Friday, February 14, 2014

PENEMUAN HUKUM DAN INTERPRETASI HUKUM



PENEMUAN HUKUM DAN INTERPRETASI HUKUM

a. Pembentukan Hukum Oleh Hakim
     Sumber hukum secara garis besar dapat ditinjau dari segi materiil maupun formal. Oleh karena itu, dalam hukum ada hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hal itu berarti bahwa disamping ketentuan perundng-undangan, dikenal juga ketentuan-ketentuan berupa adat istiadat dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat, sebagai pengatur tingkah laku dalam pergaulan hidup sehari-hari.
     Secara formal yang manjadi sumber hukum bagi seorang hakim pada hakikatnya adalah segala peristiwa bagaimana timbulnya hukum yang berlaku. Atau dengan kata lain dari mana peraturan-peraturan yang dapat mengikat para hakim dan penduduk warga masyarakat, yaitu semata-mata hanya mengingat dan melihat cara dan bentuk terjadinya hukum yang berlaku secara positif dengan tidak menanyakan dari mana asal usul isi peraturan tersebut. Secara materiil isi dari peraturan hukum tersebut timbul dari kesadaran hukum suatu bangsa. Tetapi kesadaran hukum suatu bangsa berupa pandangan-pandangan hidup tidak begitu saja dapat merupakan hukum yang berlaku secara positif. Agar dapat merupakan peraturan hukum yang berlaku secara positif maka pandangan hidup terlebih dahulu harus dituangkan dalam bentuk-bentuk tertentu. Misalnya dalam bentuk pola garis tingkah laku yang tetap yaitu kebiasaan yang konstan dalam waktu lama (longaconsuetudo) dan bagi yang melakukannya pada umumnya menimbulkan kesadaran bahwa mereka sudah semestinya melakukan tindakan itu berdasarkan keyakinan untuk memenuhi kewajiban hukum (opinionecessitatis). Untuk memeperhatikan kebiasaan tersebut agar menjadi hukum kebiasaan yang berlaku secara positif maka dalam suatu negara perlu adanya campur tangan pemerintah dalam hal penyelenggaraan terhadap norma kebiasaan tersebut. Di samping itu juga memerlukan pengakuan dari hakim dan para administrator negara atau pejabat lainnya yang tidak termasuk dalam lingkukangan badan perundang-undangan.
     Berdasarkan Pasal 22 Algemene bepalingen van Wetgeving voor Indonesia dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang menegaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan menggali suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Ketentuan itu menentukan fungsi hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum sedangkan pencari keadilan datang padanya untuk memohon keadilan. Andaikata tidak menemukan hukum tertulis maka, hakim wajib menggali hukum tidak tertulis untuk merumuskan kebijaksanaan sebagai seorang yang bijaksana dan bertangggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.
     Ketentuan tersebut membuktikan bahwa tugas hakim sebagai penegak hukum dan keadilan bukan saja mengadili berdasarkan hukum-hukum yang ada, tetapi lebih mendalam lagi mencari, dan menemukan untuk kemudian menuangkan dalam keputusannya, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Sebagai konsekuensinya hakim bertanggung jawab tidak hanya menerapkan hukum tertulis saja tetapi juga harus dapat menciptakan hukum atau menemukan hukum berdasarkan pandangan dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Kewajiban itu telah dipertegas dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, yang menegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, hakim dapat merupakan perumus, penggali, nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat.
     Keputusan hakim yang diambil berdasarkan hukum yang ditemuinya merupakan sumber hukum yang formal (yurisprudensi). Berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan di atas, pekerjaan hakim disamping sebagai penegak hukum dan keadilan, juga ebagai factor pembentukan hukum.
     Pada hakikatnya seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan-peraturan tidak menyebutkan sesuatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi atau yang sedang diadili. Dengan perkataan lain bahwa hakim harus dapat menyesuaikan ketentuan undang-undang dangan hal-hal yang konkret di dalam masyarakat, karena ketentuan undang-undang tidaklah dapat mencakup segala hal peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Biasanya pembuat undang-undang hanya menetapkan peraturan umum saja (secara inabstracto), sedangkan pertimbangan tentang hal-hal yang konkret terpaksa diserahkan kepada hakim, sehingnga nantinya keputusan hakim dapat memuat suatu hukum dalam suasana werkelijkheid (menjadi kenyataan) yang menyimpang dari hukum dalam suasana positiviteit dalam rangka penyesuaian undang-undang dengan kenyataan hukum yang berlaku dalam masyarakat (werkelijkheid). Kadangkala hakim dapaat menambah (aanvullen) undang-undang karena pada dasarnya pembuat undang-undaang senantiasa tertinggal dari peristiwa-peristiwa hukum yang baru terjadi dalam masyarakat.
Berdasarkaan kenyataan tersebut maka dalam ilmu hukum telah diterima pandaangaan bahwa hakim dapat turut serta manemukan mana yang merupakan hukum dan mana yang tidak merupakan hukum, seperti yang dikatakan oleh Prof. Mr. Paul Scholten. Mr. Paul Scholten mengatakan bahwa hakim menjalankaan undang-undang itu selalu rechsvinding (turut serta menemukan hukum).[1]














b. Hakim Bukan Pencipta Hukum
Sebagaimana yang diuraikan di atas bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, juga berfungsi sebagai penemu dan dapat menentukan mana yang merupakan hukum dan mana yang bukan. Seolah-olah hakim berkeudukan ebagai pemegang kekuasaan legislatif (badan pembentuk perundang-undangan). Walaupun hakim turut menemukan hukum dan dapat menciptakan peraturan-peraturan sendiri, dalam mengadili suatu perkara khususnya hukum tidak atau kurang jelas mengatur peristiwa hukum yang terjadi dalam perkara yang sedang diadilinya itu. Hal itu tidaklah berarti bahwa hakim dapat dikatakan sebagai pencipta undang-undang, tetapi hanya sebagai penemu kaidah hukum dalam masyarakat agar ia dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Keputusan hakim yang berdasarkan hukum yang ditemuinya sendiri itu tidak dapat berlaku sebagai peraturan umum melainkan hanya bersangkutan saja.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia bahwa hakim dapat memberikan yang akan berlaku sebagai peraturan umum. Lebih lanjut tentang kedudukan keputusan hakim itu ditegaskan lagi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Pasal 1917 ayat (1) menentukan bahwa kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan itu.
Akan tetapi para ahli hukum telah mengetahui, bahwa undang-undang tidak akan pernah lengkap dalam pengertian bahwa undang-undang itu tidak dapat memuat peraturan yang terdapat di dalam praktek. Di situlah letak peranan hakim untuk menyesuaikan peraturan undang-undang dengan kenyataan hukum yang berlaku di dalam masyarakat agar dapat mengambil suatu keputusan hukum yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan tujuan hukum tersebut. Berdasarkan kenyataan tersebut maka jelaslah bahwa hakim bukan pencipta undang-undang. Hakim hanya menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkret dalam masyarakat.[2]

c. Interpretasi (Penafsiran) Hukum
Untuk menjamin kepastian hukum harus ada kodifikasi, yaitu usah untuk membukukan peraturan-peraturan yang tertulis yang masih berserak-serak ke dalam suatu buku secara sistematis. Maksud utamanya adalah untuk meniadkan hukum berada di luar kitaab undang-undang dengan tujuan untuk mewujudkan agar dapat kepastian hukum sebanyak-banyaknya dalam masyarakat.
Sebagaimana yang telah dikatakan E. Utrecht bahwa akibat kodifikasi ialah peraturan hukum menjadi tercantum secara resmi (dipertahankan oleh pemerintah) dalam suatu system tertentu. Mengenai hukum setelah dikodifikasi tidak banyak berbeda dari isi hukum sebelum dikodifikasi. Tetapi biarpun demikian, masih ada juga akibat besar kodifikasi, yang disebabkan sistem yang menjadi dasar hukum sesudah kodifikasi. Boleh dikatakan bahwa tiap kodifikasi bermaksud mengikat semua penduduk wilayah negara. Maksud kodifikasi ialah supaya tidak ada hukum di luar sistem resmi yang menjadi tata hukum nasional.[3] Hal itu akan menimbulkan pertanyaan apakah sesudah adanya kodifikasi itu tidak mungkin timbulnya ketentuan-ketentuan hukum yang baru yang berada di luar kodifikasi? Walaupun kodifikasi telah mengatur selengkap-lengkapnya, namun tetap saja kurang sempurna dan masih banyak kekurangan-kekurangannya karena undang-undang senantiasa tertinggal dari perkembangan sosial.
Perubahan nilai-nilai social dapat menggeser nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat sehingga suatu kodifikasi yang dibuat pada suatu zaman, tidak dapat lagi meliputi seluruh kehidupan sosial di kemudian hari. Akibatnya timbul ketentuan-ketentuan hukum baru yang berada di luar kodifikasi atau terdapat perkembangan hukum yang baru di luar system resmi yang menjadi tata hukum nasional.
Dengan tidak sempurnanya kodifikasi hkum tersebut maka tidak jarang hakim melakukan penemuaan nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Di samping itu, hakim juga melakukan penafsiran-penafsiran hukum (interpretasi hukum) dalam  menyelesaikan suatu perkara yang dihadapinya, khususnya dalam hal ketentuan undang-unadanng yang memakai istilah-istilah yang tidak jelas atau yang dapat menimbulkan penafasiran yang berbeda-beda.
Dengan demikan maka terdapat keeluwesan-keluwesan hukum (rechtsleningheid) sehingga kodifikasi hukum dapat mengikuti perkembangan zaman. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan harus brusaaha memberi suatu keputusan yang seadil-adilnya, tentunya dengan mengingat ketentuan-ketentuan hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis serta nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat dan akhirnya pendapat hakim itu sendiri ikut menentukan. Untuk itu hakim diberikan kewenangan melakukan penafsiran-penafsiran hukum.[4]



















d. Beberapa Cara Penafsiran Hukum
Supaya dapat mencapai kehendak dan maksud pembuat undang-undang serta dapat menjalankan undang-undang sesuai dengan kenyataan social maka hakim dapat menggunakan beberapa cara penafsiran (interpretatie methoden) antara lain sebagai berikut.
1.          Penafsiran Undang-Undang Secara Tata Bahasa (Gramatikal)
Penafsiran undang-undang secara tata bahasa (grammatical), yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam undang-undang. Dalam hal ini hakim mencari arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum. Oleh karena itu dipergunakan kamus bahasa atau meminta bantuan dari para ahli bahasa. Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut:
Suatu perundang-undangan melarang orang memberhentikan kendaraan di suatu tempat. Peraturan tersebut tidak mengatakan apa yang dimaksud dengan kata kendaraan. Orang boleh bertanya: apakah yang dimaksud dengan kata kendaraan itu? Apakah kendaraan yang bermesin atau termasuk juga sepeda dan becak. Dalam hal ini sering penjelasan dalam kamus bahasa atau menurut keterangan para ahli bahasa belum dapat memberikan kejelasan tentang pengertian kata yang dimaksud dalam undang-undang tersebut. Oleh karena itu, hakim harus pula mempelajari kata yang bersangkutan dengan peraturan-peraturan lain. Jadi, interpretasi menurut bahasa tidaklah berarti bahwa hakim itu terikat pada bunyi kata-kata dari undang-undang, tetapi hakim juga dapat menafsirkan kata-kata itu secara logis menurut perkataan sehari-hari.
Pada hakikatnya penafsiran undang-undang menurut arti kata-kata merupakan suatu penafsiran awal yang pada akhirnya akan membimbing hakim ke arah cara penafiran yang lain. Misalnya: penafsiran secara historis, juga ke arah penafsiran secara sistematis. Alasannya karena bahasa merupakan alat utama oleh pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Maka yang paling awal dihadapi hakim senantiasa penafsiran menurut arti kata-kata dalam undang-undang. Tetapi tiap kata-kata yang dipakai pembuat undang-undang mempunyai maksud tertentu yang sesuai dengan aliran-aliran yang ada dalam masyarakat pada waktu itu. Maka dalam hal ini apa yang dimaksud oleh pembuat undang-undang ketika itu adaalah yang harus dicari oleh hakim. Di samping sejarahnya, suatu kata juga mempunyai kedudukan dalam system hukum. Sistem hukum itulah yang harus dicari oleh hakim untuk mendapatkan kejelasan akan maksud arti kata-kata yang ada dalam undang-undang tersebut.
Contoh lain dalam yurisprudensi negeri Belanda adalah sebagai berikut. Pasal 1140 KUHS memberikan hak mendahului (privilege) kepada seorang yang menyewakan rumah dengan segala barang perabot rumah yang terdapat dalam rumah sewaan itu. Hal itu berarti jika penyewa rumah menunggak (yaitu tidak membayar) uang sewa dan pada sewaktu-waktu dilakukan penyitaan atas barang-barang perabot rumah tersebut maka pemilik rumah harus dibayar terlebih dahulu dari penagih-penagih utang lainnya dari uang peendapat lelangan barang-barang tersebut untuk melunasi uang sewa yang belum dibayar. Dalam kalimat terakhir dari Pasal 1140 ditegaskan: “Tidak peduli apakah sendiri atau bukan”. Timbul pertanyaan, apakah Pasal 1140 KUHS itu juga berlaku walaupun orang yang menyewakan rumah sejak semula, yakni semenjak diadakannya perjanjian sewa-menyewa, sudah mengetahui bahwa orang itu bukan milik penyewa sendiri? Dalam kasus itu, Mahkamah Agung Balanda (Hoge Raad) dalam putusannya tanggal 7 April 1938 telah menjawab ya dengan mengambil pedoman arti perkataan-perkataan sebagaimana dipakai dalam undang-undang.[5]
2.      Penafsiran Undang-Undang Secara Sistematis (Dogmatis)
Penafsiran ini memperhatikan susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun undang –undang lainnya. Dengan penafsiran itu orang dapat memperoleh gambaran atau pandangan yang luas dan jelas tentang arti suatu perkataan dalam undang-undang seluruhnya. Jadi, penafsiran sistematis menitikberatkan paada kenyataan bahwa undang-undang tidak terlepas, tetapi akan selalu ada hubungannya antara yang satu dengan lainnya sehingga seluruh perundang-undangan itu merupakan kesatuan tertutup, yang rapi dan teratur.
Tafsiran itu mempunyai akibat. Suatu perkataan dapat diartikan secara luas (penafsiran sistematis ekstensif) atau orang memeberi arti sempit kepada suatu perkataan (penafsiran sistematis restriktif). Sebagai contoh penafsiran secara sistematis, misalnya peraturan Undang-Undang Perkawinan  yang menganut asas monogami sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 KUH Perdata. “Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan  seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.”
Asas monogami yang terdapat dalam Pasal 27 KUH Perdata tersebut menjadi dasar bagi beberapa pasal lainnya yaitu Pasal-pasal 34, 60, 64, 86 KUHS, dan 279 KUHS.[6] Isi Pasal tersebut sebagai berikut:
1.          Pasal 34
        Seorang perempuan tidak diperbolehkan kawin lagi, melainkan setelah lewat waktu 300 hari semenjak perkawinan terakhir dibubarkan.
2.          Pasal 60
        Barang siapa karena perkawinan masihlah terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak, seperti pun sekalian anak dilahirkan dari perkawinan itu, semua itu adalah berhak mencegah perkawinan baru yang akan dilangsungkan, akan tetapi hanyalah berdasar atas telah adanya perkawinan yang lama.
3.          Pasal  64
        Suami yang perkawinannya telah dibubarkan karena perceraian diperbolehkan mencegah perkawinan bekas istrinya, apabila si yang terakhir ini hendak kawin lagi sebelum lewat 300 hari semenjak pembubaran perkawinan yang dulu.
4.          Pasal 279
        Dengan cara yang sama dan menurut ketentuan-ketentuan yang sama pula seperti termuat dalam pasal-pasal yang lalu, anak-anak yang telah meninggaldunia dan meninggalkan keturunannya, boleh juga disahkan, pengesahan mana adalah demi kebahagiaan sekalian keturunan.[7]
            Menurut Utrecht[8] antara masing-masing peraturan hukum itu ada hubungan. Suatu peraturan hukum tidak berdiri sendiri. Tiap peraturan hukum mempunyai tempatnya dalam lapangan hukum. Tempat itu menjadi tempat tertentu. Inilah akibat atau konsekuensi interdependensi (saling menghubungi) masing-masing gejala sosial.
            Beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa persamaan, anasir-anasir sama atau bertujuan mencapai suatu objek yang sama, merupakan suatu himpunan peraturan-peraturan yang tertentu, yang mengenal sesuatu saling berhubungan intern (innerlijkesamenhang) antara peraturan-peraturan tersebut. Himpunan peraturan-peraturan hukum tertentu yang mengenal suatu “innerlijkesamenhang” itu menjadi suatu lembaga hukum (rechtsnistitut), misalnya, lembaga hukum mengenai perkawinan yaitu, suatu kompleks tertentu dan tetap mengenai perkawinan. 

3. Penafsiran Undang-Undang Secara Sejarah (Historis)
Penafsiran undang-undang secara historis adalah menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah terjadinya suatu undang-undang itu dibuat. Tiap ketentuan perundang-undangan mempunyai sejarah sendiri dan dengan sejarah pembentukan undang-undang itu, hakim dapat meneliti dan mempelajari maksud dari pembuatan undang-undang. Hakim juga dapat mempelajari segala pembicaraan dan perdebatan di dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat ketika undang-undang itu dalam proses pembuatan.
Penafsiran secara historis ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
a.        Penafsiran menurut sejarah hukum (rechtshistorische interpretatie).
Penafsiran menurut sejarah hukum merupakan suatu cara penafsiran hukum dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya. Penafsiran tersebut adalah penafsiran yang luas yang meliputi penafsiran menurut sejarah penetapan perundang-undangan.
b.          Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-undangan (wetshistorische interpretatie).
Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-undangan merupakan penafsiran yang sempit, yaitu dengan cara melakukan penafsiran undang-undang dengan menyelidiki perkembangannya sejak dibuat dan untuk mengetahui apa maksud ditetapkannya peraturan itu. Maksud tersebut dapat diketahui dengan jalan melihat laporan-laporan perdebatan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat dari surat-menyurat antara menteri-menteri yang bersangkutan dan komisi DPR yang bersangkutan (kenbron) dan sebagainya.[9]
Penafsiran undang-undang menurut sejarah hukum dapat dilakukan oleh hakim dengan jalan menyelidiki asal usul peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Caranya ialah dengan melihat dari suatu system hukum yang dahulu pernah berlaku yang sekarang tidak berlaku lagi. Atau dengan melihat asal peraturan itu, apakah dari suatu system hukum lain yang sekarang masih berlaku di negara lain. Misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikodifiksikan di Indonesia pada tahun 1848, menurut sejarahnya berasal dari kodofikasi Burgerlijk wetboek di negeri Belanda pada tahun 1838 yang sejarahnya berasal dari Code Civil Prancis atau disebut juga Code napoleon.
Penafsiran undang-undang menurut sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan dapat dilakukan oleh hakim dengan jalan menyelidiki sejarah peratuaran yang bersangkutan yaitu melihat asas-asas hukum yang terkandunng dalam peraturan tersebut sebelum penetapannya dalam undang-undang yang berlaku sekarang. Misalnya apabila hakim hendak mengetahui arti dari beberapa pasal KUH Perdata tertentu maka hakim harus mencari system apa yang dekehendaki oleh pembuat undang-undang dengan melihat perbandingan antara beberapa ketentuan perundang-undangan yang diduga mengandung kesamaan. Kesamaan yang dekehendaki oleh undang-undang itulah yang merupakan asas hukum yang menjadi dasar peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Contohnya perbandingan antara Pasal-pasal 27, 34, 60, 86 KUHS , dan 279 KUHS. Berdasarkan penyelidikan sejarah, penetapan ketentuan pasal-pasal tersebut dapat diketahui hakim. Pengertiannya yang jelas dari ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut dengan berdasarkan asas hukum yang terkandung di dalamnya dan menyesuaikannya denagn ketentuan undang-undang yanag berlaku sekarang.
4. Penafsiran Undang-Undang Secara Sosiologis (Teleologis)
Pada hakikatnya suatu penafsiran undang-undang yang dimulai dengan cara gramatikal atau tata bahasa selalu harus diakhiri dengan penafsiran secara sosiologis. Kalau tidak demikian maka tidak mungkin hakim dapat membuat suatu keputusan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan hukum di dalam masyarakat. Bahasa maupun kata-kata yang terdapar dalam perundang-undangan tidak selalu dengan jelas dapat menggambarkan maksud dan tujuan yang akan dicapai dari pembuat undang-undang. Hal itu dilakukan dengan jalan penafsiran baik secara tata bahasa maupun secara sosiologis.
Penafsiran secara sosiologis adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan jalan mencari maksud atau tujuan pembuatan undang-undang di dalam masyarakat.[10] Apabila suatu peraturan perundang-undangan telah ditetapkan pada waktu pola kehidupan dan aliran-aliran berlainan sekali dengan paham yang ada dalam masyarakat sekarang, itu harus dilakukan penafsiran secara sosiologis. Misalnya di Indonesia masih banyak peraturan yang berlaku yang berasal dari zaman kolonial. Maka untuk menjalankan peraturan itu hakim harus dapat menyelesaikan dengan keadaan masyarakat Indonesia pada saat sekarang.
5.      Penafsiran Undang-Undang Secara Autentik
Penafsiran undang-undang secara autentik merupakan suatu penafsiran resmi yang diberikan oleh pembuat undang-undang. Misalnya dalam Bab 9 buku 1 KUH Pidana disebutkan bahwa pembuat undang-undang telah memberikan penejelasan secara resmi atau autentik arti dari beberapa sebutan dalam KUH Pidana. Beberapa contoh diantaranya adalah yang berikut ini.
a)      Pasal 97 KUHP    : yang disebut hari adalah waktu selama dua puluh empat jam; yang disebut bulan adalah waktu tigaa puluh hari.                      
b)      Pasal 98 KUHP    : yang disebut waktu malam yaitu waktu antara matahari silam dan matahari.
c)      Pasal 99 KUHP    : yang disebut memanjat termasuk juga masuk melalui lubang yang memang sudah ada tetapi bukan untuk masuk; atau masuk melalui lubang di dalam tanah yang dengan sengaja digali; begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup.
d)     Pasal 100 KUHP  : yang disebut anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang tidak dimaksud untuk membuka kunci.
e)      Pasal 101 KUHP  : yang disebut ternak yaitu semua binatang yang berkuku satu, binatang memamah biak, dan babi.[11]
6.      Penafsiran Undang-Undang Secara Ekstensif
Penafsiran undang-undang secara ekstensif adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan ke dalam, misalnya “aliran listrik” termasuk juga atau disamakan dengan “benda”.[12]
Perluasan arti kata-kata tersebut didalam penafsiran ekstensif ini erat kaitannya dengan pasal 362 KUHPidana, yakni:
Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak 900 rupiah.[13]   
7.      Penafsiran Undang-Undang Secara Restriktif
Penafsiran undang-undang secara restriktif  adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara membatasi atau mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan undang-undang.[14] Misalnya kerugian hanya terbatas kepada kerugian materiil saja sedangkan kerugian imateril, termasuk di dalamnya.
8.      Penafsiran Undang-Undang Secara Analogis
Penafsiran undang-undang secara analogis adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara memberikan kias atau ibarat pada kata-kata yang terdapat  dalam undang-undang sesuai dengan asas hukumnya. Dengan demikan suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap atau diibaratkan sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Misalnya menyambung aliran listrik dianggap sama dengan mengambil aliran listrik.[15]
Penganalogian “menyambung” aliran listrik adalah “mengambil” aliran listrik erat kaitannya dengan pasal 362 KUHPidana yakni:
Barang siapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak 900 rupiah.
9. Penafsiran Undang-Undang Secara A Contratio
Penafsiran undang-undang secara a contrario adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Maka dengan berdasarkan perlawanan pengertian itu dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu tidak diliputi oleh undang-undang yang dimaksud atau berada di luar ketentuan undang-undang tersebut.[16]
Contoh: Pasal 34 KUH Perdata menetukan bahwa seorang perempuan tidak dibenarkan menkah lagi sebelum lewat tenggang waktu 300 hari setelah perceraian dari suami pertama. Berdasarkan suatu penafsiran a contrario maka dapat dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki. Karena bagi seorang laki-laki tidak perlu menunggu tenggang waktu tersebut untuk melakukan perkawinan lagi setelah putusnya perkawinan pertama. Maksud tenggang waktu dalam pasal 34 KUH Perdata tersebut adalah untuk mencegah adanya keragu-raguan mengenai kedudukan anak, berhubung dengan kemungkinan bahwa seorang sedang mengandung setelah perkawinannya putus atau bercerai. Jika anak itu dilahirkan setelah perkawinan yang berikutnya dalam tenggang waktu sebelum lewat 300 hari setelah putusnya perkawinan pertama maka berdasarkan undang-undang kedudukan anak tersebut adalah anak dari suami pertama.

























e. Menghaluskan Hukum (Rechtsverfijning)
Kadang kala peraturan perundang-undangan mempunyai cakupan ruang lingkup yang terlalu umum atau sangat luas. Itulah sebabnya perlu dilakukan penghalusan hukum agar dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dalam penghalusan hukum (rectsverfijning) dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat umum. Dalam hal ini peraturan yang sifatnya umum diterapkan pada peristiwa atau hubungan hukum yang khusus atau sesuai dengan kenyataan (werkelijkheid) sosial. Dengan demikian peristiwa itu dapat diselesaikan secara adil dan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut, hakim terpaksa mengeluarkan perkara yang bersangkutan dari lingkungan peraturan yang umum dan selanjutnya menyelesaikan menurut suatu peraturan yang ditemukannya sendiri. Tindakan mengeluarkan itu diberi nama menghaluskan hukum. Dengan demikian hakim telah menyempurnakan sistem hukum yang bersangkutan dengan jalan meghaluskan hukum dengan maksud untuk mengisi atau memenuhi ruangan kosong dalam sistem undang-undang. Hal itu dapat menyelesaikan perkara secara adil dan sesuai dengan werkelijkheid sosial.[17]


[1] Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), 83-85.
[2] Ibid., 86.
[3] Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ihtiar, 1961), 171.
[4] Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar……, 86-87.
[5] C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 67.  
[6] Ibid., 68.
[7] Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 133-134.
[8] Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar, 1957), 205.
[9] Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar…..,90-92.
[10] Ibid.
[11] Ibid., 93.
[12] C.S.T. Kansil, Pengantar….., 68.
[13] Sudarsono, Pengantar……, 136.
[14] C.S.T. Kansil, Pengantar….., 68. 
[15] Ibid.
[16] Ibid., 69.
[17] Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar…., 94-95.

1 comment: