PENEMUAN HUKUM DAN INTERPRETASI HUKUM
a.
Pembentukan Hukum Oleh Hakim
Sumber hukum
secara garis besar dapat ditinjau dari segi materiil maupun formal. Oleh karena
itu, dalam hukum ada hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hal itu berarti
bahwa disamping ketentuan perundng-undangan, dikenal juga ketentuan-ketentuan
berupa adat istiadat dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat, sebagai pengatur
tingkah laku dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Secara formal
yang manjadi sumber hukum bagi seorang hakim pada hakikatnya adalah segala
peristiwa bagaimana timbulnya hukum yang berlaku. Atau dengan kata lain dari
mana peraturan-peraturan yang dapat mengikat para hakim dan penduduk warga
masyarakat, yaitu semata-mata hanya mengingat dan melihat cara dan bentuk
terjadinya hukum yang berlaku secara positif dengan tidak menanyakan dari mana
asal usul isi peraturan tersebut. Secara materiil isi dari peraturan hukum
tersebut timbul dari kesadaran hukum suatu bangsa. Tetapi kesadaran hukum suatu
bangsa berupa pandangan-pandangan hidup tidak begitu saja dapat merupakan hukum
yang berlaku secara positif. Agar dapat merupakan peraturan hukum yang berlaku
secara positif maka pandangan hidup terlebih dahulu harus dituangkan dalam
bentuk-bentuk tertentu. Misalnya dalam bentuk pola garis tingkah laku yang
tetap yaitu kebiasaan yang konstan dalam waktu lama (longaconsuetudo)
dan bagi yang melakukannya pada umumnya menimbulkan kesadaran bahwa mereka
sudah semestinya melakukan tindakan itu berdasarkan keyakinan untuk memenuhi
kewajiban hukum (opinionecessitatis). Untuk memeperhatikan kebiasaan
tersebut agar menjadi hukum kebiasaan yang berlaku secara positif maka dalam
suatu negara perlu adanya campur tangan pemerintah dalam hal penyelenggaraan
terhadap norma kebiasaan tersebut. Di samping itu juga memerlukan pengakuan
dari hakim dan para administrator negara atau pejabat lainnya yang tidak
termasuk dalam lingkukangan badan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal
22 Algemene bepalingen van Wetgeving voor Indonesia dan Pasal 14 ayat
(1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang menegaskan bahwa pengadilan tidak boleh
menolak memeriksa dan menggali suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya. Ketentuan itu menentukan fungsi hakim sebagai organ pengadilan
dianggap memahami hukum sedangkan pencari keadilan datang padanya untuk memohon
keadilan. Andaikata tidak menemukan hukum tertulis maka, hakim wajib menggali
hukum tidak tertulis untuk merumuskan kebijaksanaan sebagai seorang yang
bijaksana dan bertangggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.
Ketentuan
tersebut membuktikan bahwa tugas hakim sebagai penegak hukum dan keadilan bukan
saja mengadili berdasarkan hukum-hukum yang ada, tetapi lebih mendalam lagi
mencari, dan menemukan untuk kemudian menuangkan dalam keputusannya,
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Sebagai konsekuensinya hakim
bertanggung jawab tidak hanya menerapkan hukum tertulis saja tetapi juga harus
dapat menciptakan hukum atau menemukan hukum berdasarkan pandangan dan
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Kewajiban itu telah dipertegas
dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, yang menegaskan bahwa
hakim sebagai penegak hukum dan wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, hakim dapat
merupakan perumus, penggali, nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan
masyarakat.
Keputusan hakim
yang diambil berdasarkan hukum yang ditemuinya merupakan sumber hukum yang
formal (yurisprudensi). Berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan di
atas, pekerjaan hakim disamping sebagai penegak hukum dan keadilan, juga ebagai
factor pembentukan hukum.
Pada hakikatnya
seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan-peraturan
tidak menyebutkan sesuatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang
terjadi atau yang sedang diadili. Dengan perkataan lain bahwa hakim harus dapat
menyesuaikan ketentuan undang-undang dangan hal-hal yang konkret di dalam
masyarakat, karena ketentuan undang-undang tidaklah dapat mencakup segala hal
peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Biasanya pembuat undang-undang
hanya menetapkan peraturan umum saja (secara inabstracto), sedangkan
pertimbangan tentang hal-hal yang konkret terpaksa diserahkan kepada hakim,
sehingnga nantinya keputusan hakim dapat memuat suatu hukum dalam suasana werkelijkheid
(menjadi kenyataan) yang menyimpang dari hukum dalam suasana positiviteit
dalam rangka penyesuaian undang-undang dengan kenyataan hukum yang berlaku
dalam masyarakat (werkelijkheid). Kadangkala hakim dapaat menambah (aanvullen)
undang-undang karena pada dasarnya pembuat undang-undaang senantiasa tertinggal
dari peristiwa-peristiwa hukum yang baru terjadi dalam masyarakat.
Berdasarkaan kenyataan tersebut maka dalam ilmu hukum telah
diterima pandaangaan bahwa hakim dapat turut serta manemukan mana yang
merupakan hukum dan mana yang tidak merupakan hukum, seperti yang dikatakan
oleh Prof. Mr. Paul Scholten. Mr. Paul Scholten mengatakan bahwa hakim menjalankaan
undang-undang itu selalu rechsvinding (turut serta menemukan hukum).[1]
b. Hakim
Bukan Pencipta Hukum
Sebagaimana yang diuraikan di atas bahwa hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan, juga berfungsi sebagai penemu dan dapat menentukan mana yang
merupakan hukum dan mana yang bukan. Seolah-olah hakim berkeudukan ebagai
pemegang kekuasaan legislatif (badan pembentuk perundang-undangan). Walaupun
hakim turut menemukan hukum dan dapat menciptakan peraturan-peraturan sendiri,
dalam mengadili suatu perkara khususnya hukum tidak atau kurang jelas mengatur
peristiwa hukum yang terjadi dalam perkara yang sedang diadilinya itu. Hal itu
tidaklah berarti bahwa hakim dapat dikatakan sebagai pencipta undang-undang,
tetapi hanya sebagai penemu kaidah hukum dalam masyarakat agar ia dapat
memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Keputusan hakim yang berdasarkan hukum yang ditemuinya sendiri itu tidak dapat
berlaku sebagai peraturan umum melainkan hanya bersangkutan saja.
Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 21 Algemene Bepalingen van
Wetgeving voor Indonesia bahwa hakim dapat memberikan yang akan berlaku
sebagai peraturan umum. Lebih lanjut tentang kedudukan keputusan hakim itu
ditegaskan lagi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Pasal 1917 ayat
(1) menentukan bahwa kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal
yang diputuskan dalam keputusan itu.
Akan tetapi para ahli hukum telah mengetahui, bahwa undang-undang tidak
akan pernah lengkap dalam pengertian bahwa undang-undang itu tidak dapat memuat
peraturan yang terdapat di dalam praktek. Di situlah letak peranan hakim untuk
menyesuaikan peraturan undang-undang dengan kenyataan hukum yang berlaku di
dalam masyarakat agar dapat mengambil suatu keputusan hukum yang
sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan tujuan hukum tersebut. Berdasarkan
kenyataan tersebut maka jelaslah bahwa hakim bukan pencipta undang-undang.
Hakim hanya menyesuaikan undang-undang dengan hal-hal yang konkret dalam
masyarakat.[2]
c.
Interpretasi (Penafsiran) Hukum
Untuk menjamin kepastian hukum harus ada kodifikasi, yaitu usah untuk
membukukan peraturan-peraturan yang tertulis yang masih berserak-serak ke dalam
suatu buku secara sistematis. Maksud utamanya adalah untuk meniadkan hukum
berada di luar kitaab undang-undang dengan tujuan untuk mewujudkan agar dapat
kepastian hukum sebanyak-banyaknya dalam masyarakat.
Sebagaimana yang telah dikatakan E. Utrecht bahwa akibat kodifikasi ialah
peraturan hukum menjadi tercantum secara resmi (dipertahankan oleh pemerintah)
dalam suatu system tertentu. Mengenai hukum setelah dikodifikasi tidak banyak
berbeda dari isi hukum sebelum dikodifikasi. Tetapi biarpun demikian, masih ada
juga akibat besar kodifikasi, yang disebabkan sistem yang menjadi dasar hukum
sesudah kodifikasi. Boleh dikatakan bahwa tiap kodifikasi bermaksud mengikat
semua penduduk wilayah negara. Maksud kodifikasi ialah supaya tidak ada hukum
di luar sistem resmi yang menjadi tata hukum nasional.[3]
Hal itu akan menimbulkan pertanyaan apakah sesudah adanya kodifikasi itu tidak
mungkin timbulnya ketentuan-ketentuan hukum yang baru yang berada di luar
kodifikasi? Walaupun kodifikasi telah mengatur selengkap-lengkapnya, namun
tetap saja kurang sempurna dan masih banyak kekurangan-kekurangannya karena
undang-undang senantiasa tertinggal dari perkembangan sosial.
Perubahan nilai-nilai social dapat menggeser nilai-nilai hukum yang ada
dalam masyarakat sehingga suatu kodifikasi yang dibuat pada suatu zaman, tidak
dapat lagi meliputi seluruh kehidupan sosial di kemudian hari. Akibatnya timbul
ketentuan-ketentuan hukum baru yang berada di luar kodifikasi atau terdapat
perkembangan hukum yang baru di luar system resmi yang menjadi tata hukum
nasional.
Dengan tidak sempurnanya kodifikasi hkum tersebut maka tidak jarang hakim
melakukan penemuaan nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Di
samping itu, hakim juga melakukan penafsiran-penafsiran hukum (interpretasi
hukum) dalam menyelesaikan suatu perkara
yang dihadapinya, khususnya dalam hal ketentuan undang-unadanng yang memakai
istilah-istilah yang tidak jelas atau yang dapat menimbulkan penafasiran yang
berbeda-beda.
Dengan demikan maka terdapat keeluwesan-keluwesan hukum (rechtsleningheid)
sehingga kodifikasi hukum dapat mengikuti perkembangan zaman. Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan harus brusaaha memberi suatu keputusan yang
seadil-adilnya, tentunya dengan mengingat ketentuan-ketentuan hukum tertulis
maupun hukum yang tidak tertulis serta nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan
rakyat dan akhirnya pendapat hakim itu sendiri ikut menentukan. Untuk itu hakim
diberikan kewenangan melakukan penafsiran-penafsiran hukum.[4]
d. Beberapa
Cara Penafsiran Hukum
Supaya dapat mencapai kehendak dan maksud pembuat undang-undang serta
dapat menjalankan undang-undang sesuai dengan kenyataan social maka hakim dapat
menggunakan beberapa cara penafsiran (interpretatie methoden) antara
lain sebagai berikut.
1.
Penafsiran Undang-Undang
Secara Tata Bahasa (Gramatikal)
Penafsiran undang-undang
secara tata bahasa (grammatical), yaitu suatu cara penafsiran
undang-undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam
undang-undang yang bertitik tolak pada arti perkataan-perkataan dalam
hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam undang-undang.
Dalam hal ini hakim mencari arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa
sehari-hari yang umum. Oleh karena itu dipergunakan kamus bahasa atau meminta
bantuan dari para ahli bahasa. Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai
berikut:
Suatu perundang-undangan melarang orang memberhentikan kendaraan di suatu
tempat. Peraturan tersebut tidak mengatakan apa yang dimaksud dengan kata kendaraan.
Orang boleh bertanya: apakah yang dimaksud dengan kata kendaraan itu?
Apakah kendaraan yang bermesin atau termasuk juga sepeda dan becak. Dalam hal
ini sering penjelasan dalam kamus bahasa atau menurut keterangan para ahli
bahasa belum dapat memberikan kejelasan tentang pengertian kata yang dimaksud
dalam undang-undang tersebut. Oleh karena itu, hakim harus pula mempelajari
kata yang bersangkutan dengan peraturan-peraturan lain. Jadi, interpretasi
menurut bahasa tidaklah berarti bahwa hakim itu terikat pada bunyi kata-kata
dari undang-undang, tetapi hakim juga dapat menafsirkan kata-kata itu secara
logis menurut perkataan sehari-hari.
Pada hakikatnya penafsiran undang-undang menurut arti kata-kata merupakan
suatu penafsiran awal yang pada akhirnya akan membimbing hakim ke arah cara
penafiran yang lain. Misalnya: penafsiran secara historis, juga ke arah
penafsiran secara sistematis. Alasannya karena bahasa merupakan alat utama oleh
pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Maka yang paling awal
dihadapi hakim senantiasa penafsiran menurut arti kata-kata dalam
undang-undang. Tetapi tiap kata-kata yang dipakai pembuat undang-undang
mempunyai maksud tertentu yang sesuai dengan aliran-aliran yang ada dalam
masyarakat pada waktu itu. Maka dalam hal ini apa yang dimaksud oleh pembuat
undang-undang ketika itu adaalah yang harus dicari oleh hakim. Di samping
sejarahnya, suatu kata juga mempunyai kedudukan dalam system hukum. Sistem
hukum itulah yang harus dicari oleh hakim untuk mendapatkan kejelasan akan
maksud arti kata-kata yang ada dalam undang-undang tersebut.
Contoh lain dalam yurisprudensi negeri Belanda adalah sebagai berikut.
Pasal 1140 KUHS memberikan hak mendahului (privilege) kepada seorang
yang menyewakan rumah dengan segala barang perabot rumah yang terdapat dalam
rumah sewaan itu. Hal itu berarti jika penyewa rumah menunggak (yaitu tidak
membayar) uang sewa dan pada sewaktu-waktu dilakukan penyitaan atas
barang-barang perabot rumah tersebut maka pemilik rumah harus dibayar terlebih
dahulu dari penagih-penagih utang lainnya dari uang peendapat lelangan
barang-barang tersebut untuk melunasi uang sewa yang belum dibayar. Dalam
kalimat terakhir dari Pasal 1140 ditegaskan: “Tidak peduli apakah sendiri atau
bukan”. Timbul pertanyaan, apakah Pasal 1140 KUHS itu juga berlaku walaupun
orang yang menyewakan rumah sejak semula, yakni semenjak diadakannya perjanjian
sewa-menyewa, sudah mengetahui bahwa orang itu bukan milik penyewa sendiri?
Dalam kasus itu, Mahkamah Agung Balanda (Hoge Raad) dalam putusannya
tanggal 7 April 1938 telah menjawab ya dengan mengambil pedoman arti
perkataan-perkataan sebagaimana dipakai dalam undang-undang.[5]
2.
Penafsiran Undang-Undang
Secara Sistematis (Dogmatis)
Penafsiran ini memperhatikan susunan yang berhubungan dengan bunyi
pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun undang –undang lainnya.
Dengan penafsiran itu orang dapat memperoleh gambaran atau pandangan yang luas
dan jelas tentang arti suatu perkataan dalam undang-undang seluruhnya. Jadi,
penafsiran sistematis menitikberatkan paada kenyataan bahwa undang-undang tidak
terlepas, tetapi akan selalu ada hubungannya antara yang satu dengan lainnya
sehingga seluruh perundang-undangan itu merupakan kesatuan tertutup, yang rapi
dan teratur.
Tafsiran itu mempunyai akibat. Suatu perkataan dapat
diartikan secara luas (penafsiran sistematis ekstensif) atau orang memeberi
arti sempit kepada suatu perkataan (penafsiran sistematis restriktif). Sebagai
contoh penafsiran secara sistematis, misalnya peraturan Undang-Undang
Perkawinan yang menganut asas monogami
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 KUH Perdata. “Pada waktu yang sama,
seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja;
dan seorang perempuan hanya dengan satu
orang lelaki saja.”
Asas monogami yang terdapat dalam Pasal 27 KUH Perdata tersebut menjadi
dasar bagi beberapa pasal lainnya yaitu Pasal-pasal 34, 60, 64, 86 KUHS, dan
279 KUHS.[6]
Isi Pasal tersebut sebagai berikut:
1.
Pasal 34
Seorang perempuan tidak diperbolehkan kawin lagi, melainkan
setelah lewat waktu 300 hari semenjak perkawinan terakhir dibubarkan.
2.
Pasal 60
Barang siapa karena perkawinan masihlah terikat dirinya
dengan salah satu dari kedua belah pihak, seperti pun sekalian anak dilahirkan
dari perkawinan itu, semua itu adalah berhak mencegah perkawinan baru yang akan
dilangsungkan, akan tetapi hanyalah berdasar atas telah adanya perkawinan yang
lama.
3.
Pasal 64
Suami
yang perkawinannya telah dibubarkan karena perceraian diperbolehkan mencegah
perkawinan bekas istrinya, apabila si yang terakhir ini hendak kawin lagi
sebelum lewat 300 hari semenjak pembubaran perkawinan yang dulu.
4.
Pasal 279
Dengan cara yang sama dan menurut ketentuan-ketentuan yang
sama pula seperti termuat dalam pasal-pasal yang lalu, anak-anak yang telah
meninggaldunia dan meninggalkan keturunannya, boleh juga disahkan, pengesahan
mana adalah demi kebahagiaan sekalian keturunan.[7]
Menurut Utrecht[8]
antara masing-masing peraturan hukum itu ada hubungan. Suatu peraturan hukum
tidak berdiri sendiri. Tiap peraturan hukum mempunyai tempatnya dalam lapangan
hukum. Tempat itu menjadi tempat tertentu. Inilah akibat atau konsekuensi
interdependensi (saling menghubungi) masing-masing gejala sosial.
Beberapa peraturan hukum yang
mengandung beberapa persamaan, anasir-anasir sama atau bertujuan mencapai suatu
objek yang sama, merupakan suatu himpunan peraturan-peraturan yang tertentu,
yang mengenal sesuatu saling berhubungan intern (innerlijkesamenhang)
antara peraturan-peraturan tersebut. Himpunan peraturan-peraturan hukum
tertentu yang mengenal suatu “innerlijkesamenhang” itu menjadi suatu
lembaga hukum (rechtsnistitut), misalnya, lembaga hukum mengenai
perkawinan yaitu, suatu kompleks tertentu dan tetap mengenai perkawinan.
3.
Penafsiran Undang-Undang Secara Sejarah (Historis)
Penafsiran undang-undang
secara historis adalah menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah
terjadinya suatu undang-undang itu dibuat. Tiap ketentuan perundang-undangan
mempunyai sejarah sendiri dan dengan sejarah pembentukan undang-undang itu, hakim
dapat meneliti dan mempelajari maksud dari pembuatan undang-undang. Hakim juga
dapat mempelajari segala pembicaraan dan perdebatan di dalam sidang Dewan
Perwakilan Rakyat ketika undang-undang itu dalam proses pembuatan.
Penafsiran secara historis ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
a. Penafsiran menurut sejarah hukum (rechtshistorische
interpretatie).
Penafsiran menurut sejarah hukum
merupakan suatu cara penafsiran hukum dengan jalan menyelidiki dan mempelajari
sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya.
Penafsiran tersebut adalah penafsiran yang luas yang meliputi penafsiran
menurut sejarah penetapan perundang-undangan.
b.
Penafsiran menurut sejarah
penetapan ketentuan perundang-undangan (wetshistorische interpretatie).
Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-undangan
merupakan penafsiran yang sempit, yaitu dengan cara melakukan penafsiran
undang-undang dengan menyelidiki perkembangannya sejak dibuat dan untuk
mengetahui apa maksud ditetapkannya peraturan itu. Maksud tersebut dapat
diketahui dengan jalan melihat laporan-laporan perdebatan dalam sidang Dewan
Perwakilan Rakyat dari surat-menyurat antara menteri-menteri yang bersangkutan
dan komisi DPR yang bersangkutan (kenbron) dan sebagainya.[9]
Penafsiran undang-undang menurut sejarah hukum dapat dilakukan oleh hakim
dengan jalan menyelidiki asal usul peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan. Caranya ialah dengan melihat dari suatu system hukum yang dahulu
pernah berlaku yang sekarang tidak berlaku lagi. Atau dengan melihat asal
peraturan itu, apakah dari suatu system hukum lain yang sekarang masih berlaku
di negara lain. Misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang
dikodifiksikan di Indonesia pada tahun 1848, menurut sejarahnya berasal dari
kodofikasi Burgerlijk wetboek di negeri Belanda pada tahun 1838 yang
sejarahnya berasal dari Code Civil Prancis atau disebut juga Code
napoleon.
Penafsiran undang-undang menurut sejarah penetapan suatu
ketentuan perundang-undangan dapat dilakukan oleh hakim dengan jalan
menyelidiki sejarah peratuaran yang bersangkutan yaitu melihat asas-asas hukum
yang terkandunng dalam peraturan tersebut sebelum penetapannya dalam
undang-undang yang berlaku sekarang. Misalnya apabila hakim hendak mengetahui
arti dari beberapa pasal KUH Perdata tertentu maka hakim harus mencari system
apa yang dekehendaki oleh pembuat undang-undang dengan melihat perbandingan
antara beberapa ketentuan perundang-undangan yang diduga mengandung kesamaan.
Kesamaan yang dekehendaki oleh undang-undang itulah yang merupakan asas hukum
yang menjadi dasar peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Contohnya
perbandingan antara Pasal-pasal 27, 34, 60, 86 KUHS , dan 279 KUHS. Berdasarkan
penyelidikan sejarah, penetapan ketentuan pasal-pasal tersebut dapat diketahui
hakim. Pengertiannya yang jelas dari ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal
tersebut dengan berdasarkan asas hukum yang terkandung di dalamnya dan
menyesuaikannya denagn ketentuan undang-undang yanag berlaku sekarang.
4.
Penafsiran Undang-Undang Secara Sosiologis (Teleologis)
Pada hakikatnya suatu penafsiran undang-undang yang dimulai dengan cara
gramatikal atau tata bahasa selalu harus diakhiri dengan penafsiran secara
sosiologis. Kalau tidak demikian maka tidak mungkin hakim dapat membuat suatu
keputusan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan hukum di dalam masyarakat.
Bahasa maupun kata-kata yang terdapar dalam perundang-undangan tidak selalu
dengan jelas dapat menggambarkan maksud dan tujuan yang akan dicapai dari
pembuat undang-undang. Hal itu dilakukan dengan jalan penafsiran baik secara
tata bahasa maupun secara sosiologis.
Penafsiran secara sosiologis adalah suatu penafsiran yang dilakukan
dengan jalan mencari maksud atau tujuan pembuatan undang-undang di dalam
masyarakat.[10] Apabila
suatu peraturan perundang-undangan telah ditetapkan pada waktu pola kehidupan
dan aliran-aliran berlainan sekali dengan paham yang ada dalam masyarakat
sekarang, itu harus dilakukan penafsiran secara sosiologis. Misalnya di
Indonesia masih banyak peraturan yang berlaku yang berasal dari zaman kolonial.
Maka untuk menjalankan peraturan itu hakim harus dapat menyelesaikan dengan
keadaan masyarakat Indonesia pada saat sekarang.
5.
Penafsiran Undang-Undang Secara
Autentik
Penafsiran undang-undang secara autentik merupakan suatu penafsiran resmi
yang diberikan oleh pembuat undang-undang. Misalnya dalam Bab 9 buku 1 KUH
Pidana disebutkan bahwa pembuat undang-undang telah memberikan penejelasan
secara resmi atau autentik arti dari beberapa sebutan dalam KUH Pidana.
Beberapa contoh diantaranya adalah yang berikut ini.
a) Pasal 97 KUHP : yang disebut hari adalah waktu selama dua
puluh empat jam; yang disebut bulan adalah waktu tigaa puluh hari.
b) Pasal 98 KUHP : yang disebut waktu malam yaitu waktu
antara matahari silam dan matahari.
c) Pasal 99 KUHP : yang disebut memanjat termasuk juga masuk
melalui lubang yang memang sudah ada tetapi bukan untuk masuk; atau masuk melalui
lubang di dalam tanah yang dengan sengaja digali; begitu juga menyeberangi
selokan atau parit yang digunakan sebagai batas penutup.
d) Pasal 100 KUHP : yang disebut anak kunci palsu termasuk juga
segala perkakas yang tidak dimaksud untuk membuka kunci.
e) Pasal 101 KUHP : yang disebut ternak yaitu semua binatang
yang berkuku satu, binatang memamah biak, dan babi.[11]
6. Penafsiran Undang-Undang
Secara Ekstensif
Penafsiran undang-undang secara
ekstensif adalah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memperluas arti
kata-kata yang terdapat dalam peraturan undang-undang sehingga suatu peristiwa
dapat dimasukkan ke dalam, misalnya “aliran listrik” termasuk juga atau
disamakan dengan “benda”.[12]
Perluasan arti kata-kata tersebut
didalam penafsiran ekstensif ini erat kaitannya dengan pasal 362 KUHPidana,
yakni:
Barang siapa mengambil barang sesuatu
yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk
memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak 900 rupiah.[13]
7. Penafsiran Undang-Undang
Secara Restriktif
Penafsiran undang-undang secara
restriktif adalah suatu penafsiran
undang-undang yang dilakukan dengan cara membatasi atau mempersempit arti
kata-kata yang terdapat dalam peraturan undang-undang.[14]
Misalnya kerugian hanya terbatas kepada kerugian materiil saja sedangkan
kerugian imateril, termasuk di dalamnya.
8. Penafsiran Undang-Undang
Secara Analogis
Penafsiran undang-undang secara
analogis adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara
memberikan kias atau ibarat pada kata-kata yang terdapat dalam undang-undang sesuai dengan asas
hukumnya. Dengan demikan suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat
dimasukkan, lalu dianggap atau diibaratkan sesuai dengan bunyi peraturan
tersebut. Misalnya menyambung aliran listrik dianggap sama dengan mengambil
aliran listrik.[15]
Penganalogian “menyambung” aliran
listrik adalah “mengambil” aliran listrik erat kaitannya dengan pasal 362
KUHPidana yakni:
Barang siapa
mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian,
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
900 rupiah.
9. Penafsiran Undang-Undang Secara A Contratio
Penafsiran undang-undang secara a
contrario adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara
memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang dihadapi dan
peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Maka dengan berdasarkan perlawanan
pengertian itu dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu tidak
diliputi oleh undang-undang yang dimaksud atau berada di luar ketentuan
undang-undang tersebut.[16]
Contoh: Pasal 34 KUH Perdata
menetukan bahwa seorang perempuan tidak dibenarkan menkah lagi sebelum lewat
tenggang waktu 300 hari setelah perceraian dari suami pertama. Berdasarkan
suatu penafsiran a contrario maka dapat dikatakan bahwa ketentuan ini
tidak berlaku bagi seorang laki-laki. Karena bagi seorang laki-laki tidak perlu
menunggu tenggang waktu tersebut untuk melakukan perkawinan lagi setelah
putusnya perkawinan pertama. Maksud tenggang waktu dalam pasal 34 KUH Perdata
tersebut adalah untuk mencegah adanya keragu-raguan mengenai kedudukan anak,
berhubung dengan kemungkinan bahwa seorang sedang mengandung setelah
perkawinannya putus atau bercerai. Jika anak itu dilahirkan setelah perkawinan
yang berikutnya dalam tenggang waktu sebelum lewat 300 hari setelah putusnya
perkawinan pertama maka berdasarkan undang-undang kedudukan anak tersebut
adalah anak dari suami pertama.
e. Menghaluskan Hukum (Rechtsverfijning)
Kadang kala peraturan
perundang-undangan mempunyai cakupan ruang lingkup yang terlalu umum atau
sangat luas. Itulah sebabnya perlu dilakukan penghalusan hukum agar dapat
diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dalam penghalusan hukum (rectsverfijning)
dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan baru dari
peraturan-peraturan yang bersifat umum. Dalam hal ini peraturan yang sifatnya
umum diterapkan pada peristiwa atau hubungan hukum yang khusus atau sesuai
dengan kenyataan (werkelijkheid) sosial. Dengan demikian peristiwa itu
dapat diselesaikan secara adil dan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam
masyarakat.
Sebagai konsekuensi dari tindakan
tersebut, hakim terpaksa mengeluarkan perkara yang bersangkutan dari lingkungan
peraturan yang umum dan selanjutnya menyelesaikan menurut suatu peraturan yang
ditemukannya sendiri. Tindakan mengeluarkan itu diberi nama menghaluskan hukum.
Dengan demikian hakim telah menyempurnakan sistem hukum yang bersangkutan
dengan jalan meghaluskan hukum dengan maksud untuk mengisi atau memenuhi
ruangan kosong dalam sistem undang-undang. Hal itu dapat menyelesaikan perkara
secara adil dan sesuai dengan werkelijkheid sosial.[17]
[1]
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2000), 83-85.
[2]
Ibid., 86.
[3]
Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ihtiar, 1961), 171.
[4]
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar……, 86-87.
[5] C.
S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), 67.
[6]
Ibid., 68.
[7]
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 133-134.
[8]
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar, 1957), 205.
[9]
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar…..,90-92.
[10]
Ibid.
[11] Ibid., 93.
[12] C.S.T. Kansil, Pengantar….., 68.
[13] Sudarsono, Pengantar……, 136.
[14] C.S.T. Kansil, Pengantar….., 68.
[15] Ibid.
[16] Ibid., 69.
[17] Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar…., 94-95.
.
ReplyDelete