Suatu Telaah Terhadap
TRANSFORMASI HUKUM ISLAM MENUJU HUKUM POSITIF
DI INDONESIA
Abstrak
Dalam
sejarah perkembangan hukum positif di Indonesia sedikitnya ada tiga sumber yang
menjadi rujukan utama, yakni hukum adat, hukum barat dan hukum Islam, yang
kemudian berkembang dalam berbagai perundangan
sesuai dengan kebutuhan pemerintah dengan mempertimbangkan kepentingan
bangsa dan Negara. Diskursus hukum Islam yang sangat kental dengan perdebatan
dalam upayanya menjadikan hukum Islam sebagai sumber utama dalam membangun
hukum nasional, hukum positif yang terus bergulir seiring dengan berkembangnya
wacana dan harapan ditengah- tengah masyarakat muslim Indonesia. Sehingga pelan
namun pasti upaya tersebut akan menuai keberhasilan dalam masanya nanti, yang
dalam bahasa lain disebutkan oleh Gusdur “Pribumisasi Islam”.
Perkembangan
selanjutnya, berbagai factor mempengaruhi bahkan sangat menentukan dinamika
perkembangan hukum Islam, diantaranya factor kultur bangsa Indonesia. Pengaruh Kultural merupakan
salah satu faktor mendasar sejak
masuknya Islam di Indonesia. Factor kultural
yang memang sudah ada sejak lama jauh sebelum Islam datang ke Indonesia.
Hal ini nampak jelas dengan adanya akulturasi yang signifikan antara budaya
asli di Indonesia dengan budaya yang masuk sehingga menjadi kesatuan yang sulit
dipisahkan, meskipun dalam dataran tertentu masih sangat mudah di pilah jika di
runut secara kronologis.
Factor lain yang juga sangat mempengaruhi adalah
politik. Berbicara politik berarti berbicara masalah kenegaraan. Suatu bahasan
yang menyentuh masalah kebijakan suatu pemerintahan. Dinamika politik suatu
pemerintahan sangat berpengaruh terhadap semua kebijakan yang ada. Termasuk
kebijakan perundangan-undangan yang berlaku. Sebelum Indonesia merdeka, sistem
hukum nasional terdiri dari beberapa subsistem hukum, yaitu Hukum Adat, Hukum
Islam dan Hukum Barat. Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945 dan berlaku Undang-Undang Dasar 1945, sistem hukum Indonesia
berubah. Ini karena Indische Staatsregeling diganti dengan UUD 1945. Dari sini
jelas, bahwa nilai-nilai hukum Islam yang mengandung dasar-dasar dan
norma-norma untuk mengatur kehidupan lahiriah maupun batiniah dapat
diberlakukan sebagai pelaksanaan UUD 1945.
Factor terakhir adalah Pengaruh Struktural. Proses
politik dalam suatu negara akan menghasilkan banyak kebijakan, di antaranya
adalah perundang-undangan. Perundangan yang merupakan produk hukum in abstracto
memerlukan komponen lain yang akan menjadikannya ke dalam bentuk in concreto
sehingga memerlukan instrumen stuktural yang diejawantahkan di tengah
masyarakat termasuk upaya tranformasi hukum Islam menuju huku positif di
Indonesia.
Keyword: Transformasi, Hukum Islam, Hukum Positif,
Proses
A. Pendahuluan
Sejarah panjang telah mengantarkan pada suatu pemahaman
yang berpihak pada perlunya tranformasi hukum negara Indonesia “hukum positif”
sebagai bagian integral dari ajaran Islam, baik melalui study pendekatan
normatif maupun historis. “Kehebatan” Indonesia tidak terpecah menjadi negara-negara
kecil dengan pemisahan pulau dan danau, yang berbeda dengan timur tengah yang
tepecah menjadi 50 an negara yang tersebar di antero jazirah arab tanpa adanya
pemisahan geografis yang berarti.[1]
Upaya menjadikan hukum
Islam sebagai hukum positif merupakan kajian yang sangat filosofis dan menuai pro dan kontra.
Kemungkinan besar karena para ilmuan berbeda- beda dalam mendefinisikan hukum
karena luasnya kajian hukum termasuk hukum Islam. Banyaknya perbedaan dalam
menjelaskan hukum, sehingga sebagian ahli hukum ada yang mengatakan bahwa hukum
adalah ilmu yang mempelajari tentang sebab akibat.[2]
Sedangkan Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum adalah prilaku kita sendiri[3]
karena objek hukum adalah prilaku manusia dengan kebudayaan- kebudayaanya yang
diharapkan menjadi teratur dengan adanya hukum, bahkan dalam arti luas termasuk
hubungan antara manusia dengan
binatang- binatang yang biasanya dilindungi[4].
Istilah hukum mempunyai
makna dan tujuan yang berbeda karena perbedaan sosio kultur dan paradigma yang
berkembang dalam suatu masyarakat, seperti paradigma yang berkembang di
Inonesia tentang pancasila yang dipakai
untuk mewadahi semua karakteristik bangsa Indonesia[5]
dan seterusnya.
Hukum berkembang sesuai
dengan perkembangan pola fikir manusia dalam menyikapi dinamika masyarakat
dengan persoalannya. Sebagai contohnya hukum yang berkembang di Iran, Tehran,
berbeda dengan hukum di Indonesia. Hukum Islam basis Syi’ah yang
diimplementasikan dalam system pemerintahan Wilayatul Faqih mampu menyerukan
gerakan yang luar biasa, bahkan menjadi negara yang sangat berani mengambil
sikap dengan tegas misalnya dalam mendudung palenstina sejak serangan Israel selama 20 hari kemarin. Oleh karenanya
peristiwa perang Israel melawan Hammas kemarin tidak lepas dari persoalan
hukum, karena selama manusia ada, maka hukum akan berkembang yang menjadi suatu keniscayaan dalam
kehidupan dimuka bumi[6].
Berbicara tentang hukum Islam, memang sangat
menarik dan terasa tidak akan selesai dengan pembahasan yang sepintas saja.
Persoalan Islam akan senantiasa mewarnai dalam setiap peradaban yang terus
bergulir, seiring dengan bergulirnya roda kehidupan yang semakin cepat. Islam
memang telah mengakar dengan membawa zamannya tersendiri yang penuh dengan
sejarah dan perjalanan yang panjang. Oleh karenanya Islam sebagai agama akan selalu menjadi pembahasan tersendiri yang tidak akan
pernah berhenti, khususnya terkait dengan kebijakan suatu Negara yang sedang mengalami penyesuaian dengan era globalisasi.
Dalam sebuah Negara, baik negara
besar maupun kecil, akan selalu menjadikan hukum sebagai persoalan yang
selalu menggurita dalam setiap pemerintahan yang dijalankannya. Pemerintah tidak akan segan melakukan berbagai cara yang
bisa mengarah pada perbaikan sebuah
Negara yang dikehendakinya. Sehingga dalam hal ini suatu
hukum akan didomminasi oleh suatu
komunitas yang mempunyai peran
paling besar dalam sebuah kebijakan yang mewarnai semua lini kenegaraan.
Islam adalah agama besar yang mempunyai perjalanan panjang terkait dengan sebuah fenomena yang mewarnai dalam peradabannya. Di Indonesia khususnya
Islam sudah menjadi pembahasan tersendiri yang menarik terkait dengan
perumusan sebuah hukum yang di berlakukan
sebagai hukum positif di Indonesia. Pada saat itu, pusat-pusat
pendidikan Islam merupakan sumber utama informasi dan penyuluhan masyarakat[7].
Hukum Positif yang merupakan hukum yang harus diberlakukan secara tepat sesuai
dengan kondisi kebutuhan masyarakat setempat
akan selalu memerlukan pemahaman ulang tentang bagaimana sebuah
hukum yang perlu diberlakukan di sebuah Negara
seperti Indonesia .
Dengan kata lain hukum positif
menjadi lebih bermakna dan penting di Indonesia
ketika diusung dari nilai dan sistem yang bersumber dari nilai yang terkandung dari Alquran dan Sunnah Rosul. Sehingga hal ini akan memerlukan strategi bagaimana menjadikan hukum positif
di Indonesia ini sebagai hukum yang betul-betul mencerminkan kepentingan masyarakat
muslim di Indonesia. Dengan demikian paradigma menjadikan hukum Islam
sebagai hukum positif di Indonesia akan bisa terlaksana dengan baik jika hal sebagaimana diatas dapat dipenuhi dengan tepat dan proporsional, serta lentur yang
bersifat elastis. Apalagi hukum Islam bersifat elastis, memperhatikan berbagai
segi kehidupan dan tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa[8].
Sehingga sangat memungkinkan hukum Islam akan menjadi hukum positif di
Indonesia.
B. Transformasi Hukum Islam Menuju Hukum Positif di Indonesi
Perjalanan hukum Islam di Indonesia tidak bisa terlepas dari sejarah
kedatangannya yang terus berpengaruh sampai sekarang. Tranformasinya dikenal
dengan cara yang damai. Oleh karenanya banyak teori yang menjelaskan tentang
kedatangan Islam ke Indonesia. Di antara teori tersebut adalah: pertama, teori yang menyebutkan bahwa Islam masuk ke
Indonesia (Nusantara) pada abad ke-12 dari
Gujarat dan Malabar, bukan Persia atau Arabia. Teori ini dikemukakan pertama kali oleh Pijnappel pada
tahun 1872 dan didukung oleh umumnya
sarjana-sarjana Belanda seperti C. Snouck Hurgronje, Moquette dan
Morrison.
Menurut Pijnappel, orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’I Berimigrasi ke India dan kemudian membawa Islam ke Nusantara. Sementara Snouck Hurgronje yang mendukung wilayah mana di bagian selatan India yang dianggapnya sebagai asal Islam. Snouck hanya menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang dari pantai Coromandel.
Kedua, teori yang dikembangkan oleh S.Q. Fathimi yang mengatakan bahwa
Islam datang dari Bengal. la berargumentasi bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang-orang Benggali atau keturunan mereka.
Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya pada abad ke-11 adalah dari pantai timur, bukan dari barat (Malaka), melalui Kanton, Phanrang
(Vietnam), Leran dan Trengganu .
Teori ketiga menyatakan bahwa Islam datang
langsung dari Arab, atau tepatnya Hadhramaut. Teori ini pertama kali
dikemukakan oleh Crawfurd (1820) dan didukung oleh
Keyzer (1859), Niemann (1861), de Hollander (1861) dan Veth (1878). Crawfurd menyatakan bahwa Islam langsung datang dari
Arab. Keyzer, Niemann dan de Hollander menyatakan bahwa umat Islam di Nusantara bermadzhab Syafi'i sebagaimana halnya madzhab umat Islam di Mesir dan Hadhramaut. Dalam beberapa hal, "teori Arab" ini
didukung oleh Thomas W. Arnold (1913) yang menegaskan bahwa
selain Coromandel, Islam Indonesia juga berasal dari Malabar. Namun, menurut
Arnold, daerah-daerah ini bukan satu-satunya
tempat asal Islam dibawa. Ia juga mengajukan pandangan bahwa para pedagang
dari Arabia sendiri memegang peranan dominan dalam
menyebarkan Islam ke Indonesia, bahkan sejak abad ke-7 dan ke-8 Masehi atau
awal-awal abad pertama Hijriyah. Menurut Arnold, di pantai Barat Sumatera telah didapati satu kelompok perkampungan orang Arab pada tahun 684 M.
Teori Arab ini dipegang pula oleh sarjana
Melayu Syed Mohammad Naquid Al-Attas dan Hamka. Dalam seminar tentang masuknya
Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963, Hamka menyimpulkan hal yang
sama. Hamka bahkan mengecam teori tersebut merupakan
salah satu rekayasa ilmiah dalam rangka upaya
kolonial untuk mematahkan perlawanan Islam Indonesia. Hurgronje adalah penasihat utama pemerintah Hindia Belanda dalam menaklukkan Aceh. Salah satu penyebab kerasnya perlawanan rakyat Aceh
terhadap Belanda sehingga Aceh sulit dikuasai, menurut Hurgronje, adalah berurat
berakarnya pengaruh Arab. Untuk itu, is ingin melemahkan pengaruh tersebut dengan mengemukakan “teori India”.
Secara implisit, Mohammad Atho Mudzhar juga
membela “teori Arab” dengan mengemukakan bahwa daerah-daerah di gugusan
kepulauan Melayu telah dikenal akrab oleh para ahli ilmu bumi Islam kuno.
Al-Ya’qubi (w. 377 H/987 M) menulis tentang
hubungan dagang antara pelabuhan Kalah (Kedah) di pantai Barat
Semenanjung Melayu dan Aden, di Yaman. Hasan Abu Zaid al-Sirafi (w. 304 H/916 M) menyatakan bahwa Kalah merupakan pusat perdagangan rempah-rempah dan dupa, yang
disinggahi kapal-kapal dari Oman.
Ibn al-Fagih (w. 290 H/902 M) menyebut tentang hasil-hasil Kerajaan Sriwijaya (Zabij). Di daerah ini, menurutnya, orang
berbicara dalam bahasabahasa Arab,
Persia dan Cina. Oleh karena itu dapat mudah dipahami, bahwa hubungan telah terjadi antara orang-orang Indonesia
dan Melayu dengan kaum pelayar muslim
tersebut dari Hadhramaut dan Persia semenjak abad ketujuh atau kedelapan, dan dapat diduga bahwa
satu atau dua orang penduduk pribumi
masuk Islam
Namun begitu, terlepas dari perbedaan tempat
asal, pembawa dan kapan masuknya Islam ke Indonesia, yang jelas bahwa
penyebaran Islam secara pesat ke seluruh
wilayah Indonesia terjadi pada abad ke 13 M, yang dianggap ilmuwan Barat sebagai awal masuknya Islam ke
Indonesia.
Semaraknya penyebaran Islam di Nusantara sejak
abad ke-13 ditandai dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam di berbagai daerah, seperti Pasai di Pesisir utara
Sumatera, Gresik, Demak, Gowa, Ternate, Banten, Cirebon, Buton, Sumbawa, Kalimantan Selatan, Pontianak, Surakarta dan Mataram. Hal yang menarik, konversi masyarakat Nusantara ke agama Islam ini dimotori sendiri oleh para raja, sehingga memberi dorongan bagi penduduk setempat untuk mengikutinya. Selain itu, Islam yang dibawa oleh para pedagang, balk dari Arab, Persia maupun India menampilkan diri sebagai agama yang damai.
Arnold, mengutip C. Semper, menyebutkan bahwa
para pedagang Islam memasukkan agamanya ke penduduk
asli dengan menggunakan adat istiadat penduduk asli,
mengawini wanita-wanitanya, menebus budak-budak dan menjalin kerja sama dengan para pemimpin negeri (pribumi) untuk menduduki
jabatan-jabatan utama di pemerintahan. Mereka
memiliki kemampuan dan kecerdasan yang melebihi
penduduk asli dan mudah beradaptasi dengan budaya lokal,
sehingga makin lama makin menguatkan pengaruh mereka. Mereka juga menjalin persahabatan dengan golongan aristokrat lokal.
Dengan cara-cara demikian para pembawa agama
Islam ke Nusantara berhasil meletakkan
dasar-dasar kekuatan sosial politik. Mereka datang bukan sebagai penakluk bangsa Spanyol pada abad ke-6 atau menggunakan pedang sebagai alat dakwah. Mereka juga tidak menguasai dan mempengaruhi kelompok penguasa untuk menekan rakyat. Mereka hanya kelas pedagang yang
menggunakan harta dan peirdagangannya untuk kepentingan dakwah.
Seorang pengembara Muslim Marokko, Ibn
Bathuthah, yang mengunjungi Pasai pada tahun 746
H/1345 M, dalam bukunya menulis bahwa penduduk di pulau-pulau yang dikunjungi
(di Sumatera) pada umumnya menganut madzhab
Syafi’i. la juga menuturkan bahwa di Kerajaan10 Pasai, Sumatera, ada Raja
Malik al-Zhahir yang terkenal sebagai ahli agama dan hukum Islam. Melalui
kerajaan inilah madzhab Syafi’i disebarluaskan ke berbagai kerajaan lainnya di kepulauan Nusantara. Bahkan para ahli
hukum dari Kerajaan Malaka
(1400-1500) sering datang ke Pasai untuk mencari kata putus terhadap permasalahan hukum yang terjadi di Malaka.
Fachri Ali dan Bahtiar Effendy mengungkapkan tiga faktor utama yang mempercepat proses Islamisasi di Nusantara.
Pertama, prinsip tauhid dalam Islam
yang mengimplikasikan pembebasan manusia dari kekuatan-kekuatan selain Allah; kedua, daya lentur ajaran Islam
dapat mengakomodasi nilai-nilai lokal yang tidak bertentangan dengan
Islam; dan ketika, sifat Islam yang anti penjajahan
menjadi kekuatan politik tersendiri dalam menghadapi ekspansi Barat di Nusantara.
Dalam proses transformasi hukum Islam menuju
hokum positif di Indonesia ada beberapa pengaruh, diantaranya:
1. Pengaruh Kultural
Salah satu faktor
mendasar masuknya Islam di Indonesia
adalah faktor kultural yang memang sudah
ada sejak lama jauh sebelum Islam datang ke Indonesia. Hal ini nampak jelas
dengan adanya akulturasi yang signifikan antara budaya asli di Indonesia dengan
budaya yang masuk sehingga menjadi kesatuan yang sulit dipasahkan, meskipun dalam dataran tertentu masih sangat mudah di pilah jika di runut secara kronologis.
Gus Dur, dengan
pandangannya mengenai Islam kultural
yang membaur dengan budaya seperti di Indonesia menjadikan pertimbangan
sosiologis merupakan aspek mendasar
sebelum akhirnya ajaran Islam diejawantahkan dalam dataran praktis kehidupan,
baik dalam ajaran masyarakat yang tidak terkait dengan hukum positif maupun dalam konteks lembaga negara yang
terkait dengan hukum positif. Inilah yang oleh Gus Dur disebut sebagai upaya
“Pribumisasai Islam”[9].
Pergesekan budaya masyarakat dengan Islam seiring dengan proses Islamisasi Nusantara
atau masuknya Islam di kawasan Asia Tenggara, seperti pernyataan menarik Taufik
Abdullah dan Sharon Siddique dalam buku “Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara”, bahwa Islam di kawasan Asia Tenggara memiliki sejarah paling tidak
tujuh abad, dan selama waktu itu, Islam telah dipengaruhi oleh lingkungan Asia
Tenggara yang unik. Dengan kata lain, Islam telah menjadi suatu tradisi
tersendiri yang secara kukuh tertanam dalam konteks sosial-ekonomi dan politik
selama tujuh abad sejarah kawasan ini.
Proses Islamisasi yang
sejalan dengan akulturasi budaya ini
memang memerlukan penyesuaian
diberbagai sendi kehidupan. Kehidupan masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat berbentuk heterogen
akan sangat sangat mudah dipengaruhi dengan cara menyesuaikan dari sendi
tertentu yang dianggap paling relevan
dan cocok dengan budaya Islam. Islam
Juga menyumbangkan konsepsi baru hukum untuk Indonesia dan telah mengubah
ikatan kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan universal.[10] Sehingga pergesekan-pergesekan seperti ini secara perlahan tapi pasti akan
membawa pada akulturasi peradaban yang sangat kuat dan mengakar dan
menjadi tradisi yang belaku bagi masyarakat .
Hukum
Islam yang muncul di Indonesia tidak lepas dari dinamika sejarah negara Indonesia sendiri. Jauh sebelum kedatangan
penjajah dari Eropa, perkembangan Islam dengan munculnya lembaga pendidikan
agama seperti surau, langgar, madrasah dan pesantren telah memberikan
kontribusi pengetahuan sekaligus kultur agamis yang kuat di masyarakat.
Sehingga Hukum Islam di Indonesia merupakan hukum yang banyak dibentuk dan terinspirasi oleh kekuatan
dari budaya agamis dan relegius.
Pada saat itu,
pusat-pusat pendidikan Islam di atas, merupakan sumber utama informasi dan
penyuluhan masyarakat. Mengajarkan berbagai keilmuan, utamanya ilmu agama yang
didominasi kajian fikih, kajian yang tidak lepas dari permasalahan hukum Islam.
Dan satu-satunya lembaga pendidikan yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat
bawah. Sebuah komunitas yang menjadi sentral berkembangnya sebuah budaya.
Di dalam masyarakat
inilah Islam memperkenalkan tradisi hukum baru di Indonesia. Ia menawarkan
dasar-dasar perilaku sosial baru yang lebih sama rata dibanding dengan
sebelumnya. Juga menyumbangkan konsepsi baru hukum untuk Indonesia dan telah mengubah
ikatan kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan universal. Apalagi hukum Islam bersifat elastis,
memperhatikan berbagai segi kehidupan dan tidak memiliki dogma yang kaku, keras
dan memaksa[11].
Elastis di sini bukan berarti hukum Islam bisa menjustifikasi apa saja tetapi
keberadaan pranata ijtihad di dalam hukum Islam merupakan suatu jaminan pasti
bahwa hukum Islam akan senantiasa bersikap antisipatif terhadap perkembangan
sosial[12].
Tak pelak lagi, dalam perkembangan berikutnya
memberikan andil yang sangat besar bagi pembangungan Hukum Islam di
Indonesia.
Pada perkembangan awal
hukum Islam yang mengiringi perjalanan berkembangnya agama Islam di wilayah
nusantara, peran sultan atau raja menjadikan hukum Islam menyatu dengan tradisi
sangat dominan. Sebab para sultan atau raja-raja menjadikan hukum Islam sebagai
hukum resmi kerajaan-kerajaan Islam.[13]
Ibnu Batutah, pengembara asal Maroko yang pada tahun 1345 singgah di Samudera
Pasai menyatakan bahwa Sultan Al Malik
Al Zahir pandai dalam bidang Fiqh Mazhab Syafi’i. Mazhab yang pada perkembangan
berikutnya menjadi acuan pembahasan hukum Islam dalam perundangan-undangan di
Indonesia.
Sejarah mencatat
bagaimana pada masa penjajahan Belanda, Hukum Islam telah menyatu dalam
kehidupan sehari-hari dan membudaya dalam lingkungan masyarakat pribumi.
Sampai-sampai instruksi Gubernur Jendral kepada para Bupati di pantura Jawa
agar memberi kesempatan kepada para ulama untuk menyelesaikan perselisihan
perdata dengan hukum Islam. Juga Keputusan Raja Belanda (Koninkelijk Besluit)
No. 19 tanggal 24 Januari 1882 yang diumumkan dalam Staatsblad tahun 1882 No.
12 tentang pembentukan Pristerraad
(Pengadilan Agama) didasarkan atas teori Van Den Berg yang menganut paham
receptio in complexu, yaitu berarti bahwa yang berlaku bagi pribumi adalah
hukum agama yang dipeluknya.[14]
2. Pengaruh Politik
Berbicara politik
berarti berbicara masalah kenegaraan. Suatu bahasan yang menyentuh masalah
kebijakan suatu pemerintahan. Dinamika politik suatu pemerintahan sangat
berpengaruh terhadap semua kebijakan yang ada. Termasuk kebijakan
perundangan-undangan yang berlaku.
Sebelum Indonesia
merdeka, sistem hukum nasional terdiri dari beberapa subsistem hukum, yaitu
Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat.[15]
Setelah Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 dan berlaku
Undang-Undang Dasar 1945, sistem hukum Indonesia berubah. Ini karena Indische
Staatsregeling diganti dengan UUD 1945.[16]
Hukum Islam dalam
perpolitikan Indonesia mengalami perjalanan yang cukup panjang dan berliku.
Bermula dari pembahasan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia maupun dalam sidang-sidang konstituante. Baik Pembukaan
maupun batang tubuh UUD 1945 merupakan sumber hukum, tidak saja bagi
perundang-undangan yang bersifat duniawi tetapi juga yang bersifat ukhrowi.
Dari sini jelas, bahwa nilai-nilai hukum Islam yang mengandung dasar-dasar dan
norma-norma untuk mengatur kehidupan lahiriah maupun batiniah dapat
diberlakukan sebagai pelaksanaan UUD 1945.[17]
Menurut pemikiran Gus
Dur yang secara esensial mempunyai kesamaan dengan pemikirannya Nur Cholis
Madjid, ada lima hal yang menjadi kajian sentral dinamika sosial Islam, Pertama progresif dan bervisi jauh
ke depan. Daripada terlena kemenagan masa lalu lebih baik menatap kedepan
dengan harapan pasti, karena kemenangan pasti akan datang. Kedua, respon terhadap modernitas
dengan penuh percaya diri dan cerdas. Ketiga, sekularisme theistic yang ditegaskan dalam pancasila (kalau di
Indonesia) merupakan dasar yang paling
mungkin bagi terbentuknya negara
moderen, karena ruang yang paling cocok untuk Islam adalah ruang civil, bukan politik praktis. Keempat, mengartikulasikan pemahaman
Islam liberal yang terbuka dan toleran terhadap perbedaan dan menjaga harmoni
dalam masyarakat. Kelima, representasi pemikiran sentesis cerdas
Islam tradisional, elemen modernisme Islam, dan kesarjanaan barat modern dengan
tetap mengacu pada kejujuran intlektual yang kuat dengan keimanan yang mendalam
terhadap kebenaran Islam.[18]
Lima prinsip Gus Dur ini, secara esensial senada dengan pemikiran Ibnu Taimiyyah yang
mengatakan bahwa prinsip Islam cukup
untuk menciptakan komunitas yang ideal dengan pola pemahaman tentang keadaan dan spirit teks
al- Qur’an saat diwahyukan[19].
Dengan demikian study pendekatan Islam melalui budaya menjadi factor utama
dalam menjadikan Islam rahmatan lil’alamin dan sekaligus sebagai pisau analisis
dalam memotret fenomena sosial.
Selanjutnya untuk
mengakomodasi berbagai kepentingan dan kemajemukan tatanan hukum, pemerintah
harus mempunyai political will. Karena itu kemudian mulai bermunculan produk UU
yang mengakomodir hukum Islam, bahkan menjadi bahan baku pembentukan hukum
nasional.
Transformasi hukum
Islam ke dalam perundang-undangan nasional merupakan hasil interaksi antara
para ulama dengan elite politik atau penguasa. Baik tersurat maupun tersirat,
banyak asas-asas hukum Islam yang terserap dalam hukum nasional. Suatu kenyataan yang akan
memberikan prospek ke depan lebih baik, di mana hukum Islam akan menjadi
inspirasi utama dalam pembangunan hukum nasional.
Memang bagamanapun juga
masalah agama/Islam, politik, dan negara selalu terkait satu sama lainnya. Maka
tidak salah bila Rois Akbar NU, KH Wahab pernah memberikan pengertian yang
tegas, bahwa kalimat Islam terkandung di dalamnya soal-soal politik dan Hukum
Tata Negara. Menurutnya, kalau orang bisa memisahkan antara gula dengan
manisnya, maka dapatlah ia memisahkan agama Islam dengan politik.[20]
Selaras dengan itu, John L. Esposito dan John O Vooll menyata-kan: “Islamic
politics are frequently as in some way combining “religion and politics.” In
the words of modern Islamic movemenst, Islam is din wa dawla, that is,
“religion and state.”[21]
Proses politik yang
panjang akhirnya membuahkan perundang-undangan yang “berlebel” Islam, misalnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang di dalam adanya Piagam Jakarta, UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan sebagainya.
UU terbaru yang muncul
akibat dari perubahan konstelasi politik nasional adalah UU No. 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Syariat Islam di Aceh dan UU Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) yang memberikan kewenangan khusus
kepada Propinsi NAD dalam bidang peradilan. Suatu kewenangan yang
mustahil terjadi di era rezim Orde Baru.
3. Pengaruh Struktural
Proses politik dalam
suatu negara akan menghasilkan banyak kebijakan, di antaranya adalah
perundang-undangan. Perundangan yang merupakan produk hukum in abstracto
memerlukan komponen lain yang akan menjadikannya ke dalam bentuk in concreto.
Atau memerlukan instrumen stuktural yang mengejawantahkannya di tengah
masyarakat.
Dari
sini kemudian muncul institusi atau lembaga yang melahirkan
perundang-perundangan atau peraturan-peraturan yang menyentuh langsung kepada
masyarakat. Seperti di antaranya Departemen Agama, Departemen Kehakiman,
Mahkamah Agung yang banyak mempengaruhi proses berkembangnya hukum Islam di
Indonesia.
Contoh yang paling
menonjol adalah inisiatif Mahkamah Agung dan Departemen Agama dalam merumuskan
Kompilasi Hukum Islam.[22] Kemudian dalam bentuk produk pengadilan
sebagai upaya penerapan hukum Islam dalam perkara tertentu, baik melalui
Peradilan Umum maupun Peradilan Agama.
Seperti produk pengadilan yang terhimpun dalam kumpulan yurisprudensi, antara
lain Peradilan Umum yang disusun Chidir Ali dan Pradilan Agama yang disusun
Bustanul Arifin.[23]
Dengan demikian hakim memiliki peran penting dalam pemben-tukan hukum Islam.
Jumlah umat Islam
merupakan bagian terbesar dari populasi penduduk Indonesia yang telah mencapai
lebih kurang 200 juta jiwa, tidak bisa diabaikan begitu saja. Hak sejarah
mereka di negeri ini sudah hadir dan berkembang serta ajarannya memasyarakat
sampai terpatri dalam kebudayaan rakyat Indonesia. Kehadiran penjajah tidak
mampu mencabut akar-akar budaya Islam yang telah tertanam dalam kepribadian
bangsa Indonesia. Karena itu hukum Islam yang sebelum kedatangan penjajah sudah
diterima dan berkembang diupayakan dikikis, bahkan tinggal sebagian hukum
keluarga dengan Pengadilan Agama sebagai pelaksananya[24].
Namun hukum Islam tetap berfungsi dan eksis, bahkan menjustifikasi semangat
umat Islam untuk mengadakan perlawanan terhadap penjajahan dan kezaliman sampai
direbutnya kembali kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Oleh karena itu sangat
disayangkan bila keberadaan hukum Islam yang sudah memberikan konstribusi besar
dalam merebut kemerdekaan bangsa Indonesia harus terabaikan dan bahkan hilang.
Justru harus diupayakan agar hukum Islam bisa memberikan
sumbangsih bagi perjalanan pembangunan bangsa, khususnya pembangunan hukum di
Indonesia. Maka salah satu jalan terbaik adalah dengan “mewariskannya” kepada
generasi muda sebagai penerus melalui
berbagai media.
Media yang paling
efektif adalah melalui jalur pendidikan.
Dalam hal ini, pendikan tinggi atau perguruan tinggi merupakan jenjang
yang paling tepat. Karena itu mata kuliah Hukum Islam tidak saja diajarkan di
Perguruan tinggi Islam swasta, tetapi juga di perguruan tinggi negeri.
Ada beberapa
alasan prinsip diajarkannya mata kuliah
Hukum Islam di fakultas Hukum di
Indonesia. Diantaranya adalah sebagai berikut:[25]
a.
Alasan Sejarah
Pada zaman penjajahan
Belanda, Hukum Islam diajarkan dengan nama Mohammedaansch Recht, bahkan sempat
diteruskan ketika Indonesia merdeka. Namun nama tersebut tidak tepat, karena hukum
Islam bukan ajaran pribadi Nabi Muhammad SAW, melainkan ajaran Allah SWT yang
disampaikan melalui rasul-Nya.
b.
Alasan Penduduk
Penduduk Indonesia
sekitar 85 persen beragama Islam. Jumlah yang mayoritas itu tentu saja kebenaran yang dibawa pemeluknya harus
menjadi bahan pertimbangan dan salah satu acuan bagi pembuatan hukum yang berlaku di Indonesia.
c.
Alasan Yuridis
Hukum Islam di
Indonesia berlaku (a) secara normatif dan (b) secara formal yuridis. Secara
normatif adalah bagian hukum Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan apabila
norma-normanya dilanggar. Yaitu hukum Islam yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan. Kuat tidaknya sanksi
tersebut tergantung kuat lemahnya kesadaran umat Islam itu sendiri.
Pelaksanaannya pun diserahkan kepada
keinsyafan orang Islam yang bersangkutan. Seperti pelaksanaan ibadah salat,
puasa, zakat dan haji.
Hukum Islam yang
berlaku secara formal yuridis adalah bagian hukum Islam yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lainnya dan benda dalam masyarakat. Hukum Islam tersebut
berlaku menjadi Hukum Positif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
sudah dikeluarkan pemerintah. Seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang No.
44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi DI Aceh dan
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi DI Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
d.
Alasan Konstitusional
Di dalam Pasal 29 ayat
1 UUD 1945 dinyatakan, bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Karena itu menurut Hazairin seorang Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Adat
Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam bukunya Demokrasi Pancasila,
menyatakan bahwa:
1). Dalam negara Republik Indonesia, tidak boleh
terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi
umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi umat
Nasrani atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu bagi
orang-orang Hindu Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan Budha bagi
orang-orang Budha
2). Negara Republik Indonesia wajib menjalankan
syari’at Islam bagi orang Islam, syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, dan
syari’at Hindu Bali bagi orang Bali, sekedar menjalankan syari’at tersebut
memerlukan perantaraan kekuasaan Negara
3).
Syari’at yang tidak
memerlukan bantuan kekuasaan Negara
untuk menjalankannya, dan karena itu dapat sendiri dijalankan oleh setiap
pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi
setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.
Dari pernyataan yang
disampaikan Hazairin tersebut, berarti negara wajib menjalankan syari’at agama
bagi pemeluk agama warganya. Termasuk di dalamnya, menjalankan syari’at Islam
untuk kepentingan pemeluk agama Islam. Begitu juga negara tidak boleh membuat
kebijakan, peraturan atau hukum yang
bertentangan dengan syari’at agama yang dipeluk warganya.
e.
Alasan Ilmiah
Di dalam ajaran Islam
mengandung banyak aspek. Termasuk aspek hukum menjadi salah satu aspek penting
di dalan ajaran Islam, karena di dalamnya memuat aturan-aturan atau hukum yang
menuntun pribadi muslim untuk berprilaku
benar demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sebagai ilmu, hukum Islam
sudah lama dipelajari secara ilmiah, baik oleh orang-orang Islam sendiri maupun
orang-orang nonmuslim. Orang-orang barat nonmuslim yang mempelajari Islam ini
biasanya disebut sebagai orientalis. Orientalis umumnya mempelajari Islam
dengan pendekatan saintifik. Meskipun hal ini memberikan konstribusi bagi studi
Islam, namun umumnya Islam ditempatkan sebagai fenomena empirik sensual,
historik, dan kontekstual sehingga sering menghilangkan dan bahkan menolak
esensi Islam sebagai wahyu Allah.[26]
Pada masa penjajahan
Belanda di Indonesia, mereka mempelajari hukum Islam dalam rangka
mempertahankan kekuasaannya. Dengan mengada-adakan kelemahan hukum Islam untuk
menyerang orang Islam dari dalam, C Snouck Hurgronje adalah salah satunya.
Pernah menjadi penasihat pemerintah Belanda dalam pendudukannya di Indonesia.
Ia memeluk agama Islam secara resmi, sehingga pada tahun 1884 bisa masuk dan
bermukim di Mekah selama satu tahun.[27]
Bahkan Snouck bisa mempersunting puteri seorang penghulu.
Setelah itu muncul era
kelompok orientalis yang mempelajari Islam bukan untuk tujuan seperti di atas.
Mereka mempelajari Islam dengan maksud mengembangkan kerjasama dengan
negara-negara Islam atau negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama
Islam.
Selanjutnya dalam
perkembangannya muncul kecenderungan mempelajari ajaran Islam, sebagai bahan
kajian perbandingan hukum. Ternyata Islam tidak
hanya mengatur kepentingan agama Islam, tetapi juga kepentingan penganut
agama lain, atau Islam sebagai rahmatan lilalamin. Seperti dalam
seminar The Week of Islamic Law
(Pekan Hukum Islam) di Paris pada
tahun 1951, para peserta menyimpulkan sebagai berikut:[28]
1). Dasar-dasar
hukum Islam mempunyai
nilai-nilai dari segi hukum yang tidak bisa diragukan lagi.
2). Perbedaan aliran-aliran
Hukum Islam (Madzhab) dalam suatu
kumpulan hukum yang besar ini mengandung
suatu kekayaan pengertian dan pengetahuan, serta kaidah-kaidah Hukum Islam yang sangat mengagumkan, karena
itu Hukum Islam dapat memenuhi semua kebutuhan hidup modern dan dapat
mempertemukan antara kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Selanjutnya, ajaran
Islam dengan konsepnya yang universal
banyak dipelajari oleh kalangan non
muslim sebagai bahan rujukan dalam memecahkan persoalan-persoalan sosial. Seperti zakat yang diyakini bisa
mengurangi kemiskinan atau menghilangkan kesenjangan antara si kaya dan si
miskin.
Karena itu penulis
berusaha memberikan perspektif yang jelas tentang Hukum Islam di Indonesia.
Mulai dari deskripsi historis masuknya Hukum Islam sampai pada kontribusi Hukum
Islam dalam pembangunan hukum di Indonesia. Sekaligus penulis memberikan
prospektif ke depan, bagaimana agar Hukum Islam bisa semakin mewarnai
pembangunan hukum positif di Indonesia.
C.
Eksistensi Hukum Islam
Di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, eksistensi berarti adanya atau keberadaan.[29]
Artinya, bahwa keberadaan hukum Islam di
Indonesia semakin eksis sampai saat ini. Bagaimanapun juga jumlah pemeluk agama
Islam yang mencapai 95 persen dari total penduduk Indonesia yang berjumlah
lebih kurang 200 juta jiwa mempengaruhi perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Islam sebagai agama
yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia, tentu sangat berpengaruh terhadap
pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya tidak lepas dari syariat yang
dikandung agamanya. Melaksanakan syariat agama yang berupa hukum-hukum menjadi
salah satu paramater ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya. Sebagai
tuntunan Allah SWT yang di antaranya berupa hukum-hukum Islam telah disampaikan
melalui Nabi Muhammad SAW dan terinci dalam Al-Quran dan Hadits Nabi.
Sebagaimana disampaikan Justice Javid Iqbal dalam buku State Politics and
Islam: “...The second principle is that Islamic law has already been
legislated in the Qur’an by Allah and Sunnah of the Prophet, the latter being
the authoritative of the Qur’an.”[30]
Ini bisa dilihat dari aktifitas keagamaan yang terjadi, misalnya seperti
pemberian zakat atau pembagian waris.
Sikap
masyarakat yang telah menjalankan syariat Islam tersebut direspon pemerintah
dengan keluarnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah
Haji, UU Pengelolaan Zakat dan UU Otonomi Khusus Naggroe Aceh Darussalam. Serta
beberapa undang-undang lainnya yang langsung maupun tidak langsung memuat hukum
Islam seperti, UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mengakui keberadaan
Bank Syariah dengan prinsip-prinsip syari’ahnya.[31]
D. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang
telaah terhadap transformasi hukum Islam
menuju hukum positif di indonesia dapat diambil kesimpulan bahwa :
1. Hukum yang berlaku di Indonesia ini akan bisa
berbentuk hukum yang betul-betul mencerminkan kepentingan masyarakat muslim
(Rakyat Indonesia) jika peraturan perundangan yang dibuat oleh pemerintah itu
diusung dari nilai-nilai Islam serta kepentingan yang lebih banyak didomonasi oleh
masarakat muslim. Hal ini tentunya tanpa menafikan masarakat lain yang menjadi
komponen bangsa ini.
2. Hukum
Positif di Indonesia akan bisa bernuansa Islami jika terlaksana dengan adanya kejelasan yuridis yang bersumber dari
Al-quran dan Sunnah Rasul. Hal ini tidak sederhana karena harus melalui proses
pembahsan yang panjang dengan segala aspek yang terkait dengan pola pemahanan
Al-quran dan Sunnah Rasul.
3. Aspek sosiologis yang mendukung dengan pemahaman
sumber daya manusia (SDM) yang memadai juga sangat membantu dalam menciptakan iklim
yang kondusif bagi terciptanya hukum
posotif di Indonesia yang bernuansa
relegius. Endingnya upaya tranformasi hukum Islam di Indonesia dipahami
secara substansial oleh semua komponen bangsa.
DATAR PUSTAKA
Rahardjo Satjipto, 2007, Membedah Hukum Progresif,
Jakarta, Kompas.
Abdul Jamil, M.A, Uraian Kuliah Islam dan
Tranformasi Global, Pascasarjana Program Doktor IAIN Walisongo Semarang,
2008.
Abdurrhman Wahid, dkk. Dialog Kritik dan Identitas Agama,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1993,
Amin Ahmad,
1957, Etika Ilmu Akhlaq, Bulan Bintang, Jakarta, Bulan Bintang.
Devos, 1987, Pengantar Etika, Yogyakarta, Tiara
Wacana Yogya.
Rahardjo Satjipto, 2006, Sisi- sisi Lain dari Hukum
di Indonesia, Jakarta, Kompas.
Wack Raymond, 2006, Philoshopy of Law, Oxford
University Pres.
Rifyal Ka’bah, Hukum
Islam di Indonesia, Universitas Yarsi Jakarta, 1999
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999
Agus Triyanta,
Prospek Hukum Islam di Indonesia, dalam Jurnal Hukum Universitas Islam
Indonesia, No. 8, Vol. 4 – 1997, Masa
Depan Hukum Islam, Yogyakarta
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam di Indonesia dari
Masa ke Masa dalam Peradilan Agama
& Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Edisi 2, UII Press,
Yogyakarta, 1999
A. Wasit Aulani, Sejarah Perkembangan Hukum Islam
dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam
Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, CV Mandar Maju, Bandung, 1999
Anwar Harjono dan Ramly Hutabarat, Prospek Peradilan
Agama sebagai Peradilan Keluarga dalam Sistem Politik Indonesia dalam Amrullah
Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem
Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996,
Haji Zainal Abidin Ahmad, (Membangun) Negara Islam, Pustaka Iqra’, Yogyakarta, 2001,
John L. Esposito and John O. Vool, Islam and Democracy, Oxford University
Press, New York, 1996,
Ali Yafie, Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Umat
dalam Amrullah
Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, 1996,
Mohammad Daud Ali, Hukum
Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2000,
Moh Natsir Mahmud,
Orientalisme Al-Qur’an di Mata Barat (Sebuah studi Evaluatif), Penerbit: Dina
Utama Semarang, 1997,
E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada
Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Seri Khusus INIS, Jilid I, Jakarta,
1990,
Ahmad Hanafi, Pengantar
dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 7, 1995,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1996, Edisi Kedua
Justice Javid Iqbal, The Concept of State In Islam
dalam Mumtaz Ahmed (ed), State Politics
and Islam, America Trust
Publications, 1986
Y. Sri Susilo dkk, Bank
& Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, 2000,
[1] Prof. Dr. KH.
Abdul Jamil, M.A, Uraian Kuliah Islam dan Tranformasi Global, Pascasarjana Program Doktor IAIN Walisongo Semarang, 2008.
[2] Prof. Dr.
Amad Amin, Etika Ilmu Akhlaq, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hal. 9
[3] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas,
Jakarta, 2007, hal. 3
[4] Dr. H. Devos,
Pengantar Etika, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1987, hal. 59
[5] Satjipto
Rahardjo, Sisi- sisi Lain dari Hukum
di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2006, hal.10
[6] Raymond Wacks,
Philoshopy of Law, Oxford University Pres, 2006
[7] Rifyal Ka’bah,
Hukum Islam di Indonesia, Universitas
Yarsi Jakarta, 1999, h. 21
[8] Fathurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos
Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, h. 47
[9] Abdurrhman Wahid, dkk. Dialog Kritik dan Identitas
Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1993,
hal. 3
[10]. Rfyal
Ka’bah, Ibid, h. 71
[11]. Fathurrahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, Logos
Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, h. 47
[12]. Agus Triyanta, Prospek Hukum Islam di Indonesia, dalam
Jurnal Hukum Universitas Islam Indonesia, No. 8, Vol. 4 – 1997, Masa Depan Hukum Islam, Yogyakarta, hal.
10
[14]. A. Wasit Aulani, Sejarah Perkembangan Hukum Islam
dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam
Dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, h. 55
[16].Anwar Harjono dan Ramly Hutabarat, Prospek Peradilan
Agama sebagai Peradilan Keluarga dalam Sistem Politik Indonesia dalam Amrullah
Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem
Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, h. 219
[17] .Anwar Harjono dan Ramly Hutabarat , Ibid. h. 219
[18] Wacana Pembaca Pemikiran Abdurrahman Wahid, Gila Gusdur, LKis, 2000, hal.90
[19] Toha Hamim, Faham Keagamaan Kaum Reformis, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2000, hal.11
[20] Haji Zainal
Abidin Ahmad, (Membangun) Negara Islam,
Pustaka Iqra’, Yogyakarta, 2001, h. vi.
[21] John L.
Esposito and John O. Vool, Islam and
Democracy, Oxford University Press, New York, 1996, h. 4
[22] Cik Hasan
Bisri, Op.cit., h. 20
[23] Cik Hasan
Bisri, Ibid, h. 21
[24] Ali Yafie,
Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Umat dalam Amrullah Ahmad, Dimensi
Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Gema Insani Press, 1996, h. 93
[25] Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, cet. ke-8, h. 4-9.
[26] Moh Natsir
Mahmud, Orientalisme Al-Qur’an di Mata
Barat (Sebuah studi Evaluatif), Penerbit: Dina Utama Semarang, 1997, h. 5.
[27]E. Gobee dan C. Adriaanse, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada
Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, Seri Khusus INIS, Jilid I, Jakarta,
1990, h. XIV.
[28] Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, Cet. 7, 1995, h. 243
[29] Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Jakarta, 1996, Edisi Kedua, h. 253
[30] Justice Javid
Iqbal, The Concept of State In Islam dalam Mumtaz Ahmed (ed), State Politics and Islam, America Trust Publications, 1986, h. 37
[31] Y. Sri Susilo
dkk, Bank & Lembaga Keuangan Lain,
Salemba Empat, Jakarta, 2000, h. 109
ok..sama sama...
ReplyDelete