah
persoon, maka seharusnya dimasukkan dalam buku I tentang orang (Van Personen).
Peraturan-peratuan lain yang
mengatur tentang badan hukum ini antara lain termuat dalam Stb. 1870 No. 64
tentang pengakuan badan hukum; Stb. 1927 No. 156 tentang gereja dan
organisasi-organisasi agama; Stb. 1939 No. 570 jo. 717 tentang badan hukum
Indonesia; Stb. 1939 No. 59 jo.717 tentang Indonesische Maatschappij op
aandelen; Wvk (Wetboek van Koophandel)
tentang perseroan terbatas, perseroan perkapalan dan perkumpulan asuransi;
Undang-Undang No. 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian yang mengatur
tentang badan hukum koperasi, dan lain-lain. Sedangkan yayasan tidak diatur
dalam undang-undang tetapi diatur dalam kebiasaan dan yurisprudensi.
b.3 Syarat-Syarat Badan Hukum
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai
badan hukum (rechtspersoon). Menurut
doktrin syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
a. Adanya harta kekayaan yang terpisah
Adanya harta kekayaan ini dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai apa
yang menjadi tujuan badan hukum yang bersangkutan. Harta kekayaan badan hukum
ini berasal dari pemasukan-pemasukan anggota- anggotanya yang terpisah dari
harta kekayaan pribadi anggota-anggotanya.
b. Mempunyai Tujuan Tertentu
Tujuan tertentu dapat berupa tujuan idiil maupun tujuan komersiil. Tujuan
ini bukan merupakan tujuan untuk kepentingan satu atau beberapa anggota tetapi
merupakan tujuan bersama-sama yang lazimnya dirumuskan dengan jelas dalam
anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
a.
Mempunyai Kepentingan
Sendiri
Dalam melakukan tujuannya
badan hukum mempunyai kepentingan sendiri yang dilindungi oleh hukum.
Kepentingan –kepentingan tersebut merupakan hak-hak subjektif sebagai akibat
dari peristiwa-peristiwa hukum. Oleh karena itu badan hukum mempunyai
kepentingan sendiri, dan dapat menuntut serta mempertahankannya terhadap pihak
ketiga dalam pergaulan hukumnya. Kepentingan sendiri dari badan hukum ini harus
stabil, artinya tidak terikat pada suatu waktu yang pendek, tetapi untuk jangka
waktu yang panjang.
b.
Ada Organisasi Yang Teratur
Badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Karena itu sebagai
subjek hukum disamping manusia, badan
hukum hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan organnya.
Tentang bagaimana tata cara badan hukum yang terdiri dari manusia itu
bertindak, bagaimana organ badan hukum itu dipilih, diganti dan sebagainya,
diatau dalam anggaran dasar dan peraturan-peraturan lain atau keputusan rapat
anggota.
Pada
akhirnya yang menentukan suatu badan/perkumpulan/himpunan sebagai badan hukum
atau tidak, adalah hukum positif yakni hukum yang berlaku pada suatu negara
tertentu. Misalnya di Prancis dan belgia, hukum positifnya mengakui perseroan
firma sebagai badan hukum.Sedangkan di Indonesia, hukum positifnya tidak
mengakui sebagai badan hukum. Demikian juga dengan perseroan komanditer (CV),
tidak diakui sebagai badan hukum, meskipun dalam masyarakat sering disangka
sebagai rechtspersoon. Syarat mutlak untuk diakui sebagai badan hukum,
himpunan/perkumpulan/badan usaha itu harus mendapat “pengesahan” dari
Pemerintah c.q Menteri Kehakiman (d/h Gubernur Jenderal Pasal 1 Stb.1870 No.
64)[9]
b.4
Perbuatan Badan Hukum
Badan hukum adalah merupakan subjek
hukum yang tidak berjiwa, oleh karena itu dalam melakukan perbuatannya diwakili
oleh orang-orang/ manusia biasa. Namun orang-orang ini bertindak bukan atas
namanya sendiri, tetapi untuk dan atas nama badan hukum.Orang-orang yang
bertindak untuk dan atas nama badan hukum ini dinamakan “organ” (alat
perlengkapan seperti pengurus, direksi, dan sebagainya).
Organ dari badan hukum ini tidak dapat berbuat sewenang-wenang semua
telah diatur dalam anggaran dasar badan hukum tersebut dan peraturan –peraturan
lainnya. Tindakan organ badan hukum yang melampui batas yang telah ditentukan
tidak menjadi tanggung jawab badan hukum tetapi menjadi tanggung jawab pribadi.
Terkecuali tindakan yang melampui batas tersebut menguntungkan badan hukum atau
organ yang lebih tinggi kedudukannya kemudian menyetujui tindakan itu. Dan
persetujuan organ yang lebih tinggi ini harus masih dalam batas-batas
kompetensinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang termasuk dalam Pasal 1656
BW yang menyatakan:
“ Segala perbuatan, untuk mana pengurusnya tidak
berkuasa melakukannya, hanyalah mengikat perkumpulan sekedar perkumpulan itu
sungguh-sungguh telah mendapat manfaat karenanya atau sekedar
perbuatan-perbuatan itu terkemudian telah disetujui secara sah.”
Kemudian Pasal 45 WVK menyatakan:
1.
Tanggung jawab para pengurus adalah tak lebih daripada untuk menunaikan
tugas yang diberikan kepada mereka dengan sebaik-baiknya; merekapun karena
segala perikatan dari perseroan, dengan diri sendiri tidak terikat kepada pihak
ketiga
2.
Sementara itu, apabila mereka melanggar sesuatu ketentuan dalam akta,
atau tentang perubahan yang kemudian diadakannya mengenai syarat-syarat
pendirian, maka, atas kerugian yang karenanya telah diderita oleh pihak ketiga,
mereka itupun masing-masing dengan diri sendiri bertanggung jawab untuk
seluruhnya.
Jadi jelas, apabila organ bertindak diluar wewenangnya maka badan hukum
tidak bertanggung jawab, tetapi organ lah yang secara pribadi bertanggung jawab
terhadap pihak ketiga yang dirugikan. Lain halnya apabila organ bertindak
berada dalam wewenang yang diberikan kepadanya, meskipun terjadi kesalahan yang
dapat diketegorikan sebagai perbuatan melanggar hukum (“onrechtsmatige daad”). Badan hukum tetap bertanggung jawab menurut
pasal 1365 BW. Demikian pendapat sebagian besar ahli-ahli hukum seperti Paul
Scholten.[10]
d.
Lembaga Hukum
Lembaga
hukum (rechtsinstituut) adalah
himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengandung beberapa persamaan atau
bertujuan mencapai suatu objek yang sama. Misalnya lembaga hukum perkawinan,
dikatakan lembaga hukum perkawinan karena merupakan himpunan
peraturan-peraturan hukum yang mengatur mengenai perkawinan.
Dengan
demikian dalam hukum positif terdapat banyak sekali lembaga-lembaga hukum,
seperti lembaga hukum jual beli (Pasal 1457 sampai dengan 1540 BW), tukar
menukar (Pasal 1541 sampai dengan 1546 BW), sewa menyewa (Pasal 1548 sampai
dengan pasal 1600 BW) dan sebagainya.
Lembaga-lembaga
hukum tersebut mempunyai hubungan satu sama lain. Lembaga-lembaga hukum yang
mempunyai persamaan, bersama-sama merupakan suatu “lapangan hukum” (rechtsveld). Dengan demikian semua
lembaga hukum Eropa bersama- sama merupakan merupakan satu lapangan hukum yang
disebut “Hukum Eropa”, semua lembaga hukum adat Indonesia bersama-sama
merupakan satu lapangan hukum yang dinamakan “ hukum Adat Indonesia”. Antara
lapangan hukum Eropa dan lapangan hukum Adat Indonesia memang mempunyai
perbedaan yang prinsipil, akan tetapi juga ada persamaannya.[11]
e. Objek Hukum
Objek
hukum ialah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum (manusia dan badan
hukum) dan yang dapat menjadi pokok (objek) suatu hubungan hukum, karena
sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek hukum. Biasanya Objek hukum disebut “ Benda”. Pengertian benda (Zaak) secara yuridis adalah segala sesuatu
yang dapat dihaki atau menjadi objek hak milik (Pasal 499 BW).
Dalam
sistem hukum perdata Barat (BW) yang berlaku di Indonesia, pengertian benda (zaak) sebagai objek hukum tidak hanya
meliputi “benda yang berwujud” yang dapat ditangkap dengan panca indera, akan
tetapi juga “benda tidak berwujud”.
Menurut
sistem hukum perdata barat, sebagaimana diatur dalam BW, benda dapat
dibeda-bedakan sebagai berikut:
1. Benda tidak bergerak
Benda tidak bergerak (lihat pasal 506, 507, dan 508 BW), ada tiga golongan
benda tidak bergerak, yaitu:
a.
Benda menurut “sifatnya”
tidak bergerak, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam:
1.
Tanah
2.
Segala sesuatu yang bersatu
dengan tanah karena tumbuh dan berakar serta bercabang (seperti
tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang belum dipetik dan sebagainya)
3.
Segala sesuatu yang bersatu
dengan tanah karena didirikan diatas tanah yaitu karena tertanam dan terpaku.
b. benda menurut “tujuan
pemakaiannya”
1. Pada pabrik, segala macam
mesin-mesin, ketel-ketel, dan alat-alat lain yang terus-menerus berada disatu
tempat untuk dipergunakan dalam menjalankan pabrik
2. Pada suatu perkebunan,
segala sesuatu yang dipergunakan sebagai pupuk bagi tanah, ikan dalam kolam dan
lain-lain.
3. Pada rumah kediaman, segala
kaca, tulisan-tulisan, dan lain-lain serta alat-alat untuk menggantungkan
barang-barang itu sebagai bagian dari dinding.
4. Barang-barang reruntuhan
dari suatu bangunan, apabila dimaksudkan untuk dipakai mendirikan lagi
bangunan.
c.
Benda menurut “penetapan
undang-undang ‘ sebagai benda tidak bergerak
1.
Hak-hak atau penagihan
mengenai suatu benda yang tidak bergerak
2.
Kapal-kapal yang berukuran
20 meter kubik keatas.
2. Benda Bergerak
(Pasal 509, 510, dan 511 BW)
Ada dua golongan
benda bergerak, yaitu:
a. benda menurut “sifatnya”
bergerak dalam arti benda itu dapat berpindah atau dipindahkan dari suatu
tempat ke tempat lain, misalnya sepeda, meja, kursi, alat-alat tulis, dan
sebagainya.
b.
Benda menurut “penetapan
undang-undang” sebagai benda bergerak ialah segala hak atas benda-benda
bergerak, misalnya hak atas bunga yang harus dibayar selama hidup seseorang,
hak menuntut dimuka pengadilan agar uang tunai atau benda-benda bergerak
diserahkan kepada seseorang (penggugat), saham-saham dari perseroan dagang, dan
surat-surat berharga lainnya.
Perbedaan benda bergerak dan benda tidak
bergerak tersebut penting, karena adanya
ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi masing-masing benda tersebut,
misalnya pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Mengenai hak bezit
Untuk benda
bergerak (Pasal 1977 ayat 1 BW) menentukan: Barang siapa yang menguasai benda
bergerak dianggaplah ia sebagai pemiliknya. Jadi bezitter dari benda bergerak
adalah eigenaar dari benda bergerak itu. Untuk benda tidak bergerak tidak
demikian, barang siapa yang menguasai benda tidak bergerak tidak bisa dianggap
sebagai pemilik dari benda tidak bergerak itu.
b.
Mengenai pembebanan (bezwaring)
Terhadap benda bergerak harus dipergunakan
lembaga jaminan gadai (pand).
Sedangkan benda tidak bergerak harus dipergunakan lembaga jaminan hypotheek
(Pasal 1150 dan Pasal 1162 BW)
c. Mengenai penyerahan (levering)
Pasal 612
BW menentukan bahwa penyerahan benda bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan
nyata. Sedangkan penyerahan benda tidak bergerak, menurut Pasal 616 BW harus
dilakukan dengan balik nama pada daftar umum.
d.
Mengenai daluwarsa (Verjaring)
Terhadap benda bergerak tidak dikenal
daluwarsa, sebab bezit sama dengan eigendom. Sedangkan benda tidak bergerak
mengenai daluwarsa. Seseorang dapat memperoleh hak milik karena lampaunya waktu
20 (dua puluh) tahun (dalam hal ada alas hak yang sah) atau 30 (tiga puluh)
tahun (dalam hal tidak ada alas hak), yang disebut dengan “acquisitieve verjaring”
e. Mengenai penyitaan (beslag)
Revindicatoir
beslag adalah penyitaan untuk menuntut kembalinya sesuatu benda bergerak milik
pemohon yang berada dalam kekuasaan
orang lain. Revindicatoir beslag tidak
mungkin dilakukan terhadap benda tak bergerak. Executoir beslag adalah
penyitaan yang dilakukan untuk melaksanakan putusan pengadilan. Apabila
benda-benda bergerak dinilai harganya tidak mencukupi untuk membayar hutang
debitur kepada kreditur, barulah executoir beslag dilakukan terhadap
benda-benda tidak bergerak. [12]
f. Azas Hukum
1. .G.W. Paton dalam bukunya Texbook of jurisprudence, 1969
mengatakan azas adalah A principle of the
broad reason, which lies at the base of a rule of law (suatu alam pikiran
yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum).
Dengan
kata lain azas hukum adalah suatu alam pikiran yang melatarbelakangi pembentukan norma hukum.
2. The Liang Gie, mengatakan
azas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa
menyarankan cara khusus mengenai pelaksanaannya.
Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa azas
hukum hanya merupakan cita-cita suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau
tumpuan berpikir untuk mencipta norma hukum. Agar supaya azas hukum berlaku
dalam praktek, maka isi azas hukum harus dibentuk yang lebih konkret. Misalnya:
1.
Azas Praduga Tak Bersalah(Presumption Of Innocence), dituangkan kedalam Pasal 8 UU No. 14
Tahun 1970:
Setiap
orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan didepan pengadilan,
wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
2. Azas Legalitas (nullum delictum mulla poena sine praevia lege poenali) sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan.
Contoh
azas tersebut merupakan perlindungan bagi kemerdekaan diri pribadi dari
tindakan sewenang-wenang pihak penguasa, karena seseorang tidak dapat dihukum
kecuali undang-undang mengatur lebih dahulu.
3. Azas setiap janji mengikat(Pacta Sunt Servanda)
Azas Kebebasan Berkontrak(Contract Vrijheid)
Azas Etikat Baik (Te Goede Trouw)
Ketiga azas ini dituangkan kedalam Pasal
1338 KUHPerdata.
Azas hukum yang telah dirumuskan
dalam bentuk peraturan hukum, maka ia sudah dapat diterapkan secara langsung
pada peristiwanya. Sedangkan azas hukum yang belum konkret (belum dituangkan
dalam norma hukum) maka belum dapat digunakan secara langsung dalam suatu
peristiwa.
Jadi dapat disimpulkan bahwa azas
hukum bukanlah kaidah hukum konkret, melainkan merupakan latar belakang
peraturan yang konkret yang bersifat umum dan abstrak.[13]
g. Peristiwa Hukum
Peristiwa
hukum atau kejadian hukum (rechtsfeit)
adalah peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang membawa akibat yang diatur
oleh hukum. Dengan kata lain peristiwa hukum adalah peristiwa-peristiwa dalam
masyarakat yang akibatnya diatur oleh hukum. Jadi peristiwa apasaja dalam
masyarakat yang membawa akibat yang diatur oleh hukum dinamakan peristiwa hukum
Kapan
suatu peristiwa dapat dikatakan peristiwa hukum?Suatu peristiwa dapat dikatakan
peristiwa hukum, jika terdapat norma hukum yang mengatur akibat peristiwa itu.
Menurut Sudiman Kartohadiprodjo[14]
mengatakan Suatu peristiwa merupakan peristiwa hukum karena terdapat norma
hukum yang memberi akibat hukum terhadap peristiwa itu. Dengan demikian yang
menjadi tolok ukur apakah suatu peristiwa adalah peristiwa hukum atau tidak
ialah norma hukum.
Peristiwa hukum ada dua macam,
yaitu: “peristiwa yang merupakan perbuatan subyek hukum” dan “peristiwa lain
yang bukan perbuatan subjek hukum”. Kemudian “perbuatan subjek hukum “ dibagi
lagi menjadi dua macam yaitu “perbuatan hukum” dan “perbuatan lain yang bukan
perbuatan hukum”. “Perbuatan hukum” adalah setiap perbuatan yang akibatnya
diatur oleh hukum, dan akibatnya dianggap
“dikehendaki” oleh yang melakukan perbuatan itu. “Kehendak” dari yang
melakukan perbuatan itu merupakan unsur yang esensiil dari perbuatan hukum.
Suatu perbuatan yang akibatnya tidak
dikehendaki oleh yang melakukannya bukan dinamakan perbuatan hukum. Perbuatan
hukum itu sendiri dibagi menjadi dua macam yaitu perbuatan hukum yang bersegi
satu dan perbuatan hukum yang bersegi dua. Perbuatan hukum yang bersegi satu
adalah perbuatan yang akibatnya dikehendaki oleh satu pihak saja. Seperti
membuat wasiat (testamen),
menghibahkan sesuatu barang, mendirikan yayasan (stichtingshandeling) dan lain sebagainya. Sedangkan perbuatan hukum
bersegi dua adalah perbuatan yang akibatnya dikehendaki oleh dua pihak atau
lebih. Dan setiap perbuatan hukum yang bersegi dua adalah suatu perjanjian.
Perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum juga ada dua
macam, yaitu ‘perbuatan yang sesuai dengan asas-asas hukum” misalnya apa yang
disebut ‘zaakwarneming” yaitu suatu
perbuatan dimana seseorang dengan sukarela dan tanpa mendapat perintah,
mengurus kepentingan orang lain, dengan atau tanpa sepengetahuan orang ini
(Pasal 1354 BW) dan “perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum
(perbuatan melanggar hukum-“onrechtmatige
daad”) yang diatur dalam Pasal 1365 BW yang menyatakan bahwa tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Peristiwa hukum yang bukan merupakan perbuatan subjek
hukum yaitu peristiwa kelahiran, kematian, daluwarsa (lewat waktu). Peristiwa
kelahiran langsung menimbulkan hak anak yang dilahirkan untuk mendapat
pemeliharaan dari orang tuanya dan menimbulkan kewajiban bagi orang tuanya
untuk memelihara anaknya itu. Kematian juga merupakan peristiwa hukum karena
dengan adanya kematian seseorang menimbulkan hak dan kewajiban para ahli
warisnya. Kemudian daluwarsa (lewat waktu) dapat mengakibatkan seseorang
memperoleh sesuatu hak (acquisitieve
verjaring) atau dibebaskan dari suatu tanggung jawab (extincitieve verjaring)setelah habis masa tertentu dan
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dipenuhi.
|
|
h. Hubungan Hukum Dan Hak
Hubungan hukum (rechtsverhouding/rechtsbetrekking) adalah hubungan yang terjadi
dalam masyarakat, baik antara subjek dengan subjek hukum maupun antara subjek
hukum dengan benda, yang diatur oleh hukum dan menimbulkan akibat hukum yakni
hak dan kewajiban. Misalnya A menjual baju kepada B. Perjanjian jual beli
antara A dan B ini menimbulkan hubungan yang diatur oleh hukum (Pasal 1457-1540
BW dan hukum adat). Karena adanya hubungan tersebut, maka A wajib menyerahkan
baju kepada B dan ia berhak meminta pembayaran harga baju kepada B. Sebaliknya
B berkewajiban membayar harga baju kepada A dan ia berhak meminta baju kepada
A. Hubungan antara A ban B yang diatur oleh hukum diatas dinamalan hubungan
hukum. Dan setiap hubungan hukum mempunyai 2 (dua) segi yaitu “kekuasaan” dan
lawannya “kewajiban”. Kekuasaan yang oleh hukum diberikan kepada seseorang
(badan hukum) karena perhubungan hukumnya dengan seseorang (badan hukum) lain
biasanya diberi nama “hak”
Hak
dapat dibagi menjadi dua, yaitu hak mutlak (absolut)
dan hak relatif (nisbi). Hak mutlak (absolut) adalah setiap kekuasaan mutlak
yang oleh hukum diberikan kepada subjek hukum untuk berbuat sesuatu atau
untuk bertindak buat kepentingannya.
Dikatakan mutlak karena berlaku terhadap setiap subjek hukum yang lain, yang
semuanya harus menghormati kekuasaan tersebut.
Hak relatif (nisbi) adalah setiap kekuasaan yang oleh hukum diberikan kepada subjek hukum untuk menuntut subjek hukum lain tertentu supaya berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu, atau memberi sesuatu. Dikatakan relatif karena hak ini hanya dapat dilakukan terhadap subjek hukum tertentu saja.
Hak mutlak terbagi dalam tiga
golongan, yaitu:
1.
Hak
asasi manusia, yaitu hak yang diberikan oleh hukum kepada setiap manusia. Hak
asasi manusia ini tercantum dalam Universal
Declaration of Human Rights yang dicetuskan dalam sidang umum PBB tanggal
10 Desember 1948. Dalam UUD 1945 dicantumkan dalam Pasal 28 dan 29, yang antara
lain menyebutkan adanya hak berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lesan dan tulisan, beragama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan
masing-masing.
2.
Hak
publik absolut, misalnya hak suatu bangsa untuk merdeka dan berdaulat.
3.
Sebagian
dari hak privat, yang terdiri atas:
a.
Hak pribadi manusia, yaitu
hak yang oleh hukum diberikan kepada manusia atas dirinya sendiri, yang terdiri
dari hak atas keselamatan jiwa, hak atas keselamatan badan, hak atas
keselamatan kehormatannya.
b.
Hak
keluarga, yaitu hak yang timbul karena perhubungan antara anggota keluarga satu
dengan yang lain. Misalnya hak perwalian, hak (kekuasaan ) orang tua terhadap
anak, hak suami istri antara yang satu terhadap yang lain.
c.
Hak-hak mengenai harta
kekayaan, baik hak kebendaan materiil (seperti hak milik) maupun hak kebendaan
immateriil (seperti hak cipta, hak oktroi, hak merek).
Hak relatif juga terbagi dalam tiga golongan, yaitu:
1.
Hak publik relatif. Misalnya hak negara untuk
menghukum pelanggar undang-undang, hak negara untuk memungut pajak dan cukai,
hak negara untuk menyita dan sebagainya. Hak-hak ini hanya bisa dijalankan
negara terhadap orang-orang tertentu saja.
2.
Hak keluarga relatif, misalnya hak suami istri untuk
tolong menolong, bantu membantu, mendidik dan memelihara anak dan sebagainya.
3.
Hak kekayaan relatif adalah semua hak kekayaan yang
bukan hak kebendaan. Hak kekayaan relatif ini berbeda dengan hak kekayaan
absolut. Hak kekayaan absolut dapatdijalankan pada setiap orang, akan tetapi
hak kekayaan relatif hanya dapat dijalankan kepada orang tertentu saja.
Lazimnya hak kekayaan relatif ini disebut “perhutangan” atau “perikatan” yang
dalam bahasa belanda disebut “Verbintenis”. Perikatan adalah hubungan
hukum antara dua pihak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu
(kreditur) berhak atas suatu prestasi dan pihak yang lain (debitur)
berkewajiban memenuhi prestasi. Apa yang disebut dengan “hak kekayaan relatif”
tidak lain adalah “hak perseorangan” yang diatur dalam rangkaian buku III BW,
dan “hak kekayaan absolut” adalah kebendaan yang diatur dalam rangkaian
pasal-pasal buku II BW.
Hak dapat diskemakan sebagai berikut[16]:
|
|||
[1]
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1984), 30.
[2] Kusumadi Pudjosewojo, Pedomen Pelajaran
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1976).49.
[3]
Marhainis Abdul Hay, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1982), 20.
[4]
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar, 1957), 241.
[5]
Chainur Arrajid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 121.
[7] Chidir Ali, Badan
Hukum, (Bandung, Alumni, 1976), 29-33.
[8] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum,
(Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999), 149-150.
[9] Ibid. 152-153.
[10] Ghidir Ali, Badan
Hukum….,32.
[11] Utrecht, Pengantar…….,204.
[12] Riduan Syahrani, Rangkuman……., 155-162.
[13] Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar….., 36-39.
[14] Riduan Syahrani, Rangkuman……., 179-184.
[15] Ibid., 184.
[16]
Ibid., 190.
No comments:
Post a Comment