Friday, February 14, 2014

ISTILAH-ISTILAH DALAM ILMU HUKUM



ISTILAH-ISTILAH DALAM ILMU HUKUM
a. Masyarakat Hukum
             Manusia disamping sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial yakni mahluk yang mempunyai keinginan untuk berkumpul dan mengadakan hubungan   dengan manusia-manusia yang lain. Kumpulan atau persatuan-persatuan manusia-manusia yang saling mengadakan hubungan satu sama lain itu dinamakan masyarakat.[1] Jadi masyarakat terbentuk apabila ada orang dua atau lebih hidup bersama, sehingga dalam pergaulan hidup mereka timbul berbagai hubungan atau pertalian yang mengakibatkan mereka saling kenal-mengenal dan pengaruh mempengaruhi.
    Bagaimanapun sederhananya dan bagaimanapun modernnya masyarakat, manusia, norma tetap sebagai suatu yang mutlak harus ada pada masyarakat. Norma hukum maupun norma-norma lainnya dalam masyarakat justru dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan, keserasian, dan keselarasan hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat. Tanpa hubungan-hubungan yang terjadi dalam masyarakat akan kacauMasyarakat hukum adalah suatu masyarakat yang menetapkan tata hukumnya bagi masyarakat itu sendiri dan oleh sebab itu turut serta sendiri dalam berlakunya tata hukum itu, artinya tunduk sendiri kepada tata hukum itu.[2]
Berdasarkan pengertian diatas, berarti norma hukum yang berlaku di mnbmasyarakat ditetapkan sendiri oleh masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat akan menentukan sendiri hukum yang berlaku bagi warganya sesuai dengan falsafah hidupnya, ekonomi, sosial dan budaya serta kenyataan-kenyataan lain yang perlu diperhatikan agar mencerminkan keadilan.
            Masyarakat hukum ada bermacam-macam, yang kecil misalnya desa, sedangkan yang besar dalam bentuk yang modern ialah negara. Melihat pada hubungan yang diciptakan anggotanya, maka masyarakat dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu:
1.      Masyarakat “paguyuban” (gemeinschaft), ialah masyarakat yang hubungan antara anggotanya erat sekali dan bersifat pribadi serta terjadi ikatan batin antara anggotanya. Misalnya keluarga (rumah tangga), perkumpulan berdasarkan agama, dan sebagainya
2.      Masyarakat “patembayan” (gesellschaft) ialah masyarakat yang hubungan antara anggotanya tidak begitu erat dan tidak bersifat pribadi serta tidak ada ikatan batin antara anggotanya, tetapi karena adanya kepentingan kebendaan (mencari keuntungan) secara bersama-sama. Misalnya: Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Firma dan sebagainya.
Dalam kehidupan (kebudayaannya), masyarakat dapat pula dibedakan sebagai berikut:
1.      Masyarakat primitif dan masyarakat modern,
2.      Masyarakat desa dan masyarakat kota,
3.      Masyarakat teritorial dan masyarakat geneologis
4.      Masyarakat teritorial-geneologis.  
Manusia memang dikodratkan untuk hidup bermasyarakat, banyak faktor pendorong lain manusia untuk hidup bermasyarakat, yaitu: kebutuhan biologis, persamaan nasib, persamaan bahasa, persamaan kepentingan, persamaan ideologi, persamaan agama, persamaan kebudayaan, persamaan keinsafan bahwa mereka berdiam dalam wilayah yang sama, persamaan tujuan dan sebagainya.[3]    
b. Subjek Hukum
Subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban yaitu manusia dan badan hukum. Manusia dalam pengertian “biologis” ialah gejala alam, gejala biologika yaitu mahluk hidup yang mempunyai pancaindera dan mempunyai budaya. Sedangkan “orang” adalah pengertian “yuridis” ialah gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau persoon. Menurut hukum modern[4] seperti yang berlaku Indonesia, setiap manusia diakui sebagai orang atau persoon. 
            Setiap manusia (persoon) baik warga negara maupun orang asing dengan tidak memandang agama maupun kebudayaannya, sejak dilahirkan sampai meninggal dunia adalah subjek hukum, atau pendukung hak kewajiban. Sebagai subjek hukum manusia mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum. Misalnya ia dapat mengadakan persetujuan-persetujuan, perkawinan, membuat warisan, dan memberikan hibah. Jadi pada hakekatnya manusia sejak lahir memperoleh hak dan kewajiban. Apabila ia meninggal dunia maka hak dan kewajiban akan beralih kepada ahli warisnya. Tetapi dalam hal ini undang-undang juga mengadakan pengecualian, bahwa anak yang masih dalam kandunganpun dapat dianggap sebagai sujek hukum, jika kepentingannya diperlukan. Hal itu diatur dalam Pasal 1 ayat 20 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:“Anak yang ada dalam kandungan seseorang perempuan, dinggap telah lahir, setiap kali kepentingan sianak menghendakinya “.
            Ketentuan tersebut juga menegaskan bahwa hak dan kewajiban anak baru dianggap ada jika ia lahir hidup. Apabila ia lahir mati maka haknya dianggap tidak ada. Misalnya kepentingan anak untuk menjadi ahli waris dari orang tuanya walaupun ia masih berada dalam kandungan. Ia dianggap telah lahir dan oleh karena itu harus diperhitungkan hak-haknya sebagai ahli waris. Tetapi jika ia lahir dalam keadaan mati maka haknya dianggap tidak pernah ada.
            Disamping itu berdasarkan undang-undang, seseorang dapat dianggap telah meninggal dunia jika hilang atau tidak diketahui keberadaannya dan tidak ada kepastian apakah ia masih hidup dalam tenggang waktu setelah lewat lima tahun sejak ia meninggalkan tempat kediamannya. (Pasal 467, 468 dan 469 KUH Perdata). Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut maka hak dan kewajiban orang yang telah dinyatakan menurut hukum meninggal dunia itu telah berakhir dan segala hak dan kewajibannya beralih kepada ahli warisnya.
            Meskipun menurut hukum setiap orang mempunyai atau sebagai pendukung hak dan kewajiban, tidaklah selalu berarti mampu atau cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya itu. Ada beberapa golongan yang oleh hukum telah dinyatakan, “tidak cakap” atau “kurang cakap” untuk bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Orang-orang yang demikian itu disebut handelingsonbek waam atau disebut juga personae miserabile.[5] Untuk melaksanakan hak dan kewajiban, mereka harus diwakili atau dibantu orang lain. Mereka-mereka yang oleh hukum telah dinyatakan tidak cakap atau onbekwaam untuk melakukan sendiri perbuatan hukum adalah sebagai berikut:
a.       Orang yang masih di bawah umur (belum mencapai usia 21 tahun = belum dewasa)
b.      Orang yang tidak sehat pikirannya (gila), pemabuk dan pemboros, yakni mereka yang ditaruh di bawah (curatele) pengampuan.
c.       Orang perempuan dalam pernikahan (wanita kawin)
Ketentuan mengenai batas umur “ kedewasaan “ sebagaimana yang tersebut diatas, sangat beraneka ragam. Yang dapat kita jumpai dalam berbagai ketentuan undang-undang, antara lain sebagai berikut:
1.      Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 30 KUH Perdata jo. Stb. 1931 No. 54 yang dikatakan “belum dewasa” adalah orang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin dan apabila perkawinan mereka dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun maka mereka tetap dianggap dewasa, atau kedudukan mereka tidak kembali pada kedudukan sebelum dewasa.
2.      Berdasarkan ketentuan Pasal 29 KUH Perdata, ditentukan batas umur dewasa untuk melakukan pernikahan, yaitu bagi orang laki-laki harus telah mencapai umur genap 18 tahun, sedangkan bagi wanita harus telah mencapai umur genap 15 tahun.
3.      Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang dikatakan dewasa untuk melangsungkan pernikahan yaitu: bagi orang laki-laki harus mencapai umur 19 tahun, sedangkan untuk orang wanita harus telah mencapai umur 16 tahun.
4.      Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 jo. Pasal 1 (b) Undang-Undang kerja No. 12 Tahun 1948, yang dikatakan dewasa adalah orang yang telah mencapai umur 18 tahun.
5.      Bardasarkan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang No. 4 Tahun 1975 jo. Undang-Undang No. 15 Tahun 1969, tentang pemilu, yang dikatakan dewasa untuk melakukan hak pilih mereka dalam pemilihan umum adalah orang telah mencapai umur genap 17 tahun.
6.      Berdasarkan Pasal 145 ayat (1) No. 3, Pasal 145 ayat (4), Pasal 172 KUH Perdata, ditentukan bahwa seseorang dapat didengar sebagai saksi di pengadilan adalah orang yang telah mencapai umur 15 tahun.
7.      Perlu ditambahkan menurut Pasal 47 ayat (1) undang-Undang No.1 Tahun 1974 anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melakukan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Ayat (2) pasal tersebut menentukan bahwa orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.
Mengenai orang yang tidak sehat pikirannya (gila) atau sakit berubah akal dinyatakan tidak cakap atau tidak mampu bertindak sendiri untuk melaksanakan hak dan kewajiban.Oleh karena itu ia harus diwakili oleh pengampu (curator). Bagi pemboros dan pemabuk yang di bawah pengampuan, ketidakcakapan mereka bertindak dalam melaksanakan hak dan kewajiban terbatas hanya pada perbuatan hukum dalam bidang lapangan hukum harta kekayaan. Bagi perempuan dalam perkawinan, khususnya yang tunduk dalam KUH Perdata (BW), dianggap tidak cakap bertindak melaksanakan hak dan kewajiban sendiri tanpa izin atau bantuan suaminya (Pasal 110 KUH Perdata).                      
Meskipun orang-orang yang digolongkan ke dalam golongan yang tidak cakap itu masih sebagai pendukung hak dan kewajiban, tetapi ia tidak dapat menjelaskan hak dan kewajibannya sendiri. Mereka harus diwakili oleh wakil yang ditentukan oleh undang-undang atau wakil yang ditunjuk oleh hakim. Setiap wakil yang ditunjuk itu akan mengurus kepentingan orang yang diwakilinya.
Disamping manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban, terdapat pula badan hukum yang diberi status sebagai pendukung hak dan kewajiban seperti manusia. Badan hukum adalah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa (yang bukan manusia) yang dapat melakukan perbuatan seperti manusia.[6] Misalnya dapat melakukan persetujuan, memiliki harta kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan para anggotanya (koperasi). Hak dan kewajiban badan hukum itu sama sekali terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya.
Badan hukum juga dapat berperan sebagai penggugat dan tergugat seperti halnya manusia. Perbedaan dengan manusia, bahwa badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat dihukum penjara, apabila terjadi pelanggaran hanya berupa hukuman denda. Dalam melaksanakan hak dan kewajiban, badan hukum bertindak dengan perantara pengurusnya, walaupun pengurus dari badan hukum itu selalu dapat berganti-ganti, namun badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban tetap ada.
Untuk mengetahui hakikat badan hukum, dalam ilmu pengetahuan hukum timbul bermacam-macam teori tentang badan hukum yang satu sama lain berbeda-beda. Berikut ini hanya dikemukakan 5 (lima) macam teori yang sering dikutip oleh penulis-penulis hukum:[7]
1.      Teori Fictie
Menurut teoi ini  badan hukum semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fictie, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Teori ini dikemukakan oleh Von Savigny, dan diikuti juga oleh Houwing.
2.      Teori Harta Kekayaan bertujuan (Doel Vermogenstheorie)
Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. Namun kata teori ini, ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekeyaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang mempunyainya dan terikat pada tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum. Teori ini diajarkan oleh A. Brinz dan diikuti oleh Van Der Heijden.
3.      Teori Organ dari Otto’van Gierke
Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubjek. Tetapi badan hukum adalah suatu organesme yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada padanya (pengurus, anggota-anggotanya), seperti manusia biasa yang mempunyai pancaindera dan sebagainya. Pengikut teori organ ini antara lain Polano.
4.      Teori Propriete Collectief
Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraaf. Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama-sama anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis saja. Star Busmann dan Kranenburg adalah pengikut-pengikut ajaran ini.
5.    Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteitsleer)
Dikatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realiteit, konkret, riil, walaupun tidak bisa diraba, bukan khayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukakan oleh Mejers ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja. Meskipun teori-teori tentang badan hukum tersebut berbeda-beda dalam memahami hakikat badan hukum, namun teori-teori itu sependapat, bahwa badan-badan hukum dapat berkecimpung dalam pergaulan hukum dimasyarakat, meskipun dengan beberapa pengecualian.
b.1 Pembagian badan Hukum
     Menurut Pasal 1653 BW, badan hukum dapat dibagi atas 3 (tiga) macam, yaitu:
a)      Badan hukum yang “diadakan” oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II/Kotamadya, Bank-bank yang didirikan oleh negara dan sebagainya.
b)      Badan hukum yang “diakui” oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan sebagainya.
c)      Badan hukum yang “didirikan” untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, seperti perseroan terbatas, perkumpulan asuransi, perkapalan, dan lain sebagainya.
Kalau badan hukum itu dilihat dari segi wujudnya maka dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu:
a)      Korporasi (corporatie) adalah gabungan (kumpulan) orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai subjek hukum tersendiri. Karena itu badan hukum ini merupakan badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya. Misalnya: perseroan terbatas. Indonesische Maatschappij op aandelen (IMA) dan lain sebagainya.
b)      Stichting (yayasan) adalah harta kekayaan yang tersendirikan untuk tujuan tertentu. Jadi yayasan tidak ada anggota, yang ada hanyalah pengurusnya, yang melakukan segala kegiatan untuk mencapai tujuannya.
Badan hukum di Indonesia dibedakan atas 2 (dua) jenis, yakni:
a)      Badan hukum publik, misalnya: Negara Republik Indonesia, Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, Bank-Bank Negara, dan sebagainya.
b)      Badan hukum privat, misalnya: perseroan terbatas, koperasi, yayasan, perkumpulan perkapalan, asuransi, Indonesische Maatschappij op aandelen dan sebagainya     
Di Indonesia kriteria yang dipakai untuk menentukan sesuatu badan hukum termasuk badan hukum publik atau termasuk badan hukum privat ada 2 (dua) macam:
a)       Berdasarkan terjadinya, yakni badan hukum privat yang didirikan oleh perseorangan, sedangkan badan hukum publik didirikan oleh pemerintah/negara
b)      Berdasarkan lapangan kerjanya, yakni apakah lapangan pekerjaan itu untuk kepentingan umum atau tidak. Kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum publik. Tetapi kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan, maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat.[8]
b.2  Pengaturan Badan Hukum
            BW tidak mengatur secara lengkap dan sempurna tentang badan hukum. Dalam BW ketentuan tentang badan hukum hany termuat pada buku III titel IX Pasal 1653 sampai dengan 1665 dengan istilah “ Van Zedelijkelichamen” yang dipandang sebagai perjanjian, karena itu kemudian diatur dalam buku III tentang perikatan. Hal ini menimbulkan keberatan para ahli karena badan hukum adalah persoon, maka seharusnya dimasukkan dalam buku I tentang orang (Van Personen).
            Peraturan-peratuan lain yang mengatur tentang badan hukum ini antara lain termuat dalam Stb. 1870 No. 64 tentang pengakuan badan hukum; Stb. 1927 No. 156 tentang gereja dan organisasi-organisasi agama; Stb. 1939 No. 570 jo. 717 tentang badan hukum Indonesia; Stb. 1939 No. 59 jo.717 tentang Indonesische Maatschappij op aandelen; Wvk (Wetboek van Koophandel) tentang perseroan terbatas, perseroan perkapalan dan perkumpulan asuransi; Undang-Undang No. 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian yang mengatur tentang badan hukum koperasi, dan lain-lain. Sedangkan yayasan tidak diatur dalam undang-undang tetapi diatur dalam kebiasaan dan yurisprudensi.     
b.3 Syarat-Syarat Badan Hukum
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai badan hukum (rechtspersoon). Menurut doktrin syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
a.     Adanya harta kekayaan yang terpisah                                                      
Adanya harta kekayaan ini dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai apa yang menjadi tujuan badan hukum yang bersangkutan. Harta kekayaan badan hukum ini berasal dari pemasukan-pemasukan anggota- anggotanya yang terpisah dari harta kekayaan pribadi anggota-anggotanya.
b.   Mempunyai Tujuan Tertentu
Tujuan tertentu dapat berupa tujuan idiil maupun tujuan komersiil. Tujuan ini bukan merupakan tujuan untuk kepentingan satu atau beberapa anggota tetapi merupakan tujuan bersama-sama yang lazimnya dirumuskan dengan jelas dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
a.         Mempunyai Kepentingan Sendiri
Dalam melakukan tujuannya badan hukum mempunyai kepentingan sendiri yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan –kepentingan tersebut merupakan hak-hak subjektif sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa hukum. Oleh karena itu badan hukum mempunyai kepentingan sendiri, dan dapat menuntut serta mempertahankannya terhadap pihak ketiga dalam pergaulan hukumnya. Kepentingan sendiri dari badan hukum ini harus stabil, artinya tidak terikat pada suatu waktu yang pendek, tetapi untuk jangka waktu yang panjang.
b.         Ada Organisasi Yang Teratur
        Badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Karena itu sebagai subjek hukum  disamping manusia, badan hukum hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan organnya. Tentang bagaimana tata cara badan hukum yang terdiri dari manusia itu bertindak, bagaimana organ badan hukum itu dipilih, diganti dan sebagainya, diatau dalam anggaran dasar dan peraturan-peraturan lain atau keputusan rapat anggota.
            Pada akhirnya yang menentukan suatu badan/perkumpulan/himpunan sebagai badan hukum atau tidak, adalah hukum positif yakni hukum yang berlaku pada suatu negara tertentu. Misalnya di Prancis dan belgia, hukum positifnya mengakui perseroan firma sebagai badan hukum.Sedangkan di Indonesia, hukum positifnya tidak mengakui sebagai badan hukum. Demikian juga dengan perseroan komanditer (CV), tidak diakui sebagai badan hukum, meskipun dalam masyarakat sering disangka sebagai rechtspersoon. Syarat mutlak untuk diakui sebagai badan hukum, himpunan/perkumpulan/badan usaha itu harus mendapat “pengesahan” dari Pemerintah c.q Menteri Kehakiman (d/h Gubernur Jenderal Pasal 1 Stb.1870 No. 64)[9] 
b.4  Perbuatan Badan Hukum
            Badan hukum adalah merupakan subjek hukum yang tidak berjiwa, oleh karena itu dalam melakukan perbuatannya diwakili oleh orang-orang/ manusia biasa. Namun orang-orang ini bertindak bukan atas namanya sendiri, tetapi untuk dan atas nama badan hukum.Orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama badan hukum ini dinamakan “organ” (alat perlengkapan seperti pengurus, direksi, dan sebagainya).
Organ dari badan hukum ini tidak dapat berbuat sewenang-wenang semua telah diatur dalam anggaran dasar badan hukum tersebut dan peraturan –peraturan lainnya. Tindakan organ badan hukum yang melampui batas yang telah ditentukan tidak menjadi tanggung jawab badan hukum tetapi menjadi tanggung jawab pribadi. Terkecuali tindakan yang melampui batas tersebut menguntungkan badan hukum atau organ yang lebih tinggi kedudukannya kemudian menyetujui tindakan itu. Dan persetujuan organ yang lebih tinggi ini harus masih dalam batas-batas kompetensinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang termasuk dalam Pasal 1656 BW yang menyatakan:
              “ Segala perbuatan, untuk mana pengurusnya tidak berkuasa melakukannya, hanyalah mengikat perkumpulan sekedar perkumpulan itu sungguh-sungguh telah mendapat manfaat karenanya atau sekedar perbuatan-perbuatan itu terkemudian telah disetujui secara sah.”

Kemudian Pasal 45 WVK menyatakan:
1.      Tanggung jawab para pengurus adalah tak lebih daripada untuk menunaikan tugas yang diberikan kepada mereka dengan sebaik-baiknya; merekapun karena segala perikatan dari perseroan, dengan diri sendiri tidak terikat kepada pihak ketiga
2.      Sementara itu, apabila mereka melanggar sesuatu ketentuan dalam akta, atau tentang perubahan yang kemudian diadakannya mengenai syarat-syarat pendirian, maka, atas kerugian yang karenanya telah diderita oleh pihak ketiga, mereka itupun masing-masing dengan diri sendiri bertanggung jawab untuk seluruhnya.  

Jadi jelas, apabila organ bertindak diluar wewenangnya maka badan hukum tidak bertanggung jawab, tetapi organ lah yang secara pribadi bertanggung jawab terhadap pihak ketiga yang dirugikan. Lain halnya apabila organ bertindak berada dalam wewenang yang diberikan kepadanya, meskipun terjadi kesalahan yang dapat diketegorikan sebagai perbuatan melanggar hukum (“onrechtsmatige daad”). Badan hukum tetap bertanggung jawab menurut pasal 1365 BW. Demikian pendapat sebagian besar ahli-ahli hukum seperti Paul Scholten.[10]         
d.      Lembaga Hukum
Lembaga hukum (rechtsinstituut) adalah himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengandung beberapa persamaan atau bertujuan mencapai suatu objek yang sama. Misalnya lembaga hukum perkawinan, dikatakan lembaga hukum perkawinan karena merupakan himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur mengenai perkawinan.
Dengan demikian dalam hukum positif terdapat banyak sekali lembaga-lembaga hukum, seperti lembaga hukum jual beli (Pasal 1457 sampai dengan 1540 BW), tukar menukar (Pasal 1541 sampai dengan 1546 BW), sewa menyewa (Pasal 1548 sampai dengan pasal 1600 BW) dan sebagainya.
Lembaga-lembaga hukum tersebut mempunyai hubungan satu sama lain. Lembaga-lembaga hukum yang mempunyai persamaan, bersama-sama merupakan suatu “lapangan hukum” (rechtsveld). Dengan demikian semua lembaga hukum Eropa bersama- sama merupakan merupakan satu lapangan hukum yang disebut “Hukum Eropa”, semua lembaga hukum adat Indonesia bersama-sama merupakan satu lapangan hukum yang dinamakan “ hukum Adat Indonesia”. Antara lapangan hukum Eropa dan lapangan hukum Adat Indonesia memang mempunyai perbedaan yang prinsipil, akan tetapi juga ada persamaannya.[11] 
e. Objek Hukum
Objek hukum ialah segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum (manusia dan badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok (objek) suatu hubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek hukum. Biasanya Objek hukum  disebut “ Benda”. Pengertian benda (Zaak) secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau menjadi objek hak milik (Pasal 499 BW).
Dalam sistem hukum perdata Barat (BW) yang berlaku di Indonesia, pengertian benda (zaak) sebagai objek hukum tidak hanya meliputi “benda yang berwujud” yang dapat ditangkap dengan panca indera, akan tetapi juga “benda tidak berwujud”.
Menurut sistem hukum perdata barat, sebagaimana diatur dalam BW, benda dapat dibeda-bedakan sebagai berikut:
1.      Benda tidak bergerak
Benda tidak bergerak (lihat pasal 506, 507, dan 508 BW), ada tiga golongan benda tidak bergerak, yaitu:
a.       Benda menurut “sifatnya” tidak bergerak, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam:
1.      Tanah
2.      Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena tumbuh dan berakar serta bercabang (seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang belum dipetik dan sebagainya)
3.      Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan diatas tanah yaitu karena tertanam dan terpaku.
b.      benda menurut “tujuan pemakaiannya”
1.      Pada pabrik, segala macam mesin-mesin, ketel-ketel, dan alat-alat lain yang terus-menerus berada disatu tempat untuk dipergunakan dalam menjalankan pabrik
2.      Pada suatu perkebunan, segala sesuatu yang dipergunakan sebagai pupuk bagi tanah, ikan dalam kolam dan lain-lain.
3.      Pada rumah kediaman, segala kaca, tulisan-tulisan, dan lain-lain serta alat-alat untuk menggantungkan barang-barang itu sebagai bagian dari dinding.
4.      Barang-barang reruntuhan dari suatu bangunan, apabila dimaksudkan untuk dipakai mendirikan lagi bangunan.
c.       Benda menurut “penetapan undang-undang ‘ sebagai benda tidak bergerak
1.      Hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tidak bergerak
2.      Kapal-kapal yang berukuran 20 meter kubik keatas. 
2.  Benda Bergerak (Pasal 509, 510, dan 511 BW)
     Ada dua golongan benda bergerak, yaitu:
a.       benda menurut “sifatnya” bergerak dalam arti benda itu dapat berpindah atau dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain, misalnya sepeda, meja, kursi, alat-alat tulis, dan sebagainya.
b.      Benda menurut “penetapan undang-undang” sebagai benda bergerak ialah segala hak atas benda-benda bergerak, misalnya hak atas bunga yang harus dibayar selama hidup seseorang, hak menuntut dimuka pengadilan agar uang tunai atau benda-benda bergerak diserahkan kepada seseorang (penggugat), saham-saham dari perseroan dagang, dan surat-surat berharga lainnya.
Perbedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak tersebut penting, karena  adanya ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi masing-masing benda tersebut, misalnya pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut:  
a.       Mengenai hak bezit
Untuk benda bergerak (Pasal 1977 ayat 1 BW) menentukan: Barang siapa yang menguasai benda bergerak dianggaplah ia sebagai pemiliknya. Jadi bezitter dari benda bergerak adalah eigenaar dari benda bergerak itu. Untuk benda tidak bergerak tidak demikian, barang siapa yang menguasai benda tidak bergerak tidak bisa dianggap sebagai pemilik dari benda tidak bergerak itu.
b.    Mengenai pembebanan (bezwaring)
Terhadap benda bergerak harus dipergunakan lembaga jaminan gadai (pand). Sedangkan benda tidak bergerak harus dipergunakan lembaga jaminan hypotheek (Pasal 1150 dan Pasal 1162 BW)
c.       Mengenai penyerahan (levering)
Pasal 612 BW menentukan bahwa penyerahan benda bergerak dapat dilakukan dengan penyerahan nyata. Sedangkan penyerahan benda tidak bergerak, menurut Pasal 616 BW harus dilakukan dengan balik nama pada daftar umum.
d.      Mengenai daluwarsa (Verjaring)
Terhadap benda bergerak tidak dikenal daluwarsa, sebab bezit sama dengan eigendom. Sedangkan benda tidak bergerak mengenai daluwarsa. Seseorang dapat memperoleh hak milik karena lampaunya waktu 20 (dua puluh) tahun (dalam hal ada alas hak yang sah) atau 30 (tiga puluh) tahun (dalam hal tidak ada alas hak), yang disebut dengan “acquisitieve verjaring
e.       Mengenai penyitaan (beslag)
Revindicatoir beslag adalah penyitaan untuk menuntut kembalinya sesuatu benda bergerak milik pemohon  yang berada dalam kekuasaan orang lain. Revindicatoir  beslag tidak mungkin dilakukan terhadap benda tak bergerak. Executoir beslag adalah penyitaan yang dilakukan untuk melaksanakan putusan pengadilan. Apabila benda-benda bergerak dinilai harganya tidak mencukupi untuk membayar hutang debitur kepada kreditur, barulah executoir beslag dilakukan terhadap benda-benda tidak bergerak. [12]
f. Azas Hukum
1.      .G.W. Paton dalam bukunya Texbook of jurisprudence, 1969 mengatakan azas adalah A principle of the broad reason, which lies at the base of a rule of law (suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum).
Dengan kata lain azas hukum adalah suatu alam pikiran yang melatarbelakangi   pembentukan norma hukum.
2.      The Liang Gie, mengatakan azas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara khusus mengenai pelaksanaannya.
            Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa azas hukum hanya merupakan cita-cita suatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir untuk mencipta norma hukum. Agar supaya azas hukum berlaku dalam praktek, maka isi azas hukum harus dibentuk yang lebih konkret. Misalnya:
 1.  Azas Praduga Tak Bersalah(Presumption Of Innocence), dituangkan kedalam Pasal 8 UU No. 14 Tahun 1970:
    Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan didepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.     
 2.  Azas Legalitas (nullum delictum mulla poena sine praevia lege poenali) sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.
     Contoh azas tersebut merupakan perlindungan bagi kemerdekaan diri pribadi dari tindakan sewenang-wenang pihak penguasa, karena seseorang tidak dapat dihukum kecuali undang-undang mengatur lebih dahulu.
 3.  Azas setiap janji mengikat(Pacta Sunt Servanda)
     Azas Kebebasan Berkontrak(Contract Vrijheid)
     Azas Etikat Baik (Te Goede Trouw)
     Ketiga azas ini dituangkan kedalam Pasal 1338 KUHPerdata.
            Azas hukum yang telah dirumuskan dalam bentuk peraturan hukum, maka ia sudah dapat diterapkan secara langsung pada peristiwanya. Sedangkan azas hukum yang belum konkret (belum dituangkan dalam norma hukum) maka belum dapat digunakan secara langsung dalam suatu peristiwa.
            Jadi dapat disimpulkan bahwa azas hukum bukanlah kaidah hukum konkret, melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkret yang bersifat umum dan abstrak.[13]
g. Peristiwa Hukum
Peristiwa hukum atau kejadian hukum (rechtsfeit) adalah peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang membawa akibat yang diatur oleh hukum. Dengan kata lain peristiwa hukum adalah peristiwa-peristiwa dalam masyarakat yang akibatnya diatur oleh hukum. Jadi peristiwa apasaja dalam masyarakat yang membawa akibat yang diatur oleh hukum dinamakan peristiwa hukum
Kapan suatu peristiwa dapat dikatakan peristiwa hukum?Suatu peristiwa dapat dikatakan peristiwa hukum, jika terdapat norma hukum yang mengatur akibat peristiwa itu. Menurut Sudiman Kartohadiprodjo[14] mengatakan Suatu peristiwa merupakan peristiwa hukum karena terdapat norma hukum yang memberi akibat hukum terhadap peristiwa itu. Dengan demikian yang menjadi tolok ukur apakah suatu peristiwa adalah peristiwa hukum atau tidak ialah norma hukum.
            Peristiwa hukum ada dua macam, yaitu: “peristiwa yang merupakan perbuatan subyek hukum” dan “peristiwa lain yang bukan perbuatan subjek hukum”. Kemudian “perbuatan subjek hukum “ dibagi lagi menjadi dua macam yaitu “perbuatan hukum” dan “perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum”. “Perbuatan hukum” adalah setiap perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, dan akibatnya dianggap  “dikehendaki” oleh yang melakukan perbuatan itu. “Kehendak” dari yang melakukan perbuatan itu merupakan unsur yang esensiil dari perbuatan hukum. Suatu perbuatan  yang akibatnya tidak dikehendaki oleh yang melakukannya bukan dinamakan perbuatan hukum. Perbuatan hukum itu sendiri dibagi menjadi dua macam yaitu perbuatan hukum yang bersegi satu dan perbuatan hukum yang bersegi dua. Perbuatan hukum yang bersegi satu adalah perbuatan yang akibatnya dikehendaki oleh satu pihak saja. Seperti membuat wasiat (testamen), menghibahkan sesuatu barang, mendirikan yayasan (stichtingshandeling) dan lain sebagainya. Sedangkan perbuatan hukum bersegi dua adalah perbuatan yang akibatnya dikehendaki oleh dua pihak atau lebih. Dan setiap perbuatan hukum yang bersegi dua adalah suatu perjanjian.
            Perbuatan lain yang bukan perbuatan hukum juga ada dua macam, yaitu ‘perbuatan yang sesuai dengan asas-asas hukum” misalnya apa yang disebut ‘zaakwarneming” yaitu suatu perbuatan dimana seseorang dengan sukarela dan tanpa mendapat perintah, mengurus kepentingan orang lain, dengan atau tanpa sepengetahuan orang ini (Pasal 1354 BW) dan “perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum (perbuatan melanggar hukum-“onrechtmatige daad”) yang diatur dalam Pasal 1365 BW yang menyatakan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
            Peristiwa hukum yang bukan merupakan perbuatan subjek hukum yaitu peristiwa kelahiran, kematian, daluwarsa (lewat waktu). Peristiwa kelahiran langsung menimbulkan hak anak yang dilahirkan untuk mendapat pemeliharaan dari orang tuanya dan menimbulkan kewajiban bagi orang tuanya untuk memelihara anaknya itu. Kematian juga merupakan peristiwa hukum karena dengan adanya kematian seseorang menimbulkan hak dan kewajiban para ahli warisnya. Kemudian daluwarsa (lewat waktu) dapat mengakibatkan seseorang memperoleh sesuatu hak (acquisitieve verjaring) atau dibebaskan dari suatu tanggung jawab (extincitieve verjaring)setelah habis masa tertentu dan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dipenuhi.
Perbuatan hukum yang bersegi satu
 
Perbuatan hukum
 
Skema Peristiwa Hukum[15]:



Text Box: Peristiwa lain yang bukan perbuatan subjek hukum
 










 


 


h.   Hubungan Hukum Dan Hak

             Hubungan hukum (rechtsverhouding/rechtsbetrekking) adalah hubungan yang terjadi dalam masyarakat, baik antara subjek dengan subjek hukum maupun antara subjek hukum dengan benda, yang diatur oleh hukum dan menimbulkan akibat hukum yakni hak dan kewajiban. Misalnya A menjual baju kepada B. Perjanjian jual beli antara A dan B ini menimbulkan hubungan yang diatur oleh hukum (Pasal 1457-1540 BW dan hukum adat). Karena adanya hubungan tersebut, maka A wajib menyerahkan baju kepada B dan ia berhak meminta pembayaran harga baju kepada B. Sebaliknya B berkewajiban membayar harga baju kepada A dan ia berhak meminta baju kepada A. Hubungan antara A ban B yang diatur oleh hukum diatas dinamalan hubungan hukum. Dan setiap hubungan hukum mempunyai 2 (dua) segi yaitu “kekuasaan” dan lawannya “kewajiban”. Kekuasaan yang oleh hukum diberikan kepada seseorang (badan hukum) karena perhubungan hukumnya dengan seseorang (badan hukum) lain biasanya diberi nama “hak”
            Hak dapat dibagi menjadi dua, yaitu hak mutlak (absolut) dan hak relatif (nisbi). Hak mutlak (absolut) adalah setiap kekuasaan mutlak yang oleh hukum diberikan kepada subjek hukum untuk berbuat sesuatu atau untuk  bertindak buat kepentingannya. Dikatakan mutlak karena berlaku terhadap setiap subjek hukum yang lain, yang semuanya harus menghormati kekuasaan tersebut.

            Hak relatif (nisbi) adalah setiap kekuasaan yang oleh hukum diberikan kepada subjek hukum untuk menuntut subjek hukum lain tertentu supaya berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu, atau memberi sesuatu. Dikatakan relatif karena hak ini hanya dapat dilakukan terhadap subjek hukum tertentu saja.

Hak mutlak terbagi dalam tiga golongan, yaitu:
1.      Hak asasi manusia, yaitu hak yang diberikan oleh hukum kepada setiap manusia. Hak asasi manusia ini tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan dalam sidang umum PBB tanggal 10 Desember 1948. Dalam UUD 1945 dicantumkan dalam Pasal 28 dan 29, yang antara lain menyebutkan adanya hak berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lesan dan tulisan, beragama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
2.      Hak publik absolut, misalnya hak suatu bangsa untuk merdeka dan berdaulat.
3.      Sebagian dari hak privat, yang terdiri atas:
a.       Hak pribadi manusia, yaitu hak yang oleh hukum diberikan kepada manusia atas dirinya sendiri, yang terdiri dari hak atas keselamatan jiwa, hak atas keselamatan badan, hak atas keselamatan kehormatannya.
b.      Hak keluarga, yaitu hak yang timbul karena perhubungan antara anggota keluarga satu dengan yang lain. Misalnya hak perwalian, hak (kekuasaan ) orang tua terhadap anak, hak suami istri antara yang satu terhadap yang lain.
c.       Hak-hak mengenai harta kekayaan, baik hak kebendaan materiil (seperti hak milik) maupun hak kebendaan immateriil (seperti hak cipta, hak oktroi, hak merek).
Hak relatif juga terbagi dalam tiga golongan, yaitu:
1.      Hak publik relatif. Misalnya hak negara untuk menghukum pelanggar undang-undang, hak negara untuk memungut pajak dan cukai, hak negara untuk menyita dan sebagainya. Hak-hak ini hanya bisa dijalankan negara terhadap orang-orang tertentu saja.
2.      Hak keluarga relatif, misalnya hak suami istri untuk tolong menolong, bantu membantu, mendidik dan memelihara anak dan sebagainya.
3.      Hak kekayaan relatif adalah semua hak kekayaan yang bukan hak kebendaan. Hak kekayaan relatif ini berbeda dengan hak kekayaan absolut. Hak kekayaan absolut dapatdijalankan pada setiap orang, akan tetapi hak kekayaan relatif hanya dapat dijalankan kepada orang tertentu saja. Lazimnya hak kekayaan relatif ini disebut “perhutangan” atau “perikatan” yang dalam bahasa belanda disebut “Verbintenis”. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas suatu prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi. Apa yang disebut dengan “hak kekayaan relatif” tidak lain adalah “hak perseorangan” yang diatur dalam rangkaian buku III BW, dan “hak kekayaan absolut” adalah kebendaan yang diatur dalam rangkaian pasal-pasal buku II BW.
Hak dapat diskemakan sebagai berikut[16]:


























Hak
 

 












 

 

 

 





























[1] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 30.
[2]  Kusumadi Pudjosewojo, Pedomen Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1976).49.
[3] Marhainis Abdul Hay, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), 20.
[4] Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar, 1957), 241.
[5] Chainur Arrajid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 121.
                [6] Ibid.,124. 
[7] Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung, Alumni, 1976), 29-33.
[8] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999), 149-150. 
[9] Ibid. 152-153. 
[10] Ghidir Ali, Badan Hukum….,32. 
[11] Utrecht, Pengantar…….,204. 
[12] Riduan Syahrani, Rangkuman……., 155-162.
[13] Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar….., 36-39. 
[14] Riduan Syahrani, Rangkuman……., 179-184.
[15] Ibid., 184.
[16] Ibid., 190.

No comments:

Post a Comment